Ternyata tak sia-sia Sumardi (54), petani asal Banyuwangi, Jawa Timur, itu meninggalkan kampung halamannya merantau ke Kabupaten Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Tekad bulat dan keberaniannya itu kini telah membuahkan hasil.
Sumardi nekat merantau ke luar Jawa meski hal seperti itu baru kali pertama dilakukannya. Dia meninggalkan Banyuwangi menuju Ende pada Juni 2005. Dengan demikian, genap tiga tahun ini di Ende Sumardi telah mengolah tanah yang disewanya dengan menanam cabai dan tomat.
Modal yang digunakannya untuk bertani seluruhnya telah kembali, bahkan dia juga telah melunasi semua utangnya. Keberhasilan yang telah diraihnya itu pun mendapat perhatian dari pejabat Badan Perencana Pembangunan Daerah setempat dan menetapkan Sumardi sebagai petani ulet di tingkat Kabupaten Ende.
Bapak empat anak itu telah membuktikan bahwa niat baik dan ketulusan, disertai kegigihan dan kerja keras, akan membuahkan hasil.
Sumardi membuktikan pula, wilayah Provinsi NTT yang selama ini lebih dikenal sebagai daerah gersang, terbelakang, dan miskin, kerap dijuluki pula sebagai daerah dengan ”Nasib Tak Tentu” ataupun ”Nunggu Tuhan Tolong”, ternyata dapat dipetik keuntungan berlimpah dari usaha tani berbasis tanaman sayur.
”Dari hasil panen Oktober 2005, modal saya, Rp 13,5 juta, seluruhnya telah kembali dan utang dari uang teman-teman yang saya pinjam, Rp 7.100.000, semuanya dapat dilunasi. Waktu itu hasil panen tomat saja (belum termasuk cabai) sebanyak 8 ton dengan harga Rp 3.000 per kilogram. Jadi, dari hasil penjualan tomat saya mendapat Rp 24 juta,” kata Sumardi.
Keberhasilan Sumardi juga melambungkan namanya. Ada warga sekitar yang memanggilnya Pak Kumis karena kumisnya yang tebal, tetapi banyak pula yang biasa memanggil Sumardi ”Pak Tomat” atau ”Pak Lombok”.
Harga pasar bagus
Sumardi menuju Ende atas dorongan adiknya, Syaifudin, yang sudah lebih dulu tinggal di Ende dan membuka usaha Warung Makan Banyuwangi di Jalan Wolowona.
Sumardi juga mendapat masukan bahwa harga cabai dan tomat sangat bagus di Pasar Ende karena belum banyak petani setempat yang menanamnya. Juga diinformasikan, belum ada petani Ende yang bisa bercocok tanam cabai dan tomat dengan sistem budidaya yang baik.
Tekad Sumardi juga makin kuat karena usaha tani di Banyuwangi dirasakannya sudah jenuh akibat terlalu banyak pesaing. Menurut Sumardi, akibat terlalu banyak petani dengan tingkat persaingan yang begitu tinggi itu, harga komoditas pertanian sering jatuh jauh sekali.
”Ketika semua petani di Jawa berlomba-lomba menanam dengan kualitas terbaik, lalu waktu panen hasil melimpah, harga malah jatuh. Harga cabai di tingkat petani bisa jatuh menjadi Rp 500 per kilogram. Padahal, untuk mendapat keuntungan, petani harus menjual cabainya paling tidak Rp 3.000 per kilogram. Tahun 2004 ada petani di kampung saya meninggal karena stres. Dia rugi Rp 250 juta. Harga cabai waktu itu hanya Rp 1.000 sampai Rp 1.500 per kilogram,” katanya.
Sebelum meninggalkan Banyuwangi, Sumardi juga mendapat informasi bahwa harga pasar cabai tertinggi di Ende dapat mencapai Rp 60.000 per kilogram, sedangkan tomat berkisar Rp 7.000 per kilogram. Harga cabai dan tomat akan melambung ketika pasokan dari Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) kosong.
Dengan modal di tangan Rp 13,5 juta, saat itu Sumardi tak berpikir lama dan langsung berangkat ke Ende. Dia meminta bantuan Syaifudin mencarikan sebidang tanah guna ditanami cabai dan tomat.
Bersama istri, Sudasemi (45), dan seorang pembantunya, Sumardi meninggalkan empat anak di kampung halamannya. Syaifudin telah mendapatkan lahan seluas 4.000 meter persegi di Kelurahan Lokoboko, Kecamatan Ndona.
Sumardi lalu mengontrak tanah itu senilai Rp 7,5 juta untuk masa 10 tahun. Tahun 2006 dia memperluas lahan garapannya dengan mengontrak lagi 4.000 meter persegi di lokasi yang sama untuk masa tiga tahun.
Perluas lahan garapan
Jiwa petani yang begitu kuat dalam dirinya mengobarkan semangatnya untuk terus maju hingga laki-laki, yang keluarga besarnya di kampung memiliki lahan garapan seluas 7 hektar, itu memutuskan mengontrak tanah lagi di Desa Nanganesa, juga di Kecamatan Ndona, seluas 3.000 meter persegi. Tanah itu disewanya senilai Rp 9.250.000.
Lokasi kebunnya di Nanganesa hanya sekitar 2 kilometer dari Lokoboko. Adapun untuk tempat tinggal, Sumardi di Ende juga mengontrak rumah di Nanganesa seharga Rp 750.000 per tahun.
Menurut Sumardi, dari hasil panen cabai dan tomat pada tahun 2006, ia memperoleh pemasukan Rp 67 juta. Adapun pada tahun 2007, dari 6.000 pohon tomat saja dihasilkan 13 ton dengan pemasukan berkisar Rp 39 juta. Dia memperkirakan, di lahan yang disewanya itu bisa ditanam 20.000 pohon cabai dan tomat jika ditanami secara serentak.
Hasil panen cabai dan tomat memang lumayan. Selain dapat menabung, Sumardi juga bisa mengirim uang untuk anak-anak yang seluruhnya telah berumah tangga.
Di sisi lain, laki-laki tamatan jurusan teknik mesin STM Negeri 4 Jember, Jawa Timur, itu menyatakan tak menyangka tanah di Ende amat subur. Namun, kesuburan tanah saja belumlah cukup. Salah satu kunci keberhasilan budidaya pertanian adalah persediaan air yang memadai.
Meskipun mendapatkan hasil yang berlimpah selama tiga tahun ini, Sumardi belum memutuskan apakah akan tinggal menetap di Ende atau suatu saat akan kembali lagi ke kampung halamannya.
”Yang terpenting saya ingin naik haji. Itu harapan saya sejak dulu. Bagi saya ibadah lebih utama sebab hidup manusia di dunia ibaratnya hanya sehari semalam,” ungkap Sumardi.
Tinggalkan Karier Militer
Cita-cita saya sebenarnya di militer. Saya sudah diterima di Akabri tahun 1974, di kesatuan Angkatan Darat. Tapi, semua itu saya tinggalkan dengan terjun sebagai petani,” kata laki-laki yang dilahirkan dari keluarga petani itu.
Sumardi menceritakan, beberapa waktu setamat dari STM dia mendaftar ke Akabri. Tahun 1975 Sumardi akan ditugaskan ke Timor Timur (saat ini Republik Demokratik Timor Leste). Namun, ketika itu orangtuanya berat melepas kepergian Sumardi.
”Ibu saya waktu itu bilang, kalau kamu berangkat ke Timor Timur, kami harus ikut. Saya berpikir, saya ke sana dalam rangka tugas negara dan taruhannya pun nyawa. Saya tak mau mengorbankan mereka. Akhirnya saya memutuskan keluar dari militer,” kata anak ketujuh dari 10 bersaudara itu.
Sebelum terjun secara total menjadi petani, Sumardi sempat bekerja di bengkel kendaraan. Itu tak lepas dari keterampilan yang diperolehnya di STM.
”Tapi, kemudian saya tak sampai hati melihat orangtua saya bekerja membanting tulang di ladang, sedangkan saya hanya mondar-mandir ke bengkel,” ujar Sumardi. (Samuel Oktora)
Sumardi nekat merantau ke luar Jawa meski hal seperti itu baru kali pertama dilakukannya. Dia meninggalkan Banyuwangi menuju Ende pada Juni 2005. Dengan demikian, genap tiga tahun ini di Ende Sumardi telah mengolah tanah yang disewanya dengan menanam cabai dan tomat.
Modal yang digunakannya untuk bertani seluruhnya telah kembali, bahkan dia juga telah melunasi semua utangnya. Keberhasilan yang telah diraihnya itu pun mendapat perhatian dari pejabat Badan Perencana Pembangunan Daerah setempat dan menetapkan Sumardi sebagai petani ulet di tingkat Kabupaten Ende.
Bapak empat anak itu telah membuktikan bahwa niat baik dan ketulusan, disertai kegigihan dan kerja keras, akan membuahkan hasil.
Sumardi membuktikan pula, wilayah Provinsi NTT yang selama ini lebih dikenal sebagai daerah gersang, terbelakang, dan miskin, kerap dijuluki pula sebagai daerah dengan ”Nasib Tak Tentu” ataupun ”Nunggu Tuhan Tolong”, ternyata dapat dipetik keuntungan berlimpah dari usaha tani berbasis tanaman sayur.
”Dari hasil panen Oktober 2005, modal saya, Rp 13,5 juta, seluruhnya telah kembali dan utang dari uang teman-teman yang saya pinjam, Rp 7.100.000, semuanya dapat dilunasi. Waktu itu hasil panen tomat saja (belum termasuk cabai) sebanyak 8 ton dengan harga Rp 3.000 per kilogram. Jadi, dari hasil penjualan tomat saya mendapat Rp 24 juta,” kata Sumardi.
Keberhasilan Sumardi juga melambungkan namanya. Ada warga sekitar yang memanggilnya Pak Kumis karena kumisnya yang tebal, tetapi banyak pula yang biasa memanggil Sumardi ”Pak Tomat” atau ”Pak Lombok”.
Harga pasar bagus
Sumardi menuju Ende atas dorongan adiknya, Syaifudin, yang sudah lebih dulu tinggal di Ende dan membuka usaha Warung Makan Banyuwangi di Jalan Wolowona.
Sumardi juga mendapat masukan bahwa harga cabai dan tomat sangat bagus di Pasar Ende karena belum banyak petani setempat yang menanamnya. Juga diinformasikan, belum ada petani Ende yang bisa bercocok tanam cabai dan tomat dengan sistem budidaya yang baik.
Tekad Sumardi juga makin kuat karena usaha tani di Banyuwangi dirasakannya sudah jenuh akibat terlalu banyak pesaing. Menurut Sumardi, akibat terlalu banyak petani dengan tingkat persaingan yang begitu tinggi itu, harga komoditas pertanian sering jatuh jauh sekali.
”Ketika semua petani di Jawa berlomba-lomba menanam dengan kualitas terbaik, lalu waktu panen hasil melimpah, harga malah jatuh. Harga cabai di tingkat petani bisa jatuh menjadi Rp 500 per kilogram. Padahal, untuk mendapat keuntungan, petani harus menjual cabainya paling tidak Rp 3.000 per kilogram. Tahun 2004 ada petani di kampung saya meninggal karena stres. Dia rugi Rp 250 juta. Harga cabai waktu itu hanya Rp 1.000 sampai Rp 1.500 per kilogram,” katanya.
Sebelum meninggalkan Banyuwangi, Sumardi juga mendapat informasi bahwa harga pasar cabai tertinggi di Ende dapat mencapai Rp 60.000 per kilogram, sedangkan tomat berkisar Rp 7.000 per kilogram. Harga cabai dan tomat akan melambung ketika pasokan dari Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) kosong.
Dengan modal di tangan Rp 13,5 juta, saat itu Sumardi tak berpikir lama dan langsung berangkat ke Ende. Dia meminta bantuan Syaifudin mencarikan sebidang tanah guna ditanami cabai dan tomat.
Bersama istri, Sudasemi (45), dan seorang pembantunya, Sumardi meninggalkan empat anak di kampung halamannya. Syaifudin telah mendapatkan lahan seluas 4.000 meter persegi di Kelurahan Lokoboko, Kecamatan Ndona.
Sumardi lalu mengontrak tanah itu senilai Rp 7,5 juta untuk masa 10 tahun. Tahun 2006 dia memperluas lahan garapannya dengan mengontrak lagi 4.000 meter persegi di lokasi yang sama untuk masa tiga tahun.
Perluas lahan garapan
Jiwa petani yang begitu kuat dalam dirinya mengobarkan semangatnya untuk terus maju hingga laki-laki, yang keluarga besarnya di kampung memiliki lahan garapan seluas 7 hektar, itu memutuskan mengontrak tanah lagi di Desa Nanganesa, juga di Kecamatan Ndona, seluas 3.000 meter persegi. Tanah itu disewanya senilai Rp 9.250.000.
Lokasi kebunnya di Nanganesa hanya sekitar 2 kilometer dari Lokoboko. Adapun untuk tempat tinggal, Sumardi di Ende juga mengontrak rumah di Nanganesa seharga Rp 750.000 per tahun.
Menurut Sumardi, dari hasil panen cabai dan tomat pada tahun 2006, ia memperoleh pemasukan Rp 67 juta. Adapun pada tahun 2007, dari 6.000 pohon tomat saja dihasilkan 13 ton dengan pemasukan berkisar Rp 39 juta. Dia memperkirakan, di lahan yang disewanya itu bisa ditanam 20.000 pohon cabai dan tomat jika ditanami secara serentak.
Hasil panen cabai dan tomat memang lumayan. Selain dapat menabung, Sumardi juga bisa mengirim uang untuk anak-anak yang seluruhnya telah berumah tangga.
Di sisi lain, laki-laki tamatan jurusan teknik mesin STM Negeri 4 Jember, Jawa Timur, itu menyatakan tak menyangka tanah di Ende amat subur. Namun, kesuburan tanah saja belumlah cukup. Salah satu kunci keberhasilan budidaya pertanian adalah persediaan air yang memadai.
Meskipun mendapatkan hasil yang berlimpah selama tiga tahun ini, Sumardi belum memutuskan apakah akan tinggal menetap di Ende atau suatu saat akan kembali lagi ke kampung halamannya.
”Yang terpenting saya ingin naik haji. Itu harapan saya sejak dulu. Bagi saya ibadah lebih utama sebab hidup manusia di dunia ibaratnya hanya sehari semalam,” ungkap Sumardi.
Tinggalkan Karier Militer
Cita-cita saya sebenarnya di militer. Saya sudah diterima di Akabri tahun 1974, di kesatuan Angkatan Darat. Tapi, semua itu saya tinggalkan dengan terjun sebagai petani,” kata laki-laki yang dilahirkan dari keluarga petani itu.
Sumardi menceritakan, beberapa waktu setamat dari STM dia mendaftar ke Akabri. Tahun 1975 Sumardi akan ditugaskan ke Timor Timur (saat ini Republik Demokratik Timor Leste). Namun, ketika itu orangtuanya berat melepas kepergian Sumardi.
”Ibu saya waktu itu bilang, kalau kamu berangkat ke Timor Timur, kami harus ikut. Saya berpikir, saya ke sana dalam rangka tugas negara dan taruhannya pun nyawa. Saya tak mau mengorbankan mereka. Akhirnya saya memutuskan keluar dari militer,” kata anak ketujuh dari 10 bersaudara itu.
Sebelum terjun secara total menjadi petani, Sumardi sempat bekerja di bengkel kendaraan. Itu tak lepas dari keterampilan yang diperolehnya di STM.
”Tapi, kemudian saya tak sampai hati melihat orangtua saya bekerja membanting tulang di ladang, sedangkan saya hanya mondar-mandir ke bengkel,” ujar Sumardi. (Samuel Oktora)
Sumber: Kompas, 14 Juli 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!