Headlines News :
Home » » Kekuasaan dan Pelayanan (Sebuah Refleksi Antropologis)

Kekuasaan dan Pelayanan (Sebuah Refleksi Antropologis)

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, February 16, 2008 | 7:49 PM

Oleh Dr Gregor Neonbasu
Alumnus the Australian National Univercity of Canbera:
dan Direktur Puslit Manse Nsae Kupang

BUNYI tabuhan gong pilkada orang nomor satu propinsi ini semakin memanas. Riak-riak kreatif politis, alias curi start untuk mulai sebetulnya telah berlangsung setahun silam. Sebenarnya 'curi start' yang kelewat awal ini tidak saja memberi udara panas dan membikin orang seakan keringat di pagi-pagi buta, tetapi juga kurang berbobot secara demokrasi yang sehat, oleh karena pola yang dipagelarkan masih sebatas sembunyi-sembunyi kuku, bermain di bawa aras pelana politik yang sebenarnya, mencari di dalam sokal atau karung yang masih gelap.

Para tukang ojek dan masyarakat kecil di kampung-kampung paling tahu tentang siapakah yang bakal menjadi pemimpin NTT mendatang. Misalnya, "Pak," kata seorang tukang ojek di Jalan Wirajaya Ende ketika penulis bergegas ke Jalan El Tari untuk menghadiri Seminar Dewan Riset Daerah mengenai pendidikan NTT setahun silam (November 2007), "kami sudah tahu calon terkuat gubernur kita mendatang!"


Saya mengeleng-gelengkan kepala oleh karena nama yang disebut justeru yang tidak ramai diperebut ratusan ribu hati masyarakat Nusa Tenggara Timur. Siapa dia? Wait and see, please! 

Merunduk pada format politik

Sosok tersohor Orde Baru telah tiada. Ia pergi meninggalkan banyak kenangan, pahit dan manis, bersahabat dan tidak, baik dan buruk, memusingkan dan menyenangkan, macam-macam. Ya, beliau juga sebagai manusia biasa. Hanya sayang, beberapa hari menjelang keberangkatannya untuk tidak kembali lagi, media dan perhatian dunia masih terpana pada 'apakah ia pantas diampuni atau tidak?"

Ia terpasung dalam dikotomi 'untuk dimaafkan' atau 'dibiarkan sebegitu saja'; ia terpenjara dalam tingkah kemanusiaan yang kebal hukum, hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara diutak-atik, ia dijerat dalam perilaku semena-mena oleh para politisi dan konco-konco, itikad baiknya dipermainkan seenaknya saja persis di hari tua. Apakah seorang panglima besar seperti Soeharto takut menghadap pengadilan yang adalah kreativitas kekuasaannya selama 32 tahun?

Tulisan ini tidak concerned pada 'tata seremoni' seperti itu. Juga bukan satu uji argumentasi mengenai apakah mantan orang nomor satu republik - yang kedua - ini pantas diperlakukan seperti itu atau tidak di saat-saat akhir hayatnya yang sangat complicated secara hukum.

Sejenak kita tunduk kepala untuk mengenang, tidak saja kepergian beliau, melainkan juga pelbagai hiruk-pikuk kondisi sosial-kemasyarakatan kita akhir-akhir ini. Sebut saja panorama menjelang pilkada, dengan menarik bias dari diskursus sepintas mengenai kepergian Soeharto.

Suasana terpuruk yang membikin pamor Soeharto menurun drastis dan serentak amukan mahasiswa memaksanya untuk turun dari kuasa itu harus dilihat dalam sebuah mata rantai penderitaan yang sungguh panjang tiada berakhir, kesulitan rakyat yang berkelok-liku dengan linangan serba-serbi persoalan sosial yang sulit terselesaikan, masyarakat seakan berziarah dari persoalan yang satu lalu masuk persoalan berikut kemudian terbit yang lain tanpa ada hasrat yang tulus untuk menuntas jejaring persoalan-persoalan tersebut.

Masyarakat tampaknya stabil, namun terus berkubang dalam kebodohan dan macam-macam kebimbangan. Lalu reformasi, yang katanya mau memperbaiki dinamika dan paradigma pembangunan yang salah selama dua orde (ORLA dan ORBA) justeru menghasilkan persoalan berkarung-karung. Korupsi muncul di mana-mana tanpa kendali. Kini suasana ekonomi mulai morat-marit, yang juga mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat lainnya.

Format politik kita perlu ditelaah-ulang serentak dengan usaha yang serius untuk memperbaiki kelemahan infrastruktur pada berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara, semakin melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin, kurangnya tanggung jawab para pemegang kekuasaan, yang berujung pada pergantian para pejabat yang selalu memuat masalah keuangan yang tidak becus.

Dinamika pembangunan kita membutuhkan jiwa yang arif untuk mengabdi masyarakat yang semakin menderita dan tenggelam dalam berbagai kemelaratan. Kondisi saat ini sangat membutuhkan kasih yang nyata untuk menghadapi ratusan ribu Manusia NTT yang sedang terlelap dalam suasana kehidupan yang semakin tidak menentu.

Untuk itu, para bakal calon gubernur dan wakil gubernur harus memperhatikan hal sangat sederhana, untuk tidak terperosok dalam dosa sosial obral kata dan jual janji lalu tidak melakukan sesuatu yang nyata setelah dilantik. Perlu ada perbaikan manajemen pelayanan dan pola kerja 'pengabdian masyarakat'.

Masyarakat NTT ingin melihat sesuatu yang dapat diinderai, sesuatu yang sungguh menyentuh kehidupannya setiap hari, sesuatu yang bertalian dengan persoalan masyarakat setiap hari di desa-desa, sesuatu yang menjamin hak dan kewajibannya, sesuatu yang membuat mereka senang karena terbebas dari ikatan kemelaran dan kemiskinan.

Kembali ke hati masyarakat

Ada dua hal mengemuka yang sering menjadi bahan diskusi hangat di tepi waktu menjelang pilkada, yakni 'pintu' dan 'kandang'. Yang pertama merujuk pada pintu parpol (formal) yang mengajukan figur, dan yang kedua adalah pendukung lapangan.

Ada fenomena menarik akhir-akhir ini bahwa parpol yang mengajukan figur tidak secara otomatis mengikat para anggota di lapangan untuk mendukung figur yang diajukan secara resmi. Hal itu terjadi, salah satu sebab utama adalah beda persepsi mengenai bobot atau kemampuan politik dari figur yang diajukan. Di sini saya hanya mengingatkan masyarakat NTT untuk pandai memilih cagub/cawagub mendatang dengan bersikap kritis, jangan cepat percaya uar-uar kata dan obral janji yang sering tidak ada isi. Nama-nama yang telah ada dan yang lain akan segera menyusul harus diseleksi dengan cermat, matang dan mendalam. Don't miss the game!

Tanyalah pada tetangga atau orang-orang yang Anda kenal untuk memberi masukan mengenai pimpinan yang pantas untuk masa 2008-2013, agar yang dilantik kelak bukan saja figur politik yang obral janji, di mana setelah pelantikan hanya menggunakan dan menghabiskan waktu untuk mengatur kursi kekuasaan, tenggelam dalam perkara 'membagi fee', sibuk dengan soal-soal sekitar tender lalu lupa tugas utama untuk melayani masyarakat.

Di kala kampanye, tidaklah cukup bagi para kandidat bila hanyalah tunduk pada visi dan misi atau dengan perkasa menyampaikan kritikan yang tajam untuk mereparasi paradigma kehidupan kini. Juga belum cukup menyampaikan format-format politik dan jurus-jurus sosial baru untuk memperbaiki dinamika pembangunan. Yang paling penting adalah kembali ke dalam hati masyarakat di daerah-daerah pedesaan (going back into the heart of people) untuk mengetahui dengan pasti kebutuhan, keluhan, kesulitan, tantangan dan persoalan yang dialami setiap hari.

Masyarakat NTT membutuhkan sebuah hati 'seorang pemimpin' yang selalu dekat dengan persoalan mereka, hati yang siap mendengar tanpa mengadili, hati yang tidak munafik dan berbasa-basi, hati yang tidak membual, hati yang terus memberi respek terhadap keutamaan sosial, hati yang tidak berpesta di atas penderitaan masyarakat yang miskin-melarat, hati yang tidak mengada-ada, hati yang terus tunduk untuk mengabdi masyarakat kecil dan sederhana, hati yang siap melayani tanpa pamrih, hati yang senantiasa merangkul.

Munculnya sederet nama harus dibaca sebagai terbitnya gejolak baru, di mana orang saling berlomba untuk melayani dan mengabdi daerah ini. Persoalan serta-merta terbit di pelupuk mata: apakah benar ada ketulusan dalam hati para bakal calon untuk mengabdi masyarakat NTT. Wait and see, please!

Saya percaya masyarakat NTT, yang sudah dapat menilai dan menentukan dengan sendiri berdasarkan suara hati dan pilihannya sendiri. Walau ada team jurkam yang pandai berkampanye melalui sms dengan membesar-besarkan figur-figur tertentu tanpa memberi kajian yang mendalam dengan disertai data-data yang akurat. Kampanye murahan seperti ini pantas disayangkan. 

Ke mana arah perahu?

Belakangan ini tersiar informasi bahwa para kandidat saling berebutan pintu partai. Walau terbukti pada beberapa kali pilkada nasional, propinsi dan kabupaten/kotamadya se-Indonesia bahwa pintu parpol bisa bobol oleh karena tidak serta merta menggiring warga parpol di daerah-daerah pedesaan untuk mengikuti kemauan parpol.

Fenomena seperti ini harus dibaca bahwa masyarakat kecil sudah dapat menentukan pilihannya sendiri mengenai siapa yang pantas memimpin dan tidak perlu tergantung pada deal-deal politik yang dilakukan para politisi di peringkat atas. Orang-orang di desa sudah semakin pintar, jika politisi tingkat atas bisa mempermainkan suara hati dan pilihan mereka. Masyarakat sudah semakin cermat mengamati tabiat politisi yang pandai mempermainkan penderitaan dan kesulitan mereka.

Pertanyaan sangat krusial untuk direfleksi, mengapa para kandidat saling berebutan pintu partai? Lalu, apakah ada gejolak 'politik baru' [sudah lama, tapi dilagukan dengan gaya baru] bahwa pintu-pintu partai juga sibuk berdayung -bagai lelang barang dagangan- untuk menawarkan nilai jual pintu partainya?

Sistem dagang seperti ini memang menarik oleh karena sering meleset dari teori fluktuasi ekonomi. Lihat saja praktek dagang sapi di era ORBA! Sementara, pola dagang seperti itu justeru melilit paradigma kerja para wakil rakyat untuk tidak setia mengabdi kepentingan masyarakat kecil. Dalam bahasa lain, format politik seperti ini selalu tidak sehat oleh karena 'uang' dan 'kuasa' selalu menjadi kunci untuk menyelesaikan semua perkara.

Ada satu hal teramat penting yang seharusnya diperhatikan para kandidat, yakni kasih yang adalah e'lan vital pembangunan. Tebarlah spirit kasih di dalam hati setiap pribadi, di antara warga masyarakat, agar terbit di dalam masyarakat karya-karya nyata yakni usaha-usaha yang semakin memberi spirit baru kepada kemajuan yang sungguh-sungguh manusiawi di mana nilai-nilai kemanusiaan selalu diperhatikan tanpa syarat.

Para kandidat di dalam melang-lang seluruh kawasan NTT, taburlah benih kasih yang sama, agar masyarakat selalu tinggal dalam suasana harmoni di balik kenyataan adanya pelbagai perbedaan: agama, etnik, golongan, ras dan macam-macam. Sadarkan warga masyarakat untuk tetap hidup dalam keutuhan, walau dalam pilkada akan ada dua kenyataan: kalah atau menang.

Selain itu, realitas sosial kita selalu menunjuk dua fenomena: pertama ada kemungkinan untuk 'saling berbeda', namun yang kedua, ada pula kemungkinan untuk 'berada bersama'. Para kandidat, juga jurkam dan pendukung salah satu kandidat, berusahalah untuk mengatasi persoalan yang sering muncul, di mana orang cenderung menekankan yang pertama untuk selalu berkubang dalam kemungkinan untuk berbeda dan tinggal di dalam kepicikan dan ketertutupan sendiri.

Kita haruslah berusaha untuk mengembangkan kemungkinan yang kedua, memperhatikan nilai-nilai kebersamaan, selalu mengarahkan karya dan karsa untuk saling merangkul. 

Dengan adanya usaha untuk menjalin kebersamaan yang harmonis, maka masyarakat akan selalu menemukan inspirasi baru untuk membaharui paradigma kehidupannya menjadi lebih dinamis. Salah satu petunjuk, setiap kehadiran pimpinan harus bagai air segar yang menyejukkan, sehingga masyarakat siapapun dapat datang untuk berlindung padanya. Dengan demikian masyarakat akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau melakukan yang ganjil-ganjil. 
Sumber: Pos Kupang, 16 Februari 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger