Headlines News :
Home » » Popularitas dan Banalitas Politik

Popularitas dan Banalitas Politik

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, February 13, 2008 | 10:20 AM

Oleh Boni Hargens
Pengajar Ilmu Politik UI

Banjir awal tahun ini tak cuma merepotkan rakyat biasa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun terganggu banjir di Jakarta. Lalu, ketika ditanya pers, Presiden bilang, "Ya, tadi basah, tetapi barokah. Untuk rakyat, basah tidak apa-apa." Dari sudut pandang rakyat, saya bingung mendapatkan titik temu antara Presiden kebasahan dan kepentingan rakyat. Bukankah Presiden kebanjiran sama sekali tak berhubungan positif dengan nasib rakyat?

Aneh, Presiden malah memaknai kebanjiran itu sebagai pengorbanan demi rakyat. Demi apanya rakyat? Bukankah banjir melumpuhkan ekonomi dan meluluhlantakkan hidup rakyat? Justru rakyat seharusnya bertanya kepada pemerintah, kenapa Ibu Kota Jakarta selalu kedatangan tamu tahunan bernama banjir? Presiden perlu memaparkan argumentasi lengkap kenapa dia kebanjiran demi rakyat.

Apa pun penjelasan Presiden, yang jelas banalitas dalam politik ditandai oleh kedangkalan refleksi, krisis mutu, dan tanggung jawab. Itu tren dalam sebuah negara demokrasi yang tidak matang--yang oleh sebagian kritikus disebut demokrasi prosedural.

Di Amerika Serikat yang demokrasinya sudah tua pun banalitas masih hidup. Lihat saja popularitas Bush tak melorot signifikan ketika ia gencar melancarkan serangan ke Irak dan Afganistan sesudah tragedi 9/11. Lalu ada analis politik yang mengajukan tesis bahwa popularitas Bush tak menurun karena dukungan terhadapnya adalah faith-based support, bukan fact-based support (Paul Corrigan, 2003). Karena berbasiskan keyakinan, dengan mudah orang berteriak, "Right or wrong is our president!" Maka Bush membunuh atas nama demokrasi pun absah--bahkan sebuah tindakan martirial. Sebaliknya, kalau dukungan berbasiskan fakta, barangkali Bush tak mampu berkuasa dua periode.

Ada kesan, pemerintah kita pun mau mendirikan suatu pola dukungan berbasis keyakinan--meskipun keyakinan dalam konteks kita tak sama dengan Amerika Serikat yang cenderung identik dengan agama--di tengah masyarakat politik. Konsentrasi yang berlebihan pada sensasi dan popularitas menguatkan hipotesis bahwa pemerintah mencari faith-based supports untuk kelanggengan kekuasaan.

Dukungan berbasis keyakinan tentu tak bermasalah pada dirinya. Namun, yang menjadi persoalan ketika keyakinan dibangun bukan atas dasar prestasi esensial, melainkan figuritas semata. Perubahan memerlukan anasir esensial, seperti kualitas manusia dan komitmen moral-politik, dalam kadar memadai. Tanpa itu, kepemimpinan politik menjadi banal, dangkal, dan tak bernilai.

Akhir 1960-an, Hannah Arendt memunculkan istilah banalitas kejahatan (banality of evil) untuk merangkum penilaiannya atas Otto Adolf Eichmann, lelaki yang dijejal tuduhan berlapis oleh pengadilan Yerusalem pada awal 1960-an: pembunuh Yahudi, penjahat kemanusiaan, dan penjahat perang. Arendt ada di Yerusalem khusus untuk melaporkan episode demi episode pengadilan Eichmann.

Para Arendtian kemudian menafsir banality of evil demikian: there is an Eichmann in each one of us! Bahwa dalam diri setiap kita, ada Eichmann-kapan pun kita bisa berkomitmen dengan kejahatan berlapis. Arendt membantah dalam sebuah lokakarya di Toronto pada 1972. Ia katakan, banality of evil itu terminologi yang dimunculkan untuk menggambarkan betapa Eichmann langka dalam sejarah, bahkan tak ditemukan dalam tradisi, literatur teologi, dan filsafat tentang fenomena kejahatan.

Entah kenapa Arendt begitu keras menolak penafsiran seperti itu. Padahal, kalau dipikir logis, Eichmann memang bisa hidup dalam diri siapa saja, di mana saja. Dan dalam sebuah negara demokrasi yang rapuh, dengan demokrasi yang ditelikung untuk mengekalkan arogansi kekuasaan, elite politik cenderung tampil sebagai "Eichman yang lain". Hitam-putih histori demokrasi Indonesia pun tak sekadar membuktikan banality of evil, tapi juga banalitas politik (banality of politics). Tak sedikit elite politik yang lebih tepat disebut para banal.

Maka sebelum demokrasi kita berubah menjadi demokrasi para banal, perlu ada transformasi dalam sejumlah hal. Pertama, filosofi kekuasaan perlu reinterpretasi. Agaknya pemerintah menganut filosofi tradisional yang memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang melekat inheren dalam diri elite, sehingga monolitisme kekuasaan dipandang wajar. Padahal, dalam demokrasi, kekuasaan itu legitimasi yang didaulatkan rakyat. Maka survival of elites ditentukan oleh seberapa dalam komitmennya dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Suatu pemerintahan yang lemah komitmen dengan sendirinya harus dicampakkan.

Kedua, kita perlu mendalami hermeneutika politik, suatu penafsiran komprehensif atas apa itu politik. Seperti sudah kita ketahui bahwa elite banal memaknai politik sekadar perebutan kekuasaan. Jika realisme politik semacam ini bertahan lama, lama-kelamaan demokrasi benar-benar sebuah dagelan. Maka kita membutuhkan penyegaran makna politik, terutama di kalangan elite. Bahwa politik harus selalu menyangkut kepentingan umum. Selain dari itu bukan politik sehingga pengalaman Yudhoyono kebanjiran bukan "politik". Itu urusan pribadi yang sama sekali tak bersentuhan dengan nasib rakyat.

Ketiga, kita perlu membangun keadaban politik (political civility), karena bagaimanapun, banality of politics bisa menjadi banality of evil kalau "Eichmann" yang ada dalam diri (elite) kita tak segera dieksekusi. Walau Arendt membantah, banality of evil tak berarti ada Eichmann dalam diri setiap kita, tapi ada baiknya interpretasi semacam ini dijadikan renungan sebelum demokrasi menjadi banalisme absolut.

Bahwa demokrasi kita mengalami krisis kesejukan. Keadaban tidak terbangun, karena pertama, politik dikerdilkan sebagai conflict of interests; kedua, jarak elite dengan rakyat makin jauh sehingga elite politik makin ke langit, sedangkan rakyat merayap makin ke tanah karena beban hidup tak terkira; dan ketiga, keteladanan politik absen dari sejarah demokrasi kita. Padahal demokrasi adalah sistem luhur yang hanya mungkin ditegakkan oleh pribadi-pribadi yang luhur.
Sumber: Koran Tempo, 13 Februari 2008


SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger