Headlines News :
Home » » Bagai Kertas Layang-layang

Bagai Kertas Layang-layang

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, February 14, 2008 | 4:56 PM



Surat-suratnya seperti halaman sebuah surat kabar, melewati kegelapan menuju terang ...

SOSOK Pramoedya Ananta Toer tidaklah asing buat masyarakat Indonesia. Kepopuleran Pramoedya dalam berbagai karya tulis, khususnya novel, telah mengantarkannya ke puncak popularitas sastra kelas dunia.

Sejumlah gelar disandangnya, kebanyakan dari luar negeri. Sebuah ironi bagi bangsanya sendiri. Sederet karya telah ia ciptakan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Mengisahkan Pramoedya -keluarga dan pengalaman hidup mereka yang dibelenggu kesemena-menaan penguasa-. sejenak kita melihat apa yang ditulis Czeslaw Nblosz, penulis Polandia. Milosz mendeskripsikan manusia dan bangsa Polandia dalam bukunya The Captive Mind (Yang Terpasung).

Czeslaw mengingatkan kita, hilangnya kebebasan manusia berarti manusia sendiri telah jatuh. Maka menurutnya, betapa nyeri nya proses penyesuaian diri para intelektual dan seniman terhadap konsepsi kekuasaan totaliter di negara-negara Eropa Timur, yang jatuh ke dalam orbit kekuasaan Uni Soviet setelah Perang Dunia.

Padahal negara-negara Eropa Timur itu dulunya adalah bangsa-bangsa yang bebas, dan nasionalisme mereka sendiri yang kuat dan teguh seperti Polandia,, Hongaria, Cekoslowakia, dsb.

Menengok ke belakang, pada tahun 1965 sampai tahun 1998, 34 tahun masa jaya kediktatoran rezim Orde Baru,.kita seolah dibuat tak berkutik, seakan begitu pasrah dan menyerahkan diri pada suatu kekuasaan totaliter.

Saat itu, di Indonesia terjadi pergulatan konsep-konsep totaliter dalam berbagai bentuk yang sangat represif. Bukankah masyarakat yang demokratis yang kita cita-citakan bersama adalah jauh lebih manusiawi, dan memiliki peluang untuk memperbaiki tata cara masyarakat yang lebih bermartabat, berkemanusiaan?

Pramoedya, sosok yang sama, beberapa pekan terakhir ini menjadi topik perhatian media massa. Sebagai seorang korban G30S/PKI, Pram menolak keras permintaan maaf Presiden Gus Dur atas malapetaka nasional itu.

Menarik garis sejarah ke belakang, figur Pram justru semakin mudah dipahami, termasuk memaharm mengapa ia justru menolak permintaan maaf itu. Gus Dur mengusulkan pencabutan Tap XXV/MPRS/1966 tentang larangan ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.

Tap ini seakan mengunci seluruh proses sejarah kegelapan. Maka bisa dimaklumi kalau ekses keterkatupan itu menimbulkan semacam trauma demikian mendalam.

Seakan memblokade semua hak yang mesti diperoleh dan dinikmati semua warga masyarakat bangsa Indonesia tanpa kecuali. Korban peristiwa itu seolah tak layak lagi hidup di Indonesia. Tap yang seolah melegitimasi stigma traumatis itu.

Sejarah, kata Pramoedya Ananta Toer, adalah urutan logis. Logika sejarah ia yakini masih menjanjikan bahwa masa depan Indonesia bisa dibangun sekadar sebagai jembatan atau rumah modern.

Sejarah adalah pengalaman, pengalaman terhadap sebuah aliran waktu lampau, kini dan nanti. Pram, menganut ideologi waktu dalam tiga dimensi: kemarin, hari ini adalah esok. Itulah Harapan dan optimismenya: "Ada sebuah tanah indah (happy land) di suatu tempat... sebuah simbol universal masa depan .... .. kata Pram.

Bagi Pramoedya, Pulau Buru adalah bagian dari sejarah itu. Selama empat belas tahun, ia terpaksa menjadi salah satu penghuni kamp tapol G30S/PKI korban kekejaman rezim otoriter Orde Baru.

Sebagai sebuah postulat sejarah, Pulau Buru bagi Pram analog dengan tersumbatnya ingatan. Beberapa bulan pertama ketika menghuni kamp Buru, ia kesulitan menghafal nama anak-anaknya: 3 orang anak dari istri pertama dan 7 orang anak dari istri k,eduanya Maemunah, putri Betawi.

Di Pulau Buru itu pula pemahaman Pram terhadap logika sejarah seolah paradoks serba terbalik. Aliran waktu baginya seolah bukan merupakan tali temali, mata rantai kemarin, kini, dan esok Ialu menguap d udara.

Bagi Pram, waktu bukanlah sebuah konstruksi tentang sejarah kehidupan umat manusia. Tapi itu tidak berarti Pram skeptis. Masa depan baginya tetap terbentang luas di hadapannya, meski harus berbenturan langsung dengan keadaan macam ini.

Ia amat optimis terhadap masa depan. Sangat menyenangkan untuk membayangkan dirinya hidup. Pram hidup di hari-hari yang majemuk dalam perhitungan multi-majemuk.

Pram, seperti umumnya generasi Indonesia modem sebelumnya, masih percaya sejarah mulai dalam 'waktu pra-logika' Ialu bergerak, 'sepanjang sejarah menuju masa perbudakan, masa feodal, masa kolonia dan sekarang ini, "masaku sendiri."

"Masa" Pulau Buru mempunyai kualitas tertentu bagi Pram. Berbeda dengan rekan rekan sesama tapol, Pram justru sangat produktif.. Banyak karya yang dihasilkan dalam pengasingannya itu. Hari harinya selama di kamp Buru penuh dengan rutinitas menulis. Semua karyanya ia tulis dalam suasana serba sulit.

Rasa keterasingan, jauh dari kekerabatan dan kekeluargaan, kasih sayang antara anak orangtua terkadang menjarakkan perasaan hati Pram dengan keluarganya di Jakarta.

Ketujuh anaknya yang ia tinggal masih kecil-kecil ketika ia ditangkap tentara, 13 Oktober 1965. Sungguh suatu jarak batin yang membelenggu nuraninya. Maemunah (61) istri kedua yang ia nikahi tahun 1955, tepat sepuluh tahun ketika ia ditangkap, harus tabah menentang arus stigma masyarakat yang sudah terlanjur mendiskreditkan mereka sebagai orang PKI. Orang yang tidak layak hidup di bumi Indonesia ini.

"Sebagai istri, saya harus tegar menghadapi tekanan batin, ocehan, dan cemoohan masyarakat. Pahit memang pengalaman itu. Tapi, perasaan itu harus bisa saya simpan sendiri. Tidak saya tunjukkan kepada anak anak," ungkap Maemunah.

Meski Pulau Buru adalah sebuah kamp di mana semuanya terbatas, Pram justru menganggapnya bukan masalah. Aktivitasnya menulis terus saja berjalan. Menulis apa saja. Menulis novel dan surat untuk keluarganya di Jakarta.

Suatu ketika, pada tahun ketujuh dalam pembuangannya di Pulau Buru, Pram menulis surat kepada anak-anaknya: "... dengan akal sehatku, aku memahami situasi, aku dalam keadaan terbatas." Terali yang memenjarakannya merupakan alam.

Pengalaman ini merupakan penjara alam dalam suatu cekungan yang dikitari tembok hutan belukar, perbukitan yang sambung menyambung sebelah utara, barat, selatan, dan di lautan di sebelah timur.

Surat kasih sayang

Bagaimanapun juga Pramoedya tetap Pramoedya Ananta Toer. Seorang ayah yang mempunyai kasih sayang bagi sang istri dan anak-anaknya. Jarak bukanlah batas. Dan batas bukanlah jarak yang memisahkan batin.


Sebagai ayah, Pram berusaha untuk tetap memberi kehangatan kepada anak-anaknya. la sadar betul, tidaklah mudah untuk bisa menggantikan kehadirannya. Oleh karena itu, sejauh dapat ia tetap berusaha untuk menjadi seorang ayah yang baik. 'Memberi nasihat, membimbing, dan menuntun untuk di kemudian hari menjadi orang baik dan berguna.

"Engkau belum mempunyai teman pria, bukan? Engkau masih.terlalu muda untuk pergi sendirian. Untuk hal seperti itu, engkau harus lebih dulu meminta izin ayah atau ibu. Jangan sembunyi-sembunyi. Engkau harus selalu jujur pada orangtuamu. Cium untukmu!" kata Pram mengutip surat yang pernah ia kirim untuk putrinya selama pembuangannya di Pulau Buru.

Dialog batin, komunikasi 'kasih sayang' jarak jauh hanya bisa dideskripsikan melalui surat-menyurat, meski harus ekstra hati-hati menghindari sensor para tentara. Disadarinya pula, tidak semua surat mendapat balasan.

Pram berkisah, suatu ketika putrinya menulis surat kepadanya: 'Teman-teman mengatakan bahwa ibu tetap kelihatan muda. Tapi mengapa engkau begitu berubah? Engkau menjadi jauh lebih dewasa. Aku tidak bisa mempercayai betapa cepat semuanya ini. Bagaimana bisa engkau menjadi begitu dewasa?"

Kegundahan hati, kerisauan nalar adalah hantu pikiran para tapol. Sejumlah pengalaman telah menjadi bagian dari sejarah hidupnya, sejarah hidup anak-anak yang ia cintai. Belasan tahun mereka seolah mendekam dalam sebuah kurungan stigma negatif masyarakat. Toh kedewasaan, kesabaran, dan kebesaran hati telah mendidik mereka menatap masa depan lebit baik.

Bagi Pram, senja hidupnya ia rasakan bagai melayang tanpa jelas garis-garis batas wujudnya seperti lintah darat sedang menempuh jarak. Dan rangsang hidup kembali dan kembali berbunyi seperti piringan hitam His Master's Voice: Tiga puluh tahun lagi Pram, tiga puluh tahun lagi.

Pram memang berada di pengasingan di masa komunikasi tanpa kabel, tanpa internet, tanpa e-mail, tanpa komputer, namun tembok tidak menjadi penghalang. Meskipun diberi duri tidak lagi dibutuhkan untuk menjaga sebuah negara, atau seorang manusia untuk menyatu.

Surat-suratnya seperti halaman sebuah surat kabar: melewati kegelapapan menuju terang, bak kertas layang-layang maka terbanglah mereka ke alam bebas, sebuah tanah indah di suatu tempat...
Bona Beding,
dari berbagai sumber
Sumber: HIDUP No. 20 Tahun LIV 14 Mei 2000
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger