Headlines News :
Home » » Mohamad Guntur Romli: Agama Itu Seperti Baju

Mohamad Guntur Romli: Agama Itu Seperti Baju

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, April 09, 2008 | 2:57 PM

Saat kuliah di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, ia membaca buku karya pemikir Islam progresif padahal dilarang. “Agama itu seperti baju yang kita kenakan sesuai selera,” ujar Mohamad Guntur Romli di kantor Jaringan Islam Liberal, Utan Kayu, Jakarta Timur.

Pemikirannya tentang toleransi dan pluralisme terus terasah sejak kecil dalam asuhan orangtua. Begitu pula saat nyantri di Pondok Pesantren Darul Aitam, Curah Kalak, Jangkar, Situbondo milik ayahnya. Kemudian, saat tercatat sebagai mahasiswa Departemen Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar Kairo.

Universitas itu, di mata Guntur, sangat ortodoks namun mengajarkan juga perbandingan agama. “Bagaimana kita mengadili Kitab Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan lain-lain. Tapi, saya sudah punya pengalaman dengan cekokan soal ini. Dan cekokan yang masuk ke otak saya belum tentu semua benar. Sejak saat itu, saya mulai berhati-hati. Saya terus mencari informasi-informasi di luar sebagai perbandingan,” kata Guntur, Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan.

Menurutnya, bicara soal pluralisme dan toleransi, sebenarnya hal itu sudah tertanam dalam dirinya saat masih dalam asuhan kedua orangtuanya. Ia mengemukakan, pengalamannya selama ini melewati tiga proses.

Proses pertama adalah masa kecilnya. Ayah Guntur, KH Achmad Zaini Romli, adalah seorang kiai yang memiliki pesantren. Sedang ibunya, Hj. Sri Maria Romli memiliki kebebasan sendiri yakni tidak mengenakan jilbab.

“Saya lahir dari sebuah keluarga yang sangat terbuka. Bertetangga dengan keluarga yang beragama Kristen,” kenang Guntur.

Sebuah kenangan masih membekas. Tetangga yang beragama Kristen kerap mengundang keluarganya untuk santap malam di rumahnya. Tapi, sebelum santap malam, tetangganya ini mengantar ayam atau kambing ke rumah Guntur untuk disembelih ayahnya.

“Jadi, ini sepertinya menghilangkan kesan adanya makanan haram dalam jamuan itu. Begitu juga sebaliknya. Itu saya sadar. Ternyata pengalaman itu sangat menarik,” ujarnya.

Ketika masuk di sekolah umum, ia bergaul dengan teman-teman non–Muslim. Saat itu, seorang teman penganut Kristiani membawa buku-buku komik dari Perjanjian Lama.

Saat itu selalu membacanya sekadar sebagai pengetahuan. Saya akhirnya mulai mengenal nama Nabi Daud, Sulaiman, dan lain sebagainya. Nah, setelah ia mendengar cerita dari guru ngaji, pertanyaan-pertanyaan terus berkelebat.

Artinya, ia mulai melihat perbedaan-perbedaan. Tapi, saat itu belum muncul dalam benaknya untuk tidak membaca komik-komik itu. “Bagi saya, dasarnya hanya buku cerita sehingga perlu dibaca. Saya juga tak lalu menghakimi bahwa yang satu salah dan yang lain benar. Yang ada dalam pikiran saya adalah menikmati bacaan itu,” lanjut Guntur.

Begitu pula saat itu ia diajarkan sapaan-sapaan umum seperti Selamat Pagi, dan lain sebagainya. Toleransi antarsesama juga kian terasa. Saat Lebaran, Natal, dan Paskah misalnya.

Kalau ada guru yang beragama Kristen, murid-murid menyampaikan ucapan Selamat Natal. Begitu juga ucapan Lebaran. Ia menilai, sekolah umum merupakan kondisi yang ideal, yang bhinneka dan semua agama bisa masuk.

Keberagaman Murni

Ia mengaku, pada proses pertama sejak dalam kehidupan keluarga hingga sekolah menengah, ia menangkap bahwa itu menilai hal itu merupakan keberagaman yang murni. Misalnya, bergaul dengan penduduk dan tak ada konflik.

Tak ada yang merasa tertekan dan lain sebagainya kalau ada Kristenisasi, cap kafir, dan lain-lain. Sebagai seorang Muslim, ia dididik oleh ayah yang memiliki pesantren. Begitu pula ia diajarkan harus sholat lima waktu atau ngaji.

“Tak tak ada fanatisme dalam keluarga. Ibu saya juga tidak pakai jilbab. Jadi, kan aneh kalau bapa saya kiai tapi istrinya tidak pakai jilbab. Tapi, bapa saya ingin saya maju. Kemudian itu yang menjadi salah satu faktor saya dimasukkan di pesantren modern,” ujar Guntur.

Pada proses kedua, ia mengaku mulai diajarkan semacam doktrin. Mana doktrin Islam yang benar dan mana doktrin Islam yang salah. Kemudian, juga mulai bicara doktrin perbandingan agama.

Tujuannya, bukan bermaksud mengenal agama di luar Islam tetapi untuk menghakimi. Misalnya, ada pemalsuan di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kemudian juga ada perbandingan di Agama Hindu, Budha. Itu masuk dalam materi Perbandingan Agama.

“Menurut saya bukan perbandingan tetapi pertandingan. Artinya, agama lain direndahkan. Bahwa yang lain kafir, nggak masuk akal. Waktu itu, karena saya dididik 6,5 tahun maka itu paradigma saya. Saya dididik bahwa saya adalah orang Islam yang paling benar karena saya sudah belajar fikih (hukum Islam), tafsir (Kitab Suci), dan sejarah. Dan saya mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan yang lain salah. Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam tidak akan diterima dan dia akan menjadi orang yang rugi,” ujarnya.

Proses ketiga terjadi pada awal 1997. Saat itu, ia menuju Malang, Jawa Timur. Ia bermaksud menghadiri pelatihan para ustadz se–Jawa Timur. Saat itu, hadir pula Romo Manguwijaya, Pr dan KH Abdurrahman Wahid. Kedua tokoh itu menjadi pembicara.

Saat itu, pemuda Guntur protes kepada Gus Dur. “Katanya Islam agama yang paling benar, tetapi kenapa Anda dekat sama orang Kristen,” protes Guntur kepada Gus Dur. Protes itu, urainya, sama seperti orang Yahudi dan Kristen menyampaikan kepada umat Islam untuk mengikuti agama Yahudi atau Kristen. Mereka (Umat Islam) tidak ada akan rela. Dan itu selalu diungkapkan misionaris Islam.

Saat itu Gus Dur menafsirkan beberapa hal yang membuat Guntur tersentak. Ada semacam pencerahan. Waktu itu, Gus Dur jawab singkat bahwa sebagai penganut Islam, kita juga tidak rela umat Kristen dan bangsa Yahudi masuk Islam. Kemudian, persoalan tidak rela jangan didramatisir bahwa itu menyakiti. Waktu itu ia mulai terbuka.

“Mungkin selama ini saya memahami agama penuh dengan ketakutan. Takut diserang orang Kristen, Yahudi, dan lain sebagaimnya. Ada psikologi terancam dengan kehadiran orang lain. Saat itu saya mulai terbuka kembali. Pada proses pertama saya terbuka tanpa argumentasi tetapi naluri. Kemudian saat masuk pesantren ada argumentasi, indoktrinasi, tertekan, dan pada proses ketiga saya mulai mencari argumentasi yang baru,” urai Guntur.

Terus Mencari

Usaha mencari argumentasi yang baru terus ia lakukan saat studi di Universitas al-Alzhar, Kairo. Ia intens mencari informasi-informasi di luar sebagai perbandingan. Misalnya, membaca buku-buku karya pemikir-pemikir Islam progresif seperti Abu Zed, dan lain-lain.

Padahal, sejumlah buku para pemikir Islam progresif itu dilarang di al-Alzhar. Guntur juga berkenalan dengan para ulama Islam, Kristen, dan Yahudi.

Misalnya, Mgr Youhanna Qaltah, seorang Uskup Agung di Kairo dan Dr Millad Hanna, seorang penganut Koptik Mesir. Buku terkenal Millad Menyongsong Yang Lain, Membela Pluralisme ia terjemahkan dan diterbitkan kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL).

Saat berdiskusi dengan Uskup Qaltah, Guntur menanyakan pandangan tokoh Katolik yang satu ini. Di hadapan filsuf yang belajar Islamic Studies ini, Guntur tak sungkan-sungkan menanyakan pandangan beliau tentang isu Kristenisasi. Sang Uskup juga menyampaikan, ada juga isu Islamisasi.

“Saya bilang, agama itu seperti baju yang kita kenakan sesuai selera. Kadang-kadang kita hanya mementingkan baju. Pertemuan itu, membuat saya semakin tertarik dengan tema pluralisme. Saya mulai baca buku-buku lain yang lebih arif untuk melihat keberagaman agama. Bagaimana prulaitas itu dipahami oleh karena ada persoalan politis dan benturan kepentingan,” jelas Guntur.

Ia mencontohkan, antara Islam dan Yahudi. Awal ketika Muhammad ke Madinah, Yahudi diakui sebagai komunitas Madinah. Perbedaan agama itu, terang Guntur, ada tetapi karena di situ ada pengkianatan politik maka merupakan persoalan politik.

Ia berpendapat, pertentangan antara Kristen, Islam, dan Yahudi saat itu adalah persoalan-persoalan yang bermotif kekuasaan.

Adanya persaingan kekuasaan, ekonomi, dan lain-lain. Bagi Guntur, perang antara Muhammad dengan orang Mekkah juga merupakan faktor politik. Bukan murni faktor agama.

“Jika kita percaya bahwa agama mengajarkan kebaikan, yang mengampuni musuh atau lawan, dan berbuat baik kepada sesama maka bagaimana bisa ada pertentangan di sini?” ujar Guntur retoris. (Ansel Deri) 
Sumber: Hidup Jakarta
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger