Headlines News :
Home » » Ketika Masyarakat Bawah Belajar Demokrasi

Ketika Masyarakat Bawah Belajar Demokrasi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, June 06, 2008 | 3:01 PM

Demokrasi bukan semata konsep, tapi juga praksis. Di Lembata, NTT, orang mengikuti kelas khusus untuk tahu bagaimana berdemokrasi yang benar.

RAFAEL Suban Ikun tidak pernah membayangkan dirinya bisa membuat seorang bupati tidak nyaman duduk di kursi jabatanya. Ia hanya petani dengan penghasilan tidak pasti di Desa Dikasare, Lebatukan, Lembata, Nusa Tenggara Timur. Bagi dia, bupati merupakan sosok yang jauh, elite, dan tak terjangkau.

Tetapi itu dulu, sekarang ia berani mendebat langsung bupati serta mengecam kebijakannya yang tidak memihak rakyat. "Para elite itu ternyata bisa grogi juga berhadapan dengan kita ha-ha...," kata Rafael di Pantai Lewolein, Desa Dikasare, Lebatukan, Lembata, Mei lalu.

Pertengahan April 2008, bersama sejumlah tokoh adat Lembata, ia dipanggil Bupati Lembata Andreas Duli Manuk. Dalam pertemuan, Andreas berbicara tentang rencana pembukaan tambang emas di pulau itu yang akan dilakukan oleh PT Meruk Enterprise, perusahaan tambang milik Yusuf Meruk. Andreas juga mengeluhkan aksi unjuk rasa tolak tambang yang antara lain dimotori Rafael. Andreas minta agar Rafael menghargai rencana pembukaan tambang tersebut.

Namun, bagi Rafael tidak ada tawar-menawar soal pembukaan tambang. Kampung tempat tinggalnya, Lewolein -sekitar 60 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Lembata- termasuk wilayah yang akan terkena proyek. Perairan Lewolein yang kaya ikan -bulan Mei sampai Oktober ada beberapa jenis ikan yang berenang sampai ke bibir pantai dan warga dengan menggunakan tangan bisa menangkap ikan-ikan tersebut- akan tinggal kenangan jika proyek tambang jadi. Soalnya, pantai Lewolein yang laksana firdaus itu akan menjadi tempat pembuangan tailing.

Sekolah Demokrasi

RAFAEL hanya satu dari sekian sosok masyarakat biasa Lembata yang kini berani bersikap kritis terhadap pemerintah. Gerakan reformasi memungkinkan lahirnya pribadi-pribadi yang berani dan kritis itu.

Kehadiran mereka tidak lepas dari peran Sekolah Demokrasi (SD) di Lewoleba sejak tahun 2005. Sekolah itu berdiri atas prakarasa KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi), sebuah lembaga nonpemerintah yang berbasis di Jakarta, yang menggandeng mitra lokal LAP (Lembaga Advokasi dan Penelitian) Timoris yang berbasis di Kupang. SD telah melahirkan agen-agen perubahan di pulau yang hampir setiap tahun dilanda kekeringan dan terancam kelaparan itu.

Direktur LAP Timoris, Hipolitus Mawar, mengatakan, SD memang bertujuan untuk melahirkan agen-agen demokrasi di tingkat akar rumput. Konsep demokrasi, katanya, mengandaikan adanya perkembangan wacana yang berkualitas dan partisipasi yang luas dari warga. Wacana berkualitas dan partisipasi luas hanya mungkin jika ada peningkatan pemahaman tentang demokrasi.

SD ingin mengembangkan demokrasi yang membumi dan kontekstual. Demokrasi, kata Hipolitus, sesungguhnya bukan barang baru bagi masyarakat di pelosok-pelosok Indonesia. Hampir setiap daerah punya tradisi demokrasi yang usianya sudah ratusan tahun. Di Lembata misalnya, dikenal tradisi hunahale atau motingmaung, yaitu tradisi pengambilan keputusan yang melibatkan semua warga kampung.

Menurut Hipolitus, pihaknya mencoba menghidupkan lagi tradisi-tradisi itu dengan memasukan pemahaman tentang demokrasi moderen. Maka dalam modul pelatihan yang diberikan kepada peserta, topik-topik yang dibahas antara lain tentang sejarah pemikiran demokrasi, demokrasi dan HAM, serta tentang sistem politik.

Selain yang bersifat umum, ada sejumlah topik yang diberikan sesuai dengan kebutuhan lokal. Untuk Lembata, modul lokalnya antara lain tentang keterampilan kepemimpinan, budgeting, dan pelatihan penulisan. Topik-topik itu dinilai diperlukan untuk Lembata yang resmi jadi kabupaten tahun 1999, hasil pemekaran dari Kabupaten Flores Timur.

Paket pelatihan di SD berlangsung setahun. Sekitar sepekan dalam sebulan peserta berkumpul untuk mengikuti aneka pelatihan. Di seluruh Indonesia, sekolah seperti itu ada lima lokasi yaitu di Tangerang (Banten), Malang (Jawa Timur), Banyuasin (Sumatra Barat), Jeneponto (Sulawesi Tenggara), dan Lembata. Di Lembata, pesertanya berasal dari berbagai latar belakang: ada petani, kepala desa, sekretaris desa, karyawan swasata, kader partai sampai anggota DPRD.

Pengaruh

ALUMNI SD Lembata kini mewarnai kehidupan berdemokrasi di pulau seluas 1.339 kilometer persegi dan berpenduk sekitar 125.000 jiwa itu. Rafael yang alumnus angkatan pertama, tahun lalu terpilih sebagai kepala desa meski sampai saat ini tak kunjung dilantik. Ia juga Ketua Forum Masyarakat Desa Pesisir Timur, Kecamatan Lebatukan.

Beberapa kali ia memobilisasi warga untuk berunjuk rasa di kantor bupati. Di depan Bupati Andreas Duli Manuk ia berorasi dan mengecam rencana pembukaan tambang emas. Ia mengaku, SD memberinya banyak pemahaman tentang demokrasi serta keberanian dan keterampilan untuk berbicara di depan umum.

Alumnus lain, Aloysius Urbanus Uri Murin atau Alwi Murin adalah anggota DPRD Lembata dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan. Alwi menjadi satu-satunya anggota DPRD -dari 20 orang anggota- yang secara terbuka menolak rencana pembukaan tambang emas di Lembata. Ketika DPRD Lembata melakukan studi banding ke Newmont Minahasa Utara di Sulawesi Utara, Alwi tidak mau ikut. Ia kemudian mempersoalkan studi banding yang didanai APBD, padahal dalam APBD Lembata 2008 tidak ada anggaran untuk itu.

Ketika semua anggota DPRD Lembata bertemu dengan Yusuf Meruk di Hotel Nikko Nusa Dua, Bali Mei lalu, Alwi juga tidak mau ikut. Ia hanya menitipkan alat perekam kepada temannya. Isi pembicaraan pada pertemuan itu berdasarkan hasil rekaman ia sebarkan ke masyarakat. Ia bergerak sendiri namun ia tidak peduli. SD, katanya, memberinya pencerahan.

Masih ada sejumlah alumni lain yang berjuang dengan cara mereka masing-masing. Seorang perempaun alumni misalnya, kini terpilih sebagai kepala desa.

Hipolitus Mawar mengemukakan, pelaksanaan SD sangat memberi harapan bagi proses demokrasi di Lembata. "Sangat luar biasa (dampaknya). Dalam kasus tambang misalnya, alumni jadi pengerak penolakan di desa-desa," katanya.

Ia memperkirakan, alumni sekolah itu dua atau tiga tahun ke depan akan banyak mempengaruhi kehidupan politik Lembata. "Sekarang banyak kader dan ketua partai politik yang ikut. Pada pemilu tahun depan bukan tidak mungkin mereka akan mendapat kursi di DPRD. Tentu kita berharap, mereka bisa membawa suasana lain," kata Hipolitus.

Kurang Kreatif

NAMUN sikap kritis para alumni itu membuat sejumlah pihak gerah. Alwi Murin misalnya dikucilkan fraksinya di DPRD. Rafael dan beberapa alumni lain yang terpilih sebagai kepala desa tidak kunjung dilantik. Berkembang dugaan, para kepala desa terpilih tidak dilantik karena mereka alumni SD yang bersikap oposan terhadap pemerintah.

Namun Pemda Lembata membantah dengan mengatakan bahwa sejumlah kepala desa belum dilantik semata karena alasan administratif.

Selain ada kendala eksternal, Alwi Murin justru lebih mencemaskan semangat dan kreativitas para alumni yang kurang. Menurut Alwi, semangat dan kreativitas alumni sejauh ini sangat tergantung pada fasilitas yang disediakan KID. Masalahnya, KID tidak mungkin akan terus memfasilitasi alumni. "Kalau tidak ada rangsangan atau anggaran, tidak ada kegiatan. Itu yang saya sayangkan. Harus dipikirkan bagaimana agar kegiatan tetap bisa berjalan walaupun tidak rangsangan dari KID," kata Alwi yang menjadi ketua ikatan alumni atau Komite Komunitas Demokrasi Lembata.

Selain idealisme gerakan perubahan memang perlu energi lebih serta fasilitas. Semoga saja sikap kritis yang baru mulai mekar itu tidak lalu layu hanya karena persoalan 'rangsangan'. (EGIDIUS PATNISTIK)

Sumber: KOMPAS.COM, 5 Juni 2008

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger