Headlines News :
Home » » Resensi: Jembatan Meningkatkan Produktivitas

Resensi: Jembatan Meningkatkan Produktivitas

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, December 31, 2008 | 1:27 PM

Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lingkungan perusahaan di Indonesia belum maksimal diterapan para pengusaha. Karena itu, sudah saatnya keberadaan program ini dilihat sebagai modal dan bukan beban.

ADI, karyawan sebuah pabrik di Cikarang, Jawa Barat mengalami kecelakaan kerja saat buruh kasar ini mengambil shift malam. Telapak tangannya tertimpa mesin seberat 1 (satu) ton. Karena lukanya parah tangan Adi terpaksa diamputasi.

Meski seluruh biaya pengobatan ditanggung perusahaan, namun harapan Adi untuk bekerja kembali rasanya tak mungkin. Padahal pria yang tergolong usia produktif ini merupakan tumpuan hidup keluarga maupun kelangsungan pendidikan anak-anaknya, Nasib Adi memang lagi apes.

Kisah di atas diangkat pada bagian pendahuluan buku Keselamatan Kesehatan Kerja: Membangun SDM Pekerja yang Sehat, Produktif, dan Kompetitif karya Danggur Konradus, SH, MH. Danggur adalah Konsultan Hukum Pasar Modal sekaligus pendiri Kantor Hukum Danggur & Partners.

Saat ini ia juga menempati posisi sebagai Ketua Bidang Pengkajian Kemasyarakatan dan Internasional Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat.

Menurut Danggur, gagasan penulisan buku itu berawal dari refleksinya atas berbagai kasus kecelakaan kerja yang menimpa para pekerja negeri ini. Sebuah kenyataan yang tak bisa diingkari di mana banyak pekerja yang tewas, cacat atau sakit akibat kecelakaan kerja atau terpaan penyakit yang timbul dalam proses produksi.

Secara yuridis formal pelaksanaan K3 di setiap perusahaan atau tempat kerja sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang memadai dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Namun, K3 yang termasuk dalam wadah higiene perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes) kadang dilupakan para pengusaha.

Hal ini terlihat dari belum maksimalnya penerapan K3 di setiap tempat kerja. Tak heran jika faktor K3 di Indonesia menempati urutan ke-5 di Asia Tenggara atau terburuk dibandingkan dengan Singapura yang menempati urutan pertama disusul Malaysia, Thailand, dan Philipina (hal. ii). 

Peristiwa yang menimpa Adi merupakan bukti nyata kasus kecelakaan di tempat kerja. Dari tahun ke tahun ribuan kecelakaan kerja terjadi di Indonesia. Tak sedikit pula ribuan pekerja meregang nyawa dan ribuan pekerja usia produktif menderita cacat total sehingga masa depan keluarga dan anak-anak menjadi suram.

Kerugian materi yang diderita perusahaan dalam bentuk biaya perawatan dan pengobatan serta santunan bagi korban yang meninggal dunia mencapai miliaran rupiah. Bahkan, menurut catatan Organisasi Buruh Sedunia (International Labour Organization/ILO), kerugian akibat kecelakaan kerja sebesar 4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara derajat kesehatan kerja juga tidak lebih baik.

Hal ini dapat dilihat dari fakta di lapangan yang menunjukkan, para pekerja kelas menengah ke bawah umumnya menderita kurang gizi, anemia atau penyakit infeksi. Sedangkan para pekerja kelas menengah ke atas, pada umumnya terjadi kegemukan (obesitas).

Masalah gizi pada pekerja merupakan akibat langsung dari kurangnya asupan makanan yang tidak sesuai dengan beban kerja atau jenis pekerjaannya.

Tingginya tingkat kecelakaan kerja dan rendahnya derajat kesehatan pekerja di Indonesia, menurut Danggur, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, minimnya kesadaran dan keengganan pihak perusahaan untuk menerapkan K3 dalam lingkungan kerjanya.

Dari ribuan perusahaan di Indonesia, yang terdaftar di PT Jamsostek hanya 50 persen. Ini berarti perusahaan yang sadar akan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja karyawannya hanya setengah dari perusahaan yang ada di tanah air.

Kedua, tidak adanya sanksi hukum yang berat bagi perusahaan yang melanggar standar K3 yang ditetapkan oleh pemerintah. Misalnya, jika ada karyawan yang bekerja di industri bahan olahan kimia menderita sakit atau secara tidak sengaja terkena zat kimia berbahaya karena kelalaian perusahaan yang tidak memberikan proteksi, perusahaan hanya dapat dikenakan sanksi Rp 100 ribu atau subsider kurungan selama-lamanya dua bulan. Inipun jika kasusnya diproses hingga ke pengadilan.

Ketiga, sumber daya manusia (SDM) pekerja yang kurang trampil mengoperasikan peralatan kerja (mesin, bahan kimia, dan alat-alat elektronik lainnya). Pada umumnya, pendidikan para pekerja, terutama pekerja kasar dan buruh pabrik, tergolong rendah.

Mereka juga tidak memiliki keahlian dan ketrampilan mengoperasikan mesin-mesin pabrik yang berteknologi tinggi. Dengan demikian peluang terjadinya kecelakaan kerja yang tak terduga sangat besar. Keempat, sikap dan perilaku pekerja yang enggan menggunakan alat keselamatan kerja yang disediakan perusahaan.

Hal ini disebabkan karena selain pekerja berpendidikan rendah, juga karena mental dan budaya K3 belum dihayati para pekerja. Berbeda jika dibandingkan dengan tenaga kerja di kawasan Asia seperti Singapura, Malaysia, Philipina, Jepang, India, China, dan Korea Selatan. Negara-negara ini memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya keselamatan diri pada saat bekerja.

Kelima, kapasitas, beban, dan lingkungan kerja yang tidak kondusif. Kapasitas, beban, dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen utama dalam K3, di mana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen tersebut akan menghasilkan K3 yang baik dan optimal.

Keenam, fasilitas K3 yang tidak memadai. Penyediaan fasilitas K3 belum dipahami pengusaha atau pemilik perusahaan. Padahal, sarana dan prasarana itu mampu memperpanjang usia kerja para karyawan dan meningkatkan produktivitas kerja. Ketujuh, alat-alat atau fasilitas perlindungan kerja yang digunakan sudah tidak aman lagi atau kedaluarsa dan tidak memenuhi standar K3 nasional.

Kedelapan, faktor kelalaian pengawasan internal perusahaan dan penegakan hukum K3 yang sangat lemah. Banyak kasus kecelakaan kerja terjadi atau indikasi kemungkinan terjadinya encana kerja tidak dilaporkan karena lemahnya pengawasan internal perusahaan.

Apalagi, penegakan hukum K3 di negeri ini masih jauh dari harapan. Kesembilan, pemilik perusahaan masih terjebak pada paradigma berpikir yang salah, bahwa pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja merupakan komponen biaya (cost) dan bukan investasi. Mereka belum melihat manfaat dari pelaksanaan program K3. (ibid: 2)

Dari data di atas, nampak jelas bahwa tingkat kecelakaan kerja dan rendahnya derajat kesehatan para pekerja di Indonesia termasuk yang paling buruk di kawasan Asean. Tak ayal, Indonesia ditempatkan pada urutan kelima terburuk penerapan K3 setelah Malaysia, Thailand, Philipina, dan Singapura.

Oleh karena itu, Danggur berpendapat bahwa sebagai salah satu sumber daya terpenting dalam perusahaan maka wajar apabila pekerja dijamin aksesnya untuk berpartisipasi dalam program K3 yang memfasilitasikan pencapaian derajat keselamatan dan kesehatan kerja setinggi-tingginya, sambil juga melindungi mereka dari kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja (occupational accident) atau penyakit akibat kerja (occupational diseases).

“Sebab, para pekerja baik di sektor formal maupun informal pada hakekatnya merupakan jantungnya organisasi dan motornya produktivitas,” ujar Danggur, Magister Hukum lulusan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta tahun 2002.

Buku setebal 166 sangat cocok bagi para pelaku usaha, baik di sektor formal maupun informal tentang pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja. Juga sangat penting bagi para pekerja dan Serikat Pekerja serta pihak-pihak lain yang concern untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya K3 dalam rangka terwujudnya sumber daya manusia (SDM) pekerja yang sehat, produktif, dan kompetitif.

Karena itu, contoh peristiwa yang menimpa Adi sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini sedapat mungkin dihindari. Karena itu, pada pada masa akan datang implementasi disertai promosi budaya K3 seharusnya dilihat para pengusaha sebagai modal bukan lagi sebagai beban menuju pencapaian produktivitas perusahaan.


Judul Buku : Keselamatan Kesehatan Kerja:
                        Membangun SDM Pekerja yang Sehat, Produktif, dan Kompetitif
 

Pengantar   : Drs H. Muhammad Hatta, MBA
Editor          : Drs Pieter Sambut
Penerbit      : Litbang Danggur & Partners Jakarta
Terbit          : Desember 2006
Tebal           : 166 halaman
Ansel Deri
peresensi adalah penulis lepas, tinggal di Jakarta
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger