BANGUNAN ini
memiliki tapak sejarah yang tidak biasa. Ada empat gubernur jenderal VOC yang
pernah bermukim di sini. Dengan dinding warna merah bata, gedung yang berusia
285 tahun ini menonjol di antara deretan bangunan di kawasan Kota Tua Jakarta.
Dari balik
jendela besar dengan kaca berangka kotak-kotak, Thomas Ataladjar menunjuk ke
arah Kali Besar, yang di zaman zaman kolonial Belanda disebut De Groote Rivier,
yang merupakan muara sungai Ciliwung
“Dari Jendela
ini Van Imhoff bisa melihat kapal-kapal yang melintasi Kali Besar. Dulu kali
ini merupakan wilayah lalu lintas air yang padat,” kata Thomas, penulis buku Toko Merah, merujuk pada Gustaaff Willem
Baron van Imhoff, Gubernur Jendral VOC (1743-1750), yang merupakan pemilik
pertama bangunan yang sampai kini dikenal sebagai Toko Merah.
Van Imhoff
juga antara lain mendirikan kantor pos pertama di Batavia, koran pertama (Bataviasch Nouvelles), bank pertama dan
juga mendirikan Istana Bogor.
Di dekat
jendela yang merupakan ruang kerja Van Imhoff itu terdapat sebuah lemari tua
yang terbuat dari jati. Lemari itu merupakan satu dari dua barang asli yang
masih tersisa di Toko Merah. “Semua isi kamar ini sudah dipindahkan ke bangunan
Museum Gajah tahun 1901, menjadi Ruang Kompeni (Compagnieskamer). Itu adalah bagian terindah dan istimewa dari
gedung ini. Dipindahkan karena jika gedung ini sampai runtuh, mereka ingin
jejak nenek moyangnya tetap terjaga,” kata Thomas yang bukunya banyak menjadi
acuan para peneliti maupun mereka yang berminat pada sejarah Batavia.
Kami kemudian
memasuki pintu utama, satu-satunya pintu yang bergaya baroque, dengan dekorasi
khas keemasan berupa relief dinding yang menggambarkan warga lokal yang sedang
membawa padi dan hasil palawija seperti manggis dan anggur. Di ujungnya
terdapat relief Museum Fatahillah (dahulu Staadhuis,
Balai Kota).
Begitu
melangkah ke dalam, kami berdiri di tengah ruangan yang luas dan megah,
dikelilingi jendela-jendela kaca yang tinggi dan lebar dengan desain
kotak-kotak. Ruangan mirip aula ini memiliki langit-langit tinggi yang
berlapiskan kayu, masih sesuai kondisi asli ketika gedung berdiri tahun 1730.
Di masanya
ruangan yang kerap digunakan untuk jamuan dan dansi-dansi itu dibelah oleh sekat berupa pilar-pilar dan
dinding kayu menjadi ruangan utara dan selatan. Kini sekat tersebut hanya
tinggal pilar dan lis dari kayu jati. Ini merupakan keunikan Tokoh Merah. Dari
luar terlihat seperti satu bangunan. Namun, di dalamnya terdapat dua bangunan
kembar. “zaman dulu, bangunan selatan untuk tempat tinggal ibunda Van Imhoff
yang utara untuk keluarga Van Imhoff,” jelas Thomas.
Melalui tangga
kayu berukir, kami berjalanan menuju ke atap bangunan dan memasuki “ruangan”
yang dipenuhi rangka atap kayu berupa palang-palang kayu. Di luar, udara
kemarau begitu terik menyengat. Namun, di selasar ini, panas seperti terserap,
menyisakan udara yang adem dan lembab. Matahari menerobos sebuah “jendela” besar yang berada di sisi
atap. “Dari sini dulu pelabuhan Sunda Kelapa masih terlihat jelas. Tempat ini
digunakan untuk mengintip suasana di pelabuhan, memonitor kapal-kapal yang
datang,” kata Thomas.
Tonggak-tonggak
jati yang menopang atap, juga lantai kayu yang usianya hampir tiga abad itu,
semua masih asli dan kokoh. Bangunan ini bersih dari serbuan rayap. “Itu berkat
ramuan China yang dioleskan pada kayu sewaktu dibangun dulu. Ramuannya terbuat
dari apa, saya tidak tahu,” kata Thomas.
Dari jendela
belakang, kita bisa melihat halaman luas
yang berbatasan dengan jalan Roa Malaka. Dari bentuk bangunannya yang sederhana
dan memanjang, bisa ditebak wilayah ini
adalah wilayah “belakang”, wilayah kawula. “Itu tempat budak-budak. Seorang
pejabat bisa punya ratusan budak,” kata Thomas. Dari foto-foto tempo dulu, bisa
dilihat bagaimana para budak ini mengangkat tuannya bepergian ke mana-mana,
memayungi istri atau para selir, mengelap sepatu, dan lainnya.
Toko Merah
sepanjang era kolonialisme selalu menjadi incaran para penguasa lokal karena
lokasinya sangat strategis di pusat pemerintahan. Letaknya hanya “selemparan
batu” dari Museum Fatahillah, berseberangan dengan Gereja Belanda Lama (De Oude Hollandsche Kerk, kini Museum
Wayang), juga dengan stasiun kereta api, dan banyak titik penting lainnya.
Selain Van
Imhoff, tiga gubernur Jendral VOC lainnya yang memilih tinggal di bangunan ini
adalah Jacob Mossel, Reiner de Kerk, dan Petrus Albertus van de Parra. Menantu dari Mossel, Nicolas
Hartingh, yang pernah tinggal di sini, merupakan penanda tangan Perjanjian
Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi Kesultanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta.
Dokumen
sejarah mencatat, sebuah “toko merah” muncul ketika bangunan itu dimiliki warga
Tionghoa, Oey Liauw Kong, pada pertengahan abad ke-19 dan digunakan sebagai
toko. Kusen jendela, pintu, juga tembok muka bangunan, semua dicat merah. Orang
sekitar kemudian mejulukinya sebagai Toko Merah.
Pasca
kemerdekaan, Toko Merah berubah fungsi sebagai kantor sejumlah perusahaan. Yang
terlama adalah PT Dharma Niaga, tahun 1977-2003. Thomas yang merupakan pegawai
Dharma Niaga tertarik untuk meneliti lebih jauh bangunan ini. “Setiap ada orang
datang ke kantor dan bertanya tentang Toko Merah, selalu dikirim ke saya karena
tidak ada satupun di kantor yang tahu tentang sejarah gedung ini. Saya butuh waktu
10 tahun untuk mengumpulkan data, lalu saya kumpulkan jadi buku. Saya kirim
juga bukunya ke Ratu Beatrix,” kata Thomas.
Belum lama
ini, seorang peneliti dari Australia menghubunginya dan memberi informasi bahwa
penjelajah asal Inggris, Kapten James Cook, kemungkinan pernah menginap di Toko
Merah saat bangunan itu berfungsi sebagai hotel (heerenlogement) sekitar tahun 1786-1808. Saat itu sebagian awak
kapal Cook terkena malaria. Jika benar, tentulah nilai sejarah gedung ini akan
semakin tinggi.
Toko Merah
saat ini dikelola oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) yang
membuka kembali gedung ini pada tahun 2012. Gedung ini menurut rencana akan
difungsikan sebagai tempat pertemuan, konferensi, maupun, ruang pamer (Kompas, 20 Juli 2013).
Sayangnya,
kejelitaan Toko Merah kini memudar. Pantulan cahaya dengan jelas menunjukkan
debu yang menebal di seantero lantai gedung. Kaca-kaca jendela yang sudah
dimakan usia, buram tersaput debu. Rumput liar memenuhi pekarangan samping si
Merah yang hampir berusia tiga abad itu harus bersabar menanti polesan. (Myrna
Ratna).
Sumber: Kompas, 27 September 2015
Ket foto: Thomas Ataladjar, penulis buku Tokoh Merah dengan latar gedung Tokoh Merah (gambar 1) dan (gambar 2) saat berada di ruang perpustakaan pribadi di rumahnya, Bojonggede, Jawa Barat.
Foto: Repro Kompas & dok Thomas Ataladjar
Foto: Repro Kompas & dok Thomas Ataladjar
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!