Bila ingin melestarikan alam, mulailah dari diri sendiri. Agaknya prinsip itulah yang dipegang kuat oleh Marselinus Agot SVD (58). Dia pun memulai melakukan hal-hal yang sederhana untuk menghijaukan sebagian wilayah Manggarai.
Awalnya, Marselinus yang akrab dipanggil Marsel gelisah melihat banyaknya kawasan hutan yang sudah mulai gundul di tanah Manggarai. Dia pun merasakan kesedihan ketika alam sudah mulai hancur, sering terjadi longsor, erosi, dan debit air yang semakin menurun.
Kemudian, sedikit demi sedikit, dia membeli lahan untuk penghijauan. Lahan yang dibelinya bukan dengan harga yang mahal. Bahkan, ada yang dibeli pada tahun 1990-an hanya dengan harga Rp 500 per meter persegi. Harga yang sangat murah untuk bisa mewujudkan cita-cita besar, yaitu menghijaukan kota Labuan Bajo.
”Semua itu saya dapatkan karena kebaikan hati orang- orang yang juga ingin ikut menghijaukan wilayah ini. Di samping itu, memberi contoh kepada orang lain tidak cukup hanya dengan kata-kata, tetapi kita harus mengerjakannya, yaitu dengan menanam pohon,” kata Marsel.
Sebagai balas jasanya, Marsel menceritakan, dia tetap berhubungan baik dengan para pemilik tanah yang dibelinya. Bahkan, Marsel tidak segan-segan membantu mereka bila sedang menghadapi kesulitan. ”Saya tidak bisa melakukan penghijauan jika tidak mendapat lahan dari mereka, jadi saya harus membantu bila mereka dalam kesusahan,” katanya.
Usaha penghijauan yang dilakukan Marsel dimulai sejak tahun 1997 di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang baru dibentuk tahun 2003. Sebelumnya, pada tahun 1990-an, Marsel juga menanam sekitar 5.000 pohon di sebidang tanah di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Namun, saat ini hanya lahan di Labuan Bajo yang diurusnya, sedangkan lahan di Ruteng dikelola oleh Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Ruteng.
Di Labuan Bajo, Marsel mengelola sekitar 20 hektar lahan yang tersebar di dua tempat, yaitu di wilayah Pantai Pede, Desa Gorontalo seluas 8 hektar, dan di Desa Batucermin seluas 12 hektar. Di lahan tersebut ditanam bibit pohon mahoni dan berbagai jenis kayu lokal, misalnya pohon nara, aor nana, dan ngancar. Semuanya ada sekitar 13 jenis pohon yang ditanamnya. Selain di dua lahan itu, Marsel masih memiliki beberapa areal yang juga akan dijadikan lahan penghijauan.
”Pohon jenis lokal kami tanam supaya tidak menghilang di tanahnya sendiri. Selanjutnya, kami akan terus mengembangkan penghijauan ini untuk menyelamatkan lingkungan. Masih ada 30 hektar lahan yang belum ditanami,” katanya.
Kini, Marsel sudah bisa menikmati sedikit hasil dari hutan buatannya. Siang itu, bersama dengan Kompas, Marsel mengunjungi hutan mahoni yang sudah cukup besar-besar di wilayah Desa Batucermin. Usia pohon rata-rata 6 tahun, dengan jarak tanam 1,5 meter. Dengan jarak tanam 1,5 meter, Marsel berharap pohon-pohon yang ditanamnya tidak terlalu banyak bercabang dan lurus.
Kedatangan kami disambut oleh para tukang yang sedang membangun sebuah rumah kecil. Marsel menceritakan, rumah kecil itu dibangun untuk teman-temannya yang berasal dari luar kota, yang ingin menikmati suasana hutan buatannya.
Sambil terus menceritakan mengenai hutan buatannya, Marsel juga menunjukkan sebuah mata air di tengah-tengah hutan buatannya di Desa Batucermin. ”Munculnya mata air ini yang membuat saya sangat terharu. Anugerah yang tidak ternilai karena di Labuan Bajo sangat sulit mendapatkan air,” katanya dengan mata berbinar-binar.
Mata air yang sudah membentuk sungai kecil itu kemudian ditanami bunga teratai. Di awal bulan Mei itu, bunga teratai sedang mengembang sehingga hutan itu terlihat indah. Meski airnya tidak terlalu jernih, tetapi cukup membuat suasana di hutan terasa sejuk. Padahal, cuaca di kota Labuan Bajo saat itu panas sekali.
Bukan hanya satu mata air. Berjarak sekitar 50 meter, ada lagi dua mata air lain yang membentuk kubangan kecil. Marsel berharap mata air itu juga akan membesar seperti mata air sebelumnya. Ia mengatakan, ketika para pelajar pulang sekolah, mereka sering mampir ke sungai itu. Bahkan, beberapa penduduk di sekitar juga memanfaatkan airnya. Di kota komodo itu memang sulit mendapatkan air.
Marsel menceritakan, semua kegiatan terkait dengan lingkungan itu berada di bawah payung Yayasan Sosial Pemerhati Pendidikan (Yaspemdik). Supaya yayasan dapat dijalankan, Marsel mendirikan berbagai usaha seperti perkebunan, pertanian, bengkel kayu, wartel dan warnet, yang bernaung di bawah PT Predicator Unitatis Mundi (Prundi) yang artinya pemakluman bahwa dunia itu satu.
”Kami menjalankan misi di bidang sosial, kependidikan bagi awam, sosial kemasyarakatan, dan pelestarian lingkungan hidup. Tetapi, kami tidak pernah mau mengerjakan proyek dari lembaga apa pun. Kami hanya bermodal nekat dan kemauan saja,” ungkapnya.
Marsel dilahirkan di Kampung Wela, Kabupaten Manggarai. Karena jaraknya jauh dari Ruteng, pusat kota Manggarai, dia tidak bisa segera mengenyam pendidikan di usia muda. Tahun 1958, Marsel mencoba masuk ke sebuah Sekolah Rakyat (SR) di kampung lain, tetapi ditolak dengan alasan kondisi fisik yang tidak prima. Dia diminta datang lagi tahun berikutnya.
Kebiasaan hidup di desa di wilayah Manggarai membuat Marsel sangat akrab dengan hutan di kampungnya. Karena itulah, ketika banyak kawasan hutan digunduli, dia kehilangan lingkungan yang nyaman dan asri. Ia sempat marah ketika banyak orang ikut-ikutan menebangi pohon. Namun, kemarahan itu kemudian diwujudkan dengan mencari lahan untuk menanam pohon. Semoga saja apa yang sudah dilakukannya akan ditiru banyak orang meski hanya di lingkungan Manggarai Barat. (Susie Berindra)
Nama: Marselinus Agot SVD
Tempat, tanggal lahir: Wela, 2 Juni 1950
Riwayat Pekerjaan: - Dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Ruteng, 1988-2005 - Ketua STKIP Ruteng, April 1988-1997 - Ketua Badan Pelaksana Yayasan Pendidikan St PaulusRuteng, 1997-2005 - Ketua Yayasan Sosial Pemerhati Pendidikan, 2000-sekarang
Sumber: KOMPAS, 11 Juli 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!