Headlines News :
Home » » Lebih Jauh dengan Frans Lebu Raya (1)

Lebih Jauh dengan Frans Lebu Raya (1)

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, July 25, 2008 | 11:59 AM

Pengantar–Dalam sebuah diskusi dengan penulis di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Frans Lebu Raya tetaplah seorang politisi yang tenang dan santun. Namun soal taktik dan strategi? Jangan tanya. Dialah yang menjadi salah seorang pimpinan sidang dalam Kongres PDI-P di Denpasar, Bali, hingga mengantar Megawati Soekarnoputri menjadi ketua umum partai bergambar banteng gemuk itu.

“Saya dan keluarga menyampaikan terima kasih yang berlimpah atas doa, dukungan, kerjasama, dan kerja keras dalam proses pilkada sehingga saya dan Pak Esthon dipilih dan dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur. Kami mohon dukungan selanjutnya dalam kepemimpinan kami ke depan untuk mewujudkan NTT yang lebih baik. Mohon maaf manakala ada kekurangan dalam seluruh proses ini. Terima kasih. Tuhan memberkati,” ujar Frans kepada penulis, Minggu (20/7 2008).

Itulah cara pria asal Desa Watoona, Pulau Adonara, Flores Timur, ini mengungkapkan “isi hatinya” kepada semua masyarakat dan semua pihak terkait menyusul kemenangan politik dalam pikada yang ia raih bersama Esthon. Tapi apa pandangannya soal politik Inilah bagian pertama hasil diskusi penulis dengan pria yang kini menjadi Gubernur NTT masa bakti 2008-2013 di Hotel Borobudur Jakarta.

Sosok Frans Lebu Raya saya tahu dan kenal karena dalam beberapa kesempatan bertemu dan berdiskusi dengan beliau. Hal ini terjadi saat saya masih di Kupang hingga di Jakarta. Bahkan menjelang detik-detik penetapan paket calon Gubernur dan Wakil NTT yang akan ikut berlaga memenangkan pilkada. Berbeda dengan wakilnya, Esthon Foenay. Jelasnya, Pak Esthon adalah birokrat senior di Pemerintah Provinsi NTT.

Jauh sebelum menjadi gubernur, saya sempat ngobrol hampir satu jam lebih dengan beliau saat mengikuti acara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Saat itu, kami berdua ngobrol soal pentingnya etika yang harus dipegang para politisi dalam setiap momentum politik. Entah pemilihan gubernur, bupati maupun walikota di NTT.

Topik etika dalam berpolitik menjadi penting karena dalam pratiknya, kerap disalahgunakan. Tak ayal, politik dipukul rata sebagai hal yang kotor. Politik sepertinya menghalalkan segala cara guna mencapai tujuan (politik). Nah, sebagai politisi senior PDI-P, ia kurang setuju.

Frans mengamini jika pandangan seperti itu diarahkan kepada segelintir oknum yang melakukan praktik politik dengan cara yang kotor, tidak jujur dan lain sebagainya. Politik tidak identik dengan hal-hal yang tidak benar, tidak jujur, kotor dan negatif. Jika kita lihat dari segi positifnya maka politik itu sebuah ikhtiar untuk mewujudkan kesejahteraan umum.

Untuk merebut kekuasaan, ada oknum politisi yang berusaha merebut kekuasaan tapi dengan cara tidak jujur. Bahkan menggunakan kekerasan. Ada banyak orang menilai politik itu kotor. Tapi, soal bersih atau kotor, tergantung pada para pelaku politik. Jika seorang politisi tetap mengedepankan etika, aturan, dan norma maka penilaian kotor itu dapat dihindari.

Bagi Lebu Raya, dalam berpolitik etika, norma, dan moral politik tetap dipegang dan dikedepankan. Tanpa itu maka bisa muncul cara-cara yang bisa dipandang kotor. Baginya, urusan etika, aturan, dan norma politik selalu ia pegang dalam berpolitik. Bahwa politik membutuhkan taktik dan strategi, ya, tentu harus begitu. Tetapi harus diingat semua itu harus dalam batas-batas aturan dan norma.

Heterogenitas Masyarakat

Lebu Raya juga menyadari. Masyarakat NTT sangat heterogen sehingga kerap memunculkan sentimen primordial dalam setiap momentum politik. Masyarakat sangat heterogen, baik dari bahasa, adat, suku, agama, dan golongan. Ketika ada momentum politik seperti suksesi gubernur dan wakil gubernur, isu-isu politik seperti itu kadang mencuat.

Hal ini perlu kita sadari bahwa di NTT ada kemajemukan. Kita tidak boleh mengabaikan kemajemukan itu. Tetapi bukan berarti kita serta-merta mengakomodir semua kemajemukan. Prinsip kualitas dan kepentingan umum tetap menjadi tujuan kita bersama. Artinya, kita semua harus membuka diri terhadap kemajemukan itu. Kita perlu membuka diri untuk melihat bahwa di NTT ada kemajemukan.

Jika kita menutup diri maka akan sulit dalam melewati proses pembangunan di lewotana (baca NTT). Misalnya seseorang berasal dari etnik A, ia harus menyadari diri bahwa masih ada etnik yang lain di sampingnya. Jika ia menutup diri dari berbagai keanekaragaman maka akan menghadapi kesulitan.

Oleh karena itu, kita semua harus memiliki suatu kesadaran kolektif bahwa kemajemukan yang kita miliki bisa menyatukan kita. Lebu Raya mengingatkan dan perlu menjadi perhatian bersama bahwa perbedaan itu tidak boleh ditajam-tajamkan. Ia tidak boleh dipertentangkan tapi diterima sebagai kekayaan, sebuah mosaik yang memperindah wajah NTT. (Ansel Deri, bersambung)
SEBARKAN ARTIKEL INI :

1 comment:

  1. NTT MERUPAKAN MINIATUR INDONESIA

    Saya setuju dengan tulisan pada BLOK ANAK KAMPUNG KLUANG - LEMBATA, tentang sosok gubernur NTT yang begitu santun serta selalu menggunakan strategi politik yang sehat untuk meraih kemenangan. Kadang ego kedaerahan dapat mendorong kita untuk lebih menilai dari pada meneladani. Maka sebaiknya kita orang NTT harus dapat menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan itu. Karena etnik NTT sudah merupakan miniaturnya Indonesia.Maka seorang Frans Lebu Raya dituntut harus sanggup melaksanakan program pemerintahannya bagai presiden Republik ini.(http://Bernardtokan.wordpress.co.id)

    ReplyDelete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger