Headlines News :
Home » » Menggali Oase Toleransi

Menggali Oase Toleransi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, April 14, 2008 | 3:28 PM

Oleh Abdul Halim
alumnus Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta

Di pengujung 2007 Raja Abdullah bin Abdul Aziz melakukan kunjungan bersejarah (liqâ târîkhî) ke Vatikan dalam rangka melakukan dialog dengan Paus Benediktus XVI. Kunjungan ini memiliki makna teramat apik bagi perwujudan peradaban global yang damai, toleran, dan sejahtera. Terlebih, dunia membutuhkan oase toleransi, bukan intoleransi, apalagi anarki.

Dalam kehidupan yang toleran dan mampu menerima kehadiran orang lain, apa pun agama dan warna kulitnya, dunia akan mampu menghadirkan dirinya penuh makna. Karena pada hakikatnya, membangun peradaban adalah membangun toleransi. Dengan berlaku toleran, lahir ketulusan dan kesediaan untuk menerima perbedaan dan pemikiran dari pihak lain. Inilah pesan moral dasar Al Quran, sebagaimana dipraktikkan oleh Raja Abdullah bin Abdul Aziz.

Al Quran adalah pesan Tuhan yang memuat mutiara toleransi untuk disebarkan di antara sesama makhluk Tuhan. Tak kurang dari 300 ayat menyebut mutiara toleransi secara eksplisit. Tak terbetik sedikit pun, bahwa Al Quran menganjurkan kekerasan. Justru sebaliknya, Al Quran bertabur pesan toleransi, kerukunan, dan perdamaian.

Upaya menghadirkan Al Quran dalam setiap zaman merupakan gerak yang senantiasa muncul dalam sejarah. Gerak untuk menghadirkan Al Quran sebagai keistimewaan, mutiara, dan nilai-nilai kemanusiaan universal adalah sebentuk manifestasi sosiologis, khususnya pergulatan antara pembaca Al Quran dengan realitas sosial. Dalam penyelaman inilah, buku Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme hadir.

Dalam buku setebal 526 halaman ini, toleransi disebut sebagai fundamen dalam keberagamaan. Dalam konteks agama-agama, satu hal yang mesti diyakini adalah kesadaran tentang keragaman syariat. Dengan perkataan lain, banyak jalan menuju Tuhan. Segalanya bertolak dari pilihan manusia yang bermuarakan hati nurani dan akal budi. Dari sudut pandang yang positif, keragaman ini mempertegas perlunya dialog dan kompetisi dalam koridor kebaikan, bukan kejahatan. Dengan berkompetisi, diharapkan muncul titik temu (kalimatun sawâ') dan koeksistensi (al-ta'âmul al-silmî) antarpenganut agama (hal 13).

Agama fitrah

Sebagian umat Islam memaknai desakan berkompetisi dalam kebaikan secara radikal dan ekstrem. Ironisnya, pemaknaan ini dilandaskan pada Al Quran. Akibatnya, dalam masa yang teramat panjang, budaya tafsir Al Quran mengalami kejumudan dan umat Islam pun jatuh terbelakang. Dalam pada itu, Al Quran pun kehilangan auranya guna memberikan alternatif pemikiran bagi persoalan kemanusiaan global. Alih-alih hendak menyuburkan iklim toleransi, umat Islam justru terjebak dalam kubangan intoleransi dan wacana benturan antarperadaban.

Muhammad Abid al-Jabiri menengarai kondisi umat Islam ini sebagai ”krisis iman” dan ”krisis nalar”. Krisis iman karena slogan kembali kepada Al Quran terjebak pada ideologi kekerasan. Adapun krisis nalar karena iman tidak dilandasi oleh analisa dan metodologi yang kokoh (hal 18). Terlebih, mayoritas umat Islam terjebak dalam budaya taklid (reproduktif) ketimbang pembacaan dinamik-hermeneutik (produktif). Olehnya, diperlukan pembacaan Al Quran yang memiliki relevansi pada konteks diturunkannya sekaligus mempunyai konteks pada zaman kekinian (ja'l al-maqrû' mu'âshiran linafsihî wa mu'âshiran lanâ).

Dengan model pembacaan ini, upaya menghadirkan Al Quran sebagai Kitab Suci yang memuat pesan-pesan toleransi, kerukunan, dan kedamaian dapat tersampaikan. Apalagi Al Quran sebagai sumber utama syariat menjadi muara bagi paradigma kesadaran sosial, antroposentris, dan humanis.

Sheikh Muhammad Thahir bin ’Asyur menegaskan, Al Quran sebagai sumber syariat Islam menyeru pemeluknya untuk senantiasa mereformasi fitrah, menjaga amalnya, dan menghidupkan hal yang hilang dan terbaur. Fitrah, menurut Ibn ’Asyur, adalah watak atau sistem nilai yang telah dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia.”

Fitrah manusia ini sejalan dengan tiga visi kemanusiaan dalam Islam: pertama, Islam adalah agama yang berpijak pada kefitrahan; kedua, Islam adalah agama yang mempunyai semangat toleransi yang tinggi (al-samâhah); dan ketiga, Islam adalah agama yang mengutamakan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan (hal. 58-60).

Dari ketiga visi ini, nalar Islam sebagai nilai-nilai kemanusiaan universal seolah musnah tergerus globalisasi. Diskursus perihal perlunya mengembangkan aspek sosial-kemasyarakatan, di luar aspek teosentris; dan pentingnya membangun kesadaran sukarela (voluntary consciousness) amat miskin dalam khazanah keislaman kontemporer. Padahal, sebagai teks terbuka, Al Quran menghendaki pembaruan spirit bagi kerja-kerja pembebasan, pencerdasan, dan pencerahan umat.

Toleransi aktif

Salah satu spirit utama yang mesti dikembangkan oleh umat Islam adalah toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerantia, berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Secara umum, istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan kelembutan.

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengartikan toleransi sebagai ”sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia.” Untuk itu, toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan berpikir, dan beragama (hal 181). Singkatnya, toleransi setara dengan bersikap positif dan menghargai hak orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasinya sebagai manusia.

Dalam lanskap global, kebebasan beragama adalah hal yang mutlak. Tak satu pun orang berkehendak memaksa orang lain untuk memeluk agama yang sama. Apalagi harus menstigmatisasi the other dengan cap kafir, murtad, dan sebagainya. Pemberian stigma ini erat terkait dengan keberbedaan yang tak dipahami dan dihayati secara memadai.

Milad Hanna (2005) mengingatkan, hubungan antar-umat beragama selalu mengandaikan relasi kuasa yang tidak seimbang. Oleh karena itu, konsep menyongsong yang lain (qabûl al-âkhar) yang lebih aktif, egaliter, dan tidak sekadar bertenggang rasa mutlak diteladani sebagai bahasa baru dalam membangun toleransi dengan umat agama lain.

Ada dua model toleransi. Pertama, toleransi pasif, yakni sikap menerima perbedaan sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Karena perbedaan tak bisa dielakkan, pilihannya adalah bersikap toleran terhadap yang lain. Kedua, toleransi aktif. Dalam toleransi ini ada kemajuan berarti, yakni kemampuan untuk melibatkan diri dengan yang lain di tengah perbedaan dan keragaman. Terlebih keterlibatan ini dibangun atas dasar kemaslahatan umum.

Toleransi aktif merupakan ajaran semua agama. Hakikat dari toleransi adalah hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dan saling menghargai di antara keragaman (mutual respect). Asyraf Abdul Wahhab mengatakan, aspek penting dalam toleransi adalah menumbuhkan kesabaran dan sikap moderat (al-hilm wa al-i'tidâl). Inilah common platform yang mempertemukan Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, dan sebagainya.

Cak Nur (1939-2005) mengingatkan, agama yang lurus adalah agama yang membawa pesan kemanusiaan universal. Tiga pesan kemanusiaan universal Islam ini terangkum pada sikap: inklusivisme, pluralisme, dan multikulturalisme.

Inklusivisme merupakan sebuah sikap yang bertujuan untuk menumbuhkan suatu sikap kejiwaan yang melihat adanya kemungkinan orang lain itu benar. Hal ini didasarkan pada kefitrahan manusia sebagai makhluk suci dan benar. Oleh karena itu, harus dikembangkan sikap berbaik sangka terhadap yang lain. Pada taraf selanjutnya, dapat dibangun teologi inklusif, yakni meyakini bahwa Tuhan adalah Esa, tetapi Nabi yang membawa perintah-Nya adalah beragam, untuk makhluk-Nya yang beragam pula (hal 202).

Diana L Eck, Pimpinan Pluralism Project, Harvard University, menambahkan, selain inklusivisme, juga dibutuhkan pemahaman memadai menyangkut pluralisme. Pluralisme adalah keterlibatan aktif (active engagement) di tengah keragaman dan perbedaan. Dengan melibatkan diri secara aktif, diharapkan terbentuk pemahaman keagamaan yang berkarakter konstruktif-produktif bagi pemecahan persoalan-persoalan umat manusia.

Jalan terang agama

Di Indonesia, praktik toleransi mengalami pasang surut. Pasang surut ini dipicu oleh pemahaman distingtif yang bertumpu pada relasi ”mereka” dan ”kita”. Tak pelak, dalam pelbagai diskursus kontemporer, sering dikemukakan bahwa, radikalisme, ekstremisme, dan fundamentalisme merupakan baju kekerasan yang ditimbulkan oleh pola pemahaman yang eksklusif dan antidialog atas teks-teks keagamaan.

Apalagi, agama justru hanyut dalam persoalan teosentris umat semata, sembari menafikan aspek antroposentrisnya. Kemiskinan, gizi buruk, keterbelakangan adalah fenomena ketidaksinkronannya iman dan amal saleh.

Paul F Knitter (2005) mengusulkan, tugas teologi agama-agama ada pada dua hal: pertama, mengasah keterbukaan terhadap mereka yang berkeyakinan lain (religious others). Kedua, membangkitkan keberpihakan terhadap mereka yang menderita (suffering others). Seluruh agama, tidak terkecuali, harus bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian. Hal itu tidak akan tercapai hanya dengan mengandalkan teologi eksklusif yang hanya berhenti pada klaim kebenaran, tetapi membutuhkan teologi pluralisme yang berorientasi pada pembebasan.

Seluruh agamawan mempunyai tanggung jawab global untuk menyelamatkan umat dari keterpurukan, penderitaan, dan kemiskinan. Sebab, agama-agama hadir sebagai bukti kepekaan atas realitas sosial yang terpuruk pada zamannya. Pada tataran ini, agama-agama mempunyai common platform untuk melakukan kontrol efektif atas ketidakadilan global.

Peter L Berger menambahkan, dunia membutuhkan ”pluralisme baru”, yakni pluralisme yang lahir dari rahim globalisasi. Dari model pluralisme ini, kehendak institusi keagamaan pada akhirnya bukan melayani agama, tetapi melayani umat. Agama yang pada mulanya hanya berkutat pada dimensi hukum (heretical imperative) menuju dimensi pelayanan yang dilakukan secara sukarela (voluntary imperative). Pada level inilah Al Quran dapat dijadikan sebagai oase di tanah gersang yang selama ini dirundung krisis toleransi.

Dengan demikian, setiap pemeluk agama perlu mengungkapkan pandangannya secara tepat serta mendengarkan pandangan mitra dialog secara terbuka tanpa disertai dengan penilaian apriori. Melalui dialog, sebagaimana dikatakan penulis buku ini, setiap pemeluk agama belajar dari pandangan dan pengalaman satu sama lain karena salah satu fungsi utama agama dalam konteks sosial tidak lain adalah memberikan rasa aman kepada sesamanya. Dengan jalan ini, pada akhirnya, Al Quran hadir menjadi petunjuk dan cahaya bagi umat manusia yang merindukan toleransi, kerukunan, dan kedamaian.
Sumber: Kompas, 14 April 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger