Headlines News :
Home » » Aloysius Tana Botoor: Tak Pensiun dari Urusan Gereja

Aloysius Tana Botoor: Tak Pensiun dari Urusan Gereja

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, July 31, 2008 | 1:30 PM

Ia menderita benjolan di leher. Setelah dioperasi, muncul lagi. Menurut hasil pemeriksaan, ia menderita gondok. Toh, tugas mengajar dan urusan gereja jalan terus.

Penyakit ataupun bencana yang menimpa seseorang merupakan suatu penderitaan. Tapi bagi pasangan Aloysius Tana Botoor dan Paulina Puka Lamak, penderitaan yang dialami, diyakini sebagai berkat Tuhan.

Setidaknya nyata dari penyakit gondok yang diderita Aloysius. Alo, -begitu Aloysius Tana Botoor disapa- lebih meyakini kata-kata Ayub dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, “Tuhan memberi, Tuhan mengambil kembali. Terpujilah Tuhan.”

Bahkan menurut guru Sekolah Dasar Katolik (SDK) Puor, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, Yesus relah menderita di Bukit Golgota agar manusia memperoleh berkat berlimpah.

Alo menceritakan, saat mengajar di SDK Boto, Nagawutun, tahun 1988, ia menderita sebuah benjolan kecil di leher bagian kiri. Anehnya, benjolan itu tak pernah menimbulkan rasa sakit. Karena itu, ia tidak menghiraukan. “Saya tetap mengajar seperti biasa. Tak ada niat memeriksakan diri ke rumah sakit,” cerita Alo.

Begitu juga kesibukan lainnya di gereja Santu Yosep Boto. Sebagai Ketua Seksi Liturgi Paroki Boto, pria yang sejak 1967 mengabdi sebagai guru ini dituntut lebih aktif membantu Pastor Nikolaus Strawn, SVD, pastor paroki untuk melayani umat. Apalagi, umat menyebar di beberapa stasi dengan jarak yang cukup jauh.

Tanpa disadari, benjolan itu makin hari makin membesar dan menggantung. Namun Alo mengaku, lagi-lagi benjolan itu tak menimbulkan rasa sakit. Tugas-tugas di sekolah dan paroki pun berjalan seperti biasa.

Tahun 1991, misalnya, ia masih mewakili paroki untuk mengikuti Kursus Dasar Teologi di Wisma Sesabanu, di Hokeng, Larantuka.

Operasi

Ternyata kelalaian Alo dalam memandang penyakit itu sedikit mengganggu kegiatan pokoknya. Baik rekan-rekan guru dan pengurus dewan paroki menyarankan agar segera memeriksakan diri ke dokter.

Saran itu diturutinya sehingga ia langsung melakukan pemeriksaan awal. Hasil pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Alo menderita penyakit gondok. Dan rumah sakit yang ia pilih adalah Rumah Sakit Umum (RSU) Prof Dr WZ Johannes Kupang, ibu kota provinsi NTT.

Pertimbangannya, ia pegawai negeri sipil (PNS) yang bisa berobat dengan jaminan asuransi kesehatan (Askes). Dengan demikian, praktis hampir semua biaya operasi dan obat-obatan bisa teratasi.

Selain itu, ada tenaga dokter ahli bedah. Berikut peralatan rumah sakit pemerintah itu cukup lengkap ukuran di provinsi. Ia menceritakan, tahun 1994 ia ditemani isterinya berangkat ke Kupang untuk menjalani operasi di RSU WZ Johannes.

Pengalaman pertama menjalani operasi gondok membuat isteri Alo sedikit merasa cemas. “Tapi saya katakan pada isteri saya agar dalam kondisi apapun kami harus bersyukur kepada Tuhan. Novena pada Bunda Maria pun tetap kami jalani,” katanya.

Sebagai seorang umat beriman, ia punya prinsip bahwa apapun yang diperoleh dalam hidup harus disyukuri sebagai berkat. Karena itu, operasi berjalan lancar tanpa hambatan.

“Apapun yang kami terima, semua itu berkat Tuhan. Kami harus tersenyum sekalipun itu sakit bagi kami. Dan penyakit gondok ini adalah berkat bagi saya dan keluarga,” katanya. Karena lewat tangan para dokter ahli bedah, katanya, Tuhan telah memberinya berkat sehingga ia bisa sembuh.
Doa dan Kerja

Operasi pertama membuat Alo merasa lega. Selain ia merasa sembuh, tugas pokoknya sebagai guru dan pengurus dewan paroki ia jalani seperti biasa. Berkat kesembuhannya, ia malah semakin menyadari betapa karya Tuhan begitu besar.

“Berdevosi kepada Bunda Maria dan Hati Kudus Yesus adalah kegiatan rutin keluarga kami,” ujarnya. Ia pun semakin rajin menjalankan tugas-tugas paroki. Kepercayaan yang diberikan dari dewan paroki, ia selalu jalankan. Tapi namanya penyakit, tak mengenal waktu dan siapa orangnya.

Selang setahun, tepatnya tahun 1995, muncul lagi benjolan di bagian kanan lehernya. Dan ia memastikan bahwa itu adalah gondok. “Saya tetap bekerja seperti biasa. Baik mengajar dan aktif di dewan paroki,” kilahnya. 

Mengapa, karena benjolan itu tak terasa sakit. Praktis seperti gondok yang menderanya kali pertama. Sehingga aktivitasnya di gereja dan sekolah tak terganggu. “Tahun 1995 pun saya masih dipercayakan untuk mengikuti latihan fasilitator tingkat dekenat di Lewoleba,” cerita Alo.

Bukan hanya itu. Ia malah dipercaya lagi sebagai utusan paroki mengikuti Pertemuan Umat Katolik Keuskupan Larantuka (Pukel) di Hokeng, Larantuka. Itu tepatnya tahun 1997. Sebagai seorang awam yang aktif dalam membantu tugas-tugas pelayanan gereja, ia pun diangkat Uskup Larantuka Mgr Darius Nggawa, SVD (kini sudah digantikan oleh Mgr Fransiskus Kopong Kung, Pr-Red) sebagai diakon awam di Paroki Boto.

Dalam kesibukannya, ia menyadari bahwa sakit ternyata melenyapkan kesempatan meraih sukses. Karena itu, seiring membengkaknya gondok di leher bagian kanan, ia memilih agar sesegera mungkin dioperasi.

Pertengahan Desember 2001, Alo ditemani isterinya bertolak ke Jakarta. Setelah check in, Alo melakukan serangkaian pemeriksaan oleh tim ahli bedah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan dibantu mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI). Tepat pada jam 08.00 WIB, hari Kamis 7 Februari 2002, penyakit gondok berhasil dioperasi.

Hujan yang sejak awal Februari bagai dicurahkan dari langit seakan membuat Kota Metropolitan enggan tersenyum. Tapi senyum Alo dan isterinya tetap merekah karena ada kemenangan yang mereka raih.

Di atas tempat tidur, ia berbisik pada Paulina, isterinya, “Doakan saya, Ma. Biar cepat sembuh!” Tapi wanita yang setia di sampingnya itu menimpali, “Tuhan Yesus dan Bunda Maria sudah mendengar doa kita.” Suara sang guru SD itu seperti memberontak.

“Aku ingin pulang. Anak-anak di sekolah sudah lama saya tinggalkan. Umat paroki tentu sudah sangat menanti kehadiran saya,” katanya. Kok tak mau pensiun dari guru dan tugas gereja? “Dua tugas itu sudah jadi panggilan jiwa,” lanjut bapak empat anak dan satu cucu ini. Terima kasih, Pak guru. Jasamu tiada tara. 
Ansel Deri
Sumber: Majalah HATI BARU, Jakarta
Ket foto: Alm. Aloysius Tana Botoor (1) bersama istri terkasih, anak, dan cucu di kampung (2).
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger