Headlines News :
Home » » Ina Lefa, Ibu Lamalera

Ina Lefa, Ibu Lamalera

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, July 12, 2019 | 11:41 PM


Masyarakat Lamalera meyakini, laut merupakan entitas suci. Sebab itu, Ibu Laut dan nenek moyang bermukim di sana. Mereka senantiasa memberikan anugerah  kehidupan.

PAGI yang cerah. Langit begitu biru sebab lefo kampung Lamalera terkenal dengan panas teriknya. Laut Lamalera sedikit bergelora pagi itu. Tak terlihat seorang nelayanpun yang beraktivitas di laut hari itu, awal Mei, setahun silam. Tena (perahu) teparkir di rumah penduduk. Saya sendirian menyusuri pantai nan bersih dan sepi.

Di tengah pantai tampak sebuah meja persembahan. Meja itu untuk Misa arwah yang akan digelar nanti malam. Lalu, besok pagi umat merayakan Misa Lefa, perayaan pembukaan untuk musim bekerja di laut bagi para nelayan.

Di pesisir pantai lain, saya melihat beberapa tua tua adat yang dipimpin oleh kepala suku dari tiga suku induk yakni suku Lika Telo (Blikololong, Lefotuke, dan Bataona).

Mereka sedang bersiap menuju tempat ritual batu paus Lamalera yang terletak di atas bukit Fukalere. Mereka menggunakan sarong (sarung) khas Lamalera dengan berbaju singlet dan menggunakan ikat kepala dari daun lontar.

Ie gerek

Fukalere, selain bermukim fato koteklema (batu paus), juga menjadi tempat tinggal tanah alep atau tuan tanah (suku Lango Fujo). Suku Lango Fujo disebut sebagai tuan tanah karena masyarakatr Lamalera mengakui, mereka adalah pendatang dari Pulau Sulawesi seperti yang tertera di beberapa syair adat Lamalera.

Di Fukalere, mereka akan melakukan ritual ie gerek yakni ritual “memanggil paus” yang bertujuan untuk memohon kepada Yang Maha Tinggi atau Ina Lefa (Ibu Laut) dan leluhur di laut untuk memberikan berkah melimpah untuk lefo Lamalera. Ritus ini sekaligus memberitahu bahwa masyarakat lefo Lamalera sudah kehabisan makanan. Mereka memohon pertolongan kepada Ina lefa dan leluhur di laut.

Syair adat yang biasa didengungkan pada ritus ie gerek adalah “Levo ia malu mara/Dai ma pau levo/Kide knuke, nara kajak faka ia tobo pole/Dai ma pau levo.” Artinya, Kampung atau masyarakat di sini sudah benar-benar lapar dan haus/Datanglah untuk memberi mereka makan, para yatim piatu dan fakir miskin sedang duduk menangis/Datang dan beri mereka makan.

Permohonan itu diucapkan oleh kepala suku tuan tanah (Lango Fujo). Ritus ini juga bertujuan untuk memberitahu kepada Ina Lefa (Ibu Laut) dan nenek moyang di laut bahwa bahwa masyarakat Lamalera besok akan mengambil rezeki yang telah disiapkan bagi mereka. Bagi masyarakat Lamalera sendiri, paus tidak pernah dianggap sebagai makhluk buruan. Paus adalah pemberian makan bagi lefo oleh leluhur mereka yang berdiam di laut.

Ritual ini berlangsung dengan melakukan seremoni adat di fato koteklema oleh para tua adat dari Lango Fujo. Upacara adat berlangsung mulai dari batu paus hingga berakhir di pesisir pantai Lamalera.

Misa arwah

Siang hari, situasi pantai belum terlalu ramai. Di tengah pantai terlihat beberapa orang. Mereka tak lama lahi bakal merampungkan hiasan meja sebagai altar untuk Perayaan Ekaristi nanti malam. Ada beragam jenis bunga di seputar altar itu. Tapi, yang paling mencolok adalah hiasan  dari tulang ikan paus.

Perayaan nanti malam disebut Misa Arwah. Intensi untuk mengenang nenek moyang dan kerabat yang meninggal di laut, salah satunya wafat saat  menangkap paus. Sudah puluhan orang yang meninggal karena alasan itu.

Masyarakat Lamalera meyakini, kecelakaan di laut selalu berhubungan dengan kehidupan sosial di darat. Mereka percaya, orang-orang yang meninggal di laut tidak hanya menanggung kesalahannya tapi juga menanggung dosa publik masyarakat Lamalera. Dengan demikian, mereka yang wafat di laut adalah pejuang. Mereka akan selalu membantu kehidupan masyarakat Lamalera. Karena itu, jasa mereka senantiasa dikenang. Arwah mereka terus didoakan.

Misa dipimpin oleh imam. Pastor bersama umat mendoakan semua jiwa-jiwa orang Lamalera yang meninggal di laut, khususnya ketika melaksanakan tradisi lefa nuang atau berburu ikan paus. Tradisi menghormati arwah yang meninggal di laut sudah sangat lama. Bahkan, sebelum agama Katolik masuk ke lefo pada tahun 1886. Sejak agama Katolik masuk, tradisi masyarakat lokal berpadu dan berlangsung harmonis hingga sekarang.

Ketika agama Katolik masuk ke Lamalera, tradisi itu kemudian dimaknai  bahwa mereka yang meninggal  di laut telah bersatu dengan Sang Empunya alam semesta dan kehidupan. Dia adalah Lera Fule Tanah Eke, demikian masyarakat Lamalera menyebut wujud tertinggi.

Pada saat Misa, masyarakat Lamalera berharap, Lera Fule Tanah Eke mengampuni seluruh dosa atau kesalahan para leluhur Lamalera. Serta memberi mereka  tempat yang layak bersama-Nya. Selain itu, Misa Arwah juga bertujuan menghormati leluhur yang rela menyediakan “makanan” bagi masyarakat Lamalera dengan memberikan hasil tangkapan paus yang cukup selama setahun.

Prosesi Misa Arwah diakhiri dengan mengapungkan lilin menyala dan menabur bunga ke tengah laut. Semua keluarga akan membingkai lilin dan bunganya masing masing agar dapat diarungkan ke laut. Malam yang penuh keheningan ini seakan membawa nuansa sedih untuk mengenang semua orang yang teleh meninggal di laut.

Penyalaan lilin merupakan tradisi Katolik yang kini sudah digunakan masyarakat Lamalera di setiap upacara atau ritus adat. Lilin memberi makna cahaya yang selalu menerangi leluhur dan kampung Lamalera untuk berjalan dalam terang atau kebenaran.

Misa lefa

Hari baru telah berganti. Sekitar pukul 07.00 waktu setempat, masyarakat Lamalera telah berkumpul di pantai untuk merayakan Misa Lefa. Perayaan ini menjadi puncak prosesi. Semua suku akan mempersiapkan pesembahan kepada Yang Empunya hidup yang sudah diberi “nilai” dan ajaran Katolik yakni Tuhan sendiri.

Selain itu, persembahan juga diberikan kepada Ina Lefa yang dalam “kacamata” Katolik sebagai Ema Mria (Bunda Maria), Ibu Yesus. Ina Lefa sendiri memiliki filosofi yang sangat besar bagi masyarakat Lamalera dalam seluruh praktik hidup mereka, khususnya di laut.

Secara etimologi, frasa Ina Lefa berasal dari kata ina yang berarti ibu dan lefa yang berarti Laut. Makna Ina Lefa sendiri adalah ibu Laut atau ibu dari laut. Masyarakat Lamalera percaya bahwa seluruh kehidupan mereka ada dalam naungan Ina Lefa. Mereka percaya bahwa ketika mereka mencari hasil laut, Ina Lefa selalu memberikan yang terbaik.

Bagi masyarakat Lamalera, laut adalah ibu atau mama, sedangkan masyarakat Lamalera adalah anak anaknya. Laut adalah ibu (bunda) yang selalu memberikan segala yang terbaik untuk anak-anaknya. Seperti hati ibu pada umumnya, Ina Lefa tidak pernah akan meninggalkan anak-anaknya.

Ina Lefa tidak hanya menyediakan seluruh kebutuhan ekonomi masyarakat Lamalera. Ina Lefa juga menjaga kehidupan masyarakat dan menginginkan masyarakat Lamalera mengikuti seluruh aturan-atauran adat demi terjaganya keseimbangan dan keharmonisan hidup bersama. Syair adat berikut menunjukan bagaimana kepercayaan masyarakat Lamalera terhadap Ina Lefa. Ina soro budi (Ibu yang selalu memberikan seluruh perhatiannya)/ Budi neiro apadike (Budi tidak pernah dibalas dengan apapun)/Ina fae bele e (Ibu yang tebaik)/Nei kame angi usi (Berkanlah kami sedikit hembusan angin)/Nei kame angi usi oo (Berikanlah kami sedikit hembusan angin)/Ina fae bele e (Oh ibu yang terbaik).

Syair tersebut selalu dinyanyikan ketika para nelayan sudah mendapatkan hasil tangkapan berupa ikan paus dan meminta hembusan angin dari Ina Lefa agar segera tiba di bibir pantai.

Semua masyarakat Lamalera yang hadir dalam Misa Lefa akan menggunakan sarung adat Lamalera. Para kepala suku akan memberikan persembahan kepada Lera Fule Tanah Eke (Tuhan) dan Ina lefa (Ibu Laut), sembari memohon berkat untuk satu tahun ke depan. Misa Lefa penuh dengan doa permohonan atas berkat melimpah di laut, juga permohonan atas cuaca dan keselamatan para nelayan Lamalera.

Selain itu, Misa Lefa adalah ritus penyucian dan berkat bagi laut, nelayan, dan seluruh peralatan melaut (perahu dan seluruh perlengkapannya). Imam akan mereciki laut, para nelayan, dan seluruh peralatan melaut dengan air berkat. Dahulunya air berkat adalah air doa yang diambil dari lango bele (rumah adat) namun kini sudah diganti dengan air berkat yang yang didoakan oleh imam.

Selain mereciki air laut, nelayan dan alat-alat melaut, air berkat juga akan dibagikan dan dilettakan di setiap perahu untuk mereciki perahu dan para nelayan sebelum turun ke laut. Air berkat digunakan sebagai penyucian diri para nelayan sebelum turun ke laut.

Bagi masyarakat Lamalera, laut adalah entitas yang suci. Laut dianggap suci karena tempat keberadaan Ina Lefa dan roh nenek moyang. Mereka selalu memberi makanan untuk lefo Lamalera. Dengan demikian, makna imam memerciki air suci ke laut dan memberkati laut adalah agar kesucian laut tetap terjaga. Selain itu, untuk menghindari agar laut tidak dinodai oleh praktek-praktek nelayan Lamalera yang tidak mengikuti tradisi melaut yang telah ditetapkan oleh adat.

Ritus Misa Lefa di pantai, pemberkatan peledang oleh pastor, doa bersama, dan penggunaan air suci untuk tujuan bersih diri dari salah dan dosa merupakan tradisi Katolik yang telah diterima dan menjadi satu dengan tradisi masyarakat Lamalera dalam seluruh ritus musim lefa nuang (melaut).

Tidak hanya di darat, perpaduan tradisi Katolik dan tradisi adat Lamalera tidak hanya hadir pada Misa Lefa tetapi pada keseluruhan cara dan praktik melaut masyarakat Lamalera. Hal ini seperti diceritakan beberapa juru tikam paus (lamafa) tentang kisah mereka ketika melaut. Mereka menuturkan bahwa ketika ikan paus sangat sulit untuk dilumpuhkan dan para nelayan sudah kehabisan akal maka lamafa akan membubuhkan tanda salib pada bagian kepala ikan paus.

Tidak hanya itu, sesaat setelah ikan paus ditikam, dan selama ikan itu masih hidup dan memberikan perlawanan atau memberontak, para nelayan akan menyeruhkan kalimat, hir kae..hir kae.. diikuti dengan menyebut Gereja atau nama santo pelindung seseorang. Frasa hir kae bisa diartikan sebagai “makanlah atau ambillah”. Misalnya, pemilik perahu mempunyai santo pelindung Santo Petrus maka para nelayan akan berteriak, “Petrus hir kae..” Juga kalimat, Gereja hir kae, Ema Mria (Bunda Maria) hir kae.

Selain itu, para neyalan juga akan menyebut nama baptis pastor Paroki Lamalera, seperti Leonardus hir kae. Jika paus masih memberontak, maka para nelayan biasa meneriakan kalimat berikut, “O… Ema Mria e, gate dimega, levo rae malu mara, levo garo (Bunda Maria e, ikat yang kuat, kampung sedang mengalami kelaparan, kampung makanlah).

Misa Lefa diakhiri dengan ritual Tenna Fule. Ini merupakan upacara pelepasan perahu pertama untuk membertitahu kepada Ina Lefa dan para leluhur bahwa masyarakat Lamalera telah siap untuk mendapatkan hadiah dan berkat darinya.

Ritual ini juga dilakukan sebagai tanda dimulainya musim lefa nuang. Tenna Fule dilakukan dengan menerjunkan salah satu perahu ke tengah laut untuk mencari paus. Jika ditemukan ikan paus, perahu tersebut akan kembali dan memberitahu perahu yang lain untuk segera turun ke laut. Tradisi ini sekaligus memberi pesan pada Ina Lefa bahwa para nelayan dan alat melaut telah disucikan dan untuk mengambil anugerah atau berkat dari laut, yakni ikan paus.

Identitas masyarakat

Hingga sekarang inkulturasi antara tradisi Katolik dengan adat masyarakat Lamalera tetap terjaga secara baik. Kepercayaan kepada Yang Empunya laut, yang hadir dalam sebutan Ina Lefa menjadi kekuatan bagi terpeliharanya seluruh ritus lefa nuang Lamalera. Masyarakat Lamalera akan selalu patuh pada tradisi ini dan hingga kapanpun tetap melakukannya.

Syair adat berikut menjadi dasar dan kekuatan bagi pelaksanaan tradisi lefa nuang Lamalera: Inaté amaté genâ ola, ola kaé todé tai (Nenek-moyang sudah mewariskan hal ini, karena itu harus kita jalankan). Mewariskan tradisi lefa nuang) bagi masyarkat Lamalera adalah sebuah keharusan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa tradisi melaut dan berburu paus Lamalera adalah identitas masyarakat lokal Lamalera sendiri.

Tidak hanya itu, kehadiran agama Katolik semakin menguatkan iman mereka akan wujud tertinggi yang telah mereka percaya dan imani selama ini, yakni hadirnya Ina Lefa yang selalu memberi berkat dan melindungi anak-anak-Nya hingga kini.
Agustinus Rajamuda Dasion
Sumber teks: HIDUP edisi 14 Juli 2019
Ket foto:  Lefo Lamalera dengan tradisi perburuhan ikan paus secara tradisional atau dalam bahasa setempat dikenal dengan sebutan lefa. 
Lefa didahului dengan Misa Lefa yang dipimpin Pastor di pantai yang diikuti umat Katolik. 
Sumber foto: Copas fb Ubas & Paskalis Bataona serta indonesia.ucanews.com dan
oranglembata.com.
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger