SYDNEY -- Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta rupanya masih mengalami trauma atas kasus penembakan yang menyebabkannya luka serius. Karena itu, ia kemarin menyatakan ingin mundur sebelum masa jabatannya berakhir dalam empat tahun mendatang.
"Saya akan menyampaikan pengunduran diri saya ke parlemen setelah saya pulang. Saya tidak berjanji akan melaksanakan tugas hingga akhir masa jabatan," kata Horta dalam wawancara khusus dengan surat kabar The Australian di apartemennya, Darwin, Australia.
Ia mengaku keputusan itu memang sangat sulit bagi dirinya. Hanya, ia sangat ingin menjadi warga negara biasa sehingga memiliki banyak waktu menulis buku. Ia mengindikasikan Fernando Lasama de Araujo adalah pengganti yang tepat jika ia mundur. Sejak penembakan itu, Araujo menjadi penjabat presiden.
Secara fisik, penerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 1996 ini mengaku sehat. Namun, ia kurang yakin dengan kondisi mentalnya. Pulih-tidaknya trauma yang dialami, kata dia, baru dapat diketahui ketika kembali ke rumahnya di Dili, tempat ia ditembak.
Meski demikian, malam harinya ia membantah berita itu lewat wawancara per telepon dengan televisi Timor Leste. Horta mengaku berencana mundur sebelum dirinya ditembak. "Tapi pihak gereja dan rakyat tidak menginginkan itu. Saya pun didesak dunia internasional agar tidak mundur."
Peristiwa nahas itu terjadi pada 11 Februari lalu. Sekelompok tentara pemberontak yang dipimpin Mayor Alfredo Reinado menyerbu rumah Horta. Ia pun terluka tertembus tiga peluru yang mengharuskannya menjalani enam kali operasi di Rumah Sakit Royal, Darwin. Alfredo tewas dalam insiden itu. Di hari yang sama, tentara pembangkang juga memberondong konvoi Perdana Menteri Xanana Gusmao. Syukur, ia selamat tanpa luka sedikit pun.
"Sejauh ini saya tidak pernah bermimpi buruk. Satu-satunya mimpi yang saya alami ketika saya berjuang antara hidup dan mati setelah ditembak," ujar Horta.
Duda satu putra ini bercerita, dalam mimpinya itu, ia didatangi sekelompok orang yang ingin mencabut nyawanya. Horta pun mencoba bertanya apakah dia telah melakukan kesalahan besar. "Tinggalkan dia. Ia tidak bersalah. Suara itu sangat jelas dan saya ingat betul," katanya.
Horta mengaku pola hidupnya yang biasa bergaul dengan rakyat, yakni naik angkot, makan di warung, dan mentraktir warga, bakal berubah. "Sekarang saya akan berpikir dua kali untuk melakukan itu semua," ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, ia kembali memastikan Marcelo Caetano-lah yang menembak dia. "Saya tidak bersenjata. Saya berbalik dan ia menembak punggung saya," kata Horta.
Padahal Caetano pernah ditolong saat dadanya tertembak dua tahun lalu. Ia menginap selama dua pekan di rumah Horta.
Hanya, ia belum mengetahui motif penyerbuan yang dilakukan Alfredo bersama anak buahnya. Ia juga ragu atas dugaan yang menyebutkan Angelita Pires, pacar Alfredo, sebagai orang yang merencanakan serangan itu.
"Saya tidak ingin mengatakan dialah dalangnya. Ia gila, kurang pertimbangan, dan ia kekasih, informan, serta penasihat bagi Alfredo," kata Horta.
Horta hanya memperoleh informasi malam sebelum penyerbuan Alfredo dan anak buahnya berpesta minuman keras. Angelita pun menghabiskan malam terakhir itu bersama Alfredo. (Jose Sarito Amaral, Faisal Assegaf/The Australian)
"Saya akan menyampaikan pengunduran diri saya ke parlemen setelah saya pulang. Saya tidak berjanji akan melaksanakan tugas hingga akhir masa jabatan," kata Horta dalam wawancara khusus dengan surat kabar The Australian di apartemennya, Darwin, Australia.
Ia mengaku keputusan itu memang sangat sulit bagi dirinya. Hanya, ia sangat ingin menjadi warga negara biasa sehingga memiliki banyak waktu menulis buku. Ia mengindikasikan Fernando Lasama de Araujo adalah pengganti yang tepat jika ia mundur. Sejak penembakan itu, Araujo menjadi penjabat presiden.
Secara fisik, penerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 1996 ini mengaku sehat. Namun, ia kurang yakin dengan kondisi mentalnya. Pulih-tidaknya trauma yang dialami, kata dia, baru dapat diketahui ketika kembali ke rumahnya di Dili, tempat ia ditembak.
Meski demikian, malam harinya ia membantah berita itu lewat wawancara per telepon dengan televisi Timor Leste. Horta mengaku berencana mundur sebelum dirinya ditembak. "Tapi pihak gereja dan rakyat tidak menginginkan itu. Saya pun didesak dunia internasional agar tidak mundur."
Peristiwa nahas itu terjadi pada 11 Februari lalu. Sekelompok tentara pemberontak yang dipimpin Mayor Alfredo Reinado menyerbu rumah Horta. Ia pun terluka tertembus tiga peluru yang mengharuskannya menjalani enam kali operasi di Rumah Sakit Royal, Darwin. Alfredo tewas dalam insiden itu. Di hari yang sama, tentara pembangkang juga memberondong konvoi Perdana Menteri Xanana Gusmao. Syukur, ia selamat tanpa luka sedikit pun.
"Sejauh ini saya tidak pernah bermimpi buruk. Satu-satunya mimpi yang saya alami ketika saya berjuang antara hidup dan mati setelah ditembak," ujar Horta.
Duda satu putra ini bercerita, dalam mimpinya itu, ia didatangi sekelompok orang yang ingin mencabut nyawanya. Horta pun mencoba bertanya apakah dia telah melakukan kesalahan besar. "Tinggalkan dia. Ia tidak bersalah. Suara itu sangat jelas dan saya ingat betul," katanya.
Horta mengaku pola hidupnya yang biasa bergaul dengan rakyat, yakni naik angkot, makan di warung, dan mentraktir warga, bakal berubah. "Sekarang saya akan berpikir dua kali untuk melakukan itu semua," ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, ia kembali memastikan Marcelo Caetano-lah yang menembak dia. "Saya tidak bersenjata. Saya berbalik dan ia menembak punggung saya," kata Horta.
Padahal Caetano pernah ditolong saat dadanya tertembak dua tahun lalu. Ia menginap selama dua pekan di rumah Horta.
Hanya, ia belum mengetahui motif penyerbuan yang dilakukan Alfredo bersama anak buahnya. Ia juga ragu atas dugaan yang menyebutkan Angelita Pires, pacar Alfredo, sebagai orang yang merencanakan serangan itu.
"Saya tidak ingin mengatakan dialah dalangnya. Ia gila, kurang pertimbangan, dan ia kekasih, informan, serta penasihat bagi Alfredo," kata Horta.
Horta hanya memperoleh informasi malam sebelum penyerbuan Alfredo dan anak buahnya berpesta minuman keras. Angelita pun menghabiskan malam terakhir itu bersama Alfredo. (Jose Sarito Amaral, Faisal Assegaf/The Australian)
Sumber: KORAN TEMPO, 9 April 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!