Intoleransi dan antipluralisme yang semakin menguat tidak semata-mata problem teologis. Meskipun sejumlah ayat telah dibaca dari berbagai Kitab Suci, tidak otomatis menyelesaikan problem intoleransi dan antipluralisme yang muncul di tengah masyarakat.
Ketua Pusat Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat Prof Dr Masdar F Mas’hudi mengatakan hal itu saat berlangsung peluncuran dan bedah buku Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme di kampus Universitas Paramadina, Jl Gatot Subroto Jakarta, Jumat, 28/3 malam. Buku tersebut ditulis intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi. Selain Masdar tampil juga cendekiawan Muslim Prof Dr Jalaluddin Rahmat, Pendeta Dr Albertus Patty dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Bandung, Jawa Barat, dan Zuhairi. Diskusi bedah buku dipandu Mohammad Bakir, wartawan harian Kompas.
“Kita hidup tidak hanya dengan iman, tidak dengan ayat suci tetapi dengan kehidupan nyata. Kita hidup dengan lingkungan sosial bahkan politik kita. Semua itu sangat menentukan sikap dan perilaku kita. Tanpa mengurangi makna dari buku Al-Quran Kitab Toleransi, kita juga mesti dituntut untuk mencari akar intoleransi yang terus saja mengganggu ketentraman masyarakat dan bangsa kita,” kata Mas’hudi.
Ia mengapresiasi buku Zuhairi, intelektual muda lulusan Departemen Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Buku itu hadir tepat pada waktunya meski sesungguhnya toleransi dan pluralisme merupakan isu klasik dan akan tetap menjadi isu hangat. Paling tidak untuk beberapa ratus tahun ke depan. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan beragama di Indonesia ada banyak problem dan peristiwa yang mengusik kesadaran kita sebagai manusia yang diciptakan dengan kodrat yang beraneka.
Dengan kesadaran kodrat beraneka itu maka sesungguhnya negara ini didirikan dengan jargon Bhinneka Tunggal Ika. Nah, buku ini juga memberi kerangka teologis jargon Bhinneka Tunggal Ika yang telah dirumuskan oleh pujangga besar Nabi Muhammad SAW beberapa ratus tahun lalu. Di mana saat itu belum memakai ayat, teologi. Kini sesungguhnya kita menyaksikan betapa semboyang bangsa yang terpatri dalam simbol kenegaraan itu memiliki sangkutan yang sangat kuat di dalam pikiran, pemahaman keagamaan umat Islam yang kebetulan menjadi mayoritas rakyat dan bangsa.
Al-Quran, urainya, dapat dipandang sebagai kitab apa pun. Entah kitab toleransi, kitab pluralisme, bahkan oleh seorang Belanda disebut sebagai kitab terorisme. Jadi, kayaknya serba mungkin darimana memandang Al-Quran yang bisa dikaitkan dan dicarikan justifikasinya dengan apa saja. Al-Quran bisa saja disebut sebagai kitab kekerasan kalau kita ingin memandang dari angle itu. Oleh sebab itu, sesungguhnya yang paling penting adalah perspektif kita di dalam membaca Al-Quran dari berbagai angle. Dari yang paling putih sampai yang paling hitam. Dari yang paling liberal hingga yang fundamentalis. “Di dalam pembacaan itulah sesungguhnya dibutuhkan kejujuran nalar dan nurani kita. Makanya, Rasullulah bersabda bahwa inti dari Islam adalah taqwa dan taqwa itu ada di dalam hati kita. Maka itu sangat membutuhkan perspektif kita dalam membaca Al-Quran,” ujarnya.
Ia menandaskan lagi, Al-Quran sebagai tuntutan hidup tidak hanya mengurusi persoalan teologis, namun memandu hidup dalam kondisi riil. Karena itu, berbagai persoalan hidup bersama tak perlu dipandang dari sisi teologis saja tetapi juga dalam tataran empiris yang juga memiliki acuan dalam Al-Quran.
Cendekiawan Muslim Prof Dr Jalaluddin Rakhmat berpendapat, pluralisme bukan berarti semua agama sama. Setiap agama, jelas Kang Jalal –sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat– memiliki syariat sendiri tetapi banyak pula ditemukan kesamaannya.
Pendeta Albertus Patty mengemukakan pandangannya. Menurut anggota Komisi Teologi Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) ini, tuntutan doktrin Islam sebagaimana diidamkan dalam buku Al-Quran Kitab Toleransi adalah membangun sebuah masyarakat yang diridhoi oleh Allah. “Di sana setiap orang bisa merayakan pluralitas, hidup dalam kesetaraan, menikmati perbedaan, dan bekerja sama dalam keadilan untuk menghasilkan common good atau kebaikan bersama,” kata doktor lulusan Pittsburgh Theological Seminary, Amerika Serikat.
Ia menambahkan, kadang ayat-ayat suci digunakan untuk menindas. Cinta kasih pun bisa digunakan untuk menindas. Bahkan penindasan terhadap kaum perempuan juga dilakukan dengan menggunakan ayat-ayat suci. Untung masih ada gereja atau agama yang punya visi kemanusiaan dan Tuhan sekaligus.
Gedung gereja
Usai diskusi, menjawab pertanyaan terkait sulitnya umat Kristiani mendirikan gedung gereja di sejumlah tempat, Kang Jalal, mengaku hal itu sebagai buntut lemahnya peran negara. Padahal, sudah ada surat keputusan bersama (SKB) dua menteri yang memberikan kebebasan mendirikan gereja. Kenyataannya, di lapangan masih ada orang-orang melanggar SKB dua menteri tersebut. Ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada di atas kadang-kadang tidak jalan di tingkat bawah.
Dikatakan, ke depan ada beberapa hal yang mesti dilakukan sehingga tak ada kesulitan dalam mendirikan gereja. Pertama, perlu memperkuat institusi negara. Peraturan itu harus dipertahankan aparat. Kedua, kita harus melakukan pembinaan di tingkat bawah untuk mulai hidup sebagai warga negara yang taat peraturan. Ketiga, menyebarkan sikap-sikap toleran melalui dialog. Juga dengan menerbitkan buku-buku yang mengarahkan orang kepada pemahaman toleransi.
“Komunikasi dan dialog agama perlu digalakan antara kelompok Muslim dengan Kristiani. Selain itu, kedua kelompok juga diharapkan bisa bersama-sama memberikan pencerahan kepada masyarakat. Pencerahan itu bisa dilakukan di tingkat nasional hingga masyarakat di tingkat akar rumput,” ujar Kang Jalal.
Menurut Zuhairi, buku karyanya itu lahir dari keprihatinan mendalam pascareformasi tahun 1998. Saat itu ada kecenderungan gerakan keagamaan bernuansa intoleransi, kekerasan. Wajah intoleransi adalah wajah yang telanjang yang tak bisa ditutup-tutupi. “Bertolak dari kenyataan itu, saya mencoba memberikan antitesa bahwa sesungguhnya agama Islam adalah agama yang dibangun di atas fondasi toleransi. Ini terbukti dengan adanya lebih dari 300 ayat Al-Quran yang secara eksplisit mendorong lahirnya toleransi dan pluralisme. Sebaliknya, hanya ditemukan 175 ayat Al-Quran yang bisa diartikan antitoleransi,” ujar Zuhairi.
Hal senada diungkapkan Wapres Republik Mimpi Jarwo Kwat. Buku Al-Quran Kitab Toleransi, jelasnya, menjadi sumber inspirasi dalam membangun peradaban manusia. Ia juga menjadi oase terhadap pandangan keagamaan yang toleran. “Bangsa ini akan maju sejauh ia mampu menjadikan anasir-anasir toleransi sebagai jalan membangun saling percaya dan saling menghargai. Buku ini layak dibaca tidak hanya kalangan Muslim tetapi non-Muslim,” kata Wapres Jarwo Kwat.
Acara peluncuran dan diskusi dihadiri sejumlah pula pengajar filsafat Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral Adian dan pakar komunikasi politik Indonesia Effendi Ghazali, dan lain-lain. Tampak pula rekan Jarwo lainnya seperti Habudi dan Iwelwel serta ratusan undangan lainnya.
Ia menambahkan, kadang ayat-ayat suci digunakan untuk menindas. Cinta kasih pun bisa digunakan untuk menindas. Bahkan penindasan terhadap kaum perempuan juga dilakukan dengan menggunakan ayat-ayat suci. Untung masih ada gereja atau agama yang punya visi kemanusiaan dan Tuhan sekaligus.
Gedung gereja
Usai diskusi, menjawab pertanyaan terkait sulitnya umat Kristiani mendirikan gedung gereja di sejumlah tempat, Kang Jalal, mengaku hal itu sebagai buntut lemahnya peran negara. Padahal, sudah ada surat keputusan bersama (SKB) dua menteri yang memberikan kebebasan mendirikan gereja. Kenyataannya, di lapangan masih ada orang-orang melanggar SKB dua menteri tersebut. Ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada di atas kadang-kadang tidak jalan di tingkat bawah.
Dikatakan, ke depan ada beberapa hal yang mesti dilakukan sehingga tak ada kesulitan dalam mendirikan gereja. Pertama, perlu memperkuat institusi negara. Peraturan itu harus dipertahankan aparat. Kedua, kita harus melakukan pembinaan di tingkat bawah untuk mulai hidup sebagai warga negara yang taat peraturan. Ketiga, menyebarkan sikap-sikap toleran melalui dialog. Juga dengan menerbitkan buku-buku yang mengarahkan orang kepada pemahaman toleransi.
“Komunikasi dan dialog agama perlu digalakan antara kelompok Muslim dengan Kristiani. Selain itu, kedua kelompok juga diharapkan bisa bersama-sama memberikan pencerahan kepada masyarakat. Pencerahan itu bisa dilakukan di tingkat nasional hingga masyarakat di tingkat akar rumput,” ujar Kang Jalal.
Menurut Zuhairi, buku karyanya itu lahir dari keprihatinan mendalam pascareformasi tahun 1998. Saat itu ada kecenderungan gerakan keagamaan bernuansa intoleransi, kekerasan. Wajah intoleransi adalah wajah yang telanjang yang tak bisa ditutup-tutupi. “Bertolak dari kenyataan itu, saya mencoba memberikan antitesa bahwa sesungguhnya agama Islam adalah agama yang dibangun di atas fondasi toleransi. Ini terbukti dengan adanya lebih dari 300 ayat Al-Quran yang secara eksplisit mendorong lahirnya toleransi dan pluralisme. Sebaliknya, hanya ditemukan 175 ayat Al-Quran yang bisa diartikan antitoleransi,” ujar Zuhairi.
Hal senada diungkapkan Wapres Republik Mimpi Jarwo Kwat. Buku Al-Quran Kitab Toleransi, jelasnya, menjadi sumber inspirasi dalam membangun peradaban manusia. Ia juga menjadi oase terhadap pandangan keagamaan yang toleran. “Bangsa ini akan maju sejauh ia mampu menjadikan anasir-anasir toleransi sebagai jalan membangun saling percaya dan saling menghargai. Buku ini layak dibaca tidak hanya kalangan Muslim tetapi non-Muslim,” kata Wapres Jarwo Kwat.
Acara peluncuran dan diskusi dihadiri sejumlah pula pengajar filsafat Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral Adian dan pakar komunikasi politik Indonesia Effendi Ghazali, dan lain-lain. Tampak pula rekan Jarwo lainnya seperti Habudi dan Iwelwel serta ratusan undangan lainnya.
Ansel Deri
Sumber: HIDUP, 13 April 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!