Caleg Partai Demokrat Lembata, 2009-2014 ;
Wartawan peliput kegiatan Presiden
selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat
selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat
Masih segar dalam ingatan penulis arahan Presiden selaku
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas)
sekaligus perayaan Ulang Tahun ke-6 Partai Demokrat di Gelanggang Olahraga
(GOR) Jatidiri, Semarang, Jawa Tengah, 2007 lalu. Selain rasa syukur, ada
kerinduan diberi kesehatan untuk melanjutkan ibadah, karya, tugas, dan
pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara. Itulah doa yang oleh SBY,
mesti dipanjatkan.
Ada hal penting lain. Menuju Pemilu 2009, suhu politik akan
semakin memanas dan kompetisi akan semakin keras. Presiden meminta para kader
agar tenang, teguh, berhati dingin. Berjuang dengan gigih untuk mencapai
tujuan, namun tetap dilakukan dengan politik yang bersih, cerdas, dan santun.
Sebagai kader, tentu elok jika memahami politik dalam artian sesungguhnya.
Bahwa politik itu pengabdian kepada rakyat. Rakyat menjadi kiblat pengabdian
politik.
Dalam bahasa berbeda, tepat apa yang dikemukakan Eddy
Kristiyanto dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Politik perlu
dipahami bukan dalam artian sempit (stricto sensu), melainkan dalam
arti luas, (largo sensu) yakni arti utama dan sesungguhnya dari
politik. Sebenarnya “jiwa” politik dan memoria itu paling jelas terbaca bukan
pada tataran wacana (discourse), bukan tingkat verbal dan kognitif,
melainkan lebih-lebih pada kemungkinan yang diciptakan oleh masing-masing
pribadi dalam kebersamaan untuk menjadi semakin manusiawi (human), seraya hidup
dalam suatu lingkungan yang ramah (hospitable) terhadap sesama, di
mana keadilan, bela rasa penuh cinta (compassion), dan pemeliharaan
hidup diutamakan.
Maka dari itu, pembicaraan tentang politik dan memoria
menyangkut harkat hidup kita semua sebagai manusia. Inilah salah satu makna
terdalam manusia di hadapan Hyang Widi. Kiranya, Ia tidak pertama-tama melihat
agama, ras, golongan etnis, tingkatan sosial apa yang melatarbelakangi kita,
melainkan “apa nilai manusia“ di hadapan-Nya. Semua hal kemudian menjadi sangat
relatif jika diperhadapkan pada Sang Absolut Sejati (baca: Sakramen Politik, 2008).
Tentu kita sepakat, muara politik adalah pengabdian kepada bangsa
dan Negara dalam arti sesungguhnya. Namun, dalam proses politik mencapai
tujuan, tepat peringatan presiden. Bahwa politik tetap dilakukan dengan bersih,
cerdas, dan santun. Para kader dan keluarga besar Partai Demokrat diminta
menunjukkan dan memberikan contoh dalam etika politik dan aturan main demokrasi
yang baik. Kepada semua pejabat pemerintahan yang berasal dari Partai Demokrat
apakah menteri, gubernur, bupati, dan walikota juga diminta mengutamakan tugas
untuk rakyat, negara dan bangsa kemudian tugas untuk partai politik.
Etika politik
Mengapa etika dan tata krama politik menjadi hal penting?
Tentu ada alasan di balik itu. Tahun depan Indonesia akan diramaikan dengan dua
agenda politik nasional, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Pada
Pemilu Legislatif, sebanyak 38 partai politik bakal meramaikan pesta demokrasi
akbar ini. Pertarungan antarpartai politik dalam dua hajatan politik besar itu
guna mencari dukungan masyarakat akan semakin keras. Bukan tidak mungkin, bisa
terjadi persaingan yang tidak sehat guna mencari dukungan dan simpati.
Oleh karena itu, tentu sangat tepat bagi Presiden selaku
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mengingatkan hal penting terkait etika
politik. Wajar dan relevan masalah etika (dan moral) politik diutarakan
sehingga menjadi pedoman bagi para kader, terutama calon legislatif (caleg)
yang akan bertarung menjadi anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Mengapa etika politik begitu penting? Menurut Ruslani (Kompas,
6/10/2006), ada tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya
suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan
ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau
peraturan perundangan. Di sinilah letak celah, di mana etika politik dapat
berbicara dengan otoritas.
Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik
yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan
membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan).
Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan
korban adalah berita duka bagi etika politik.
Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang
berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang
mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak
mengacu pada etika politik. Pernyataan “perubahan harus konstitusional”
menunjukkan bahwa etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik,
bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan
membangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik ini membantu
menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan
struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini, pengertian etika politik
mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain;
(2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan (3) membangun institusi-institusi
yang adil.
Hemat saya, arahan dan peringatan Presiden terkait etika
dan tata krama politik tetap relevan jika diletakkan dalam konteks Pemilu 2009.
Dengan demikian, kita mampu menyukseskan hajatan politik besar itu kemudian
menghasilkan pemimpin yang menempatkan rakyat kiblat pengabdiannya. Bukan
pemimpin yang berfoya-foya dengan miliaran rupiah hasil korupsi. Bukan pula
pemimpin yang mengiming-imingi para petani sederhana dan bersahaja, misalnya,
untuk tinggal di apartemen mewah lengkap dengan perabotnya sebagai buntut
perselingkuhan politik dengan investor. Atau pemimpin yang berambisi gede menjual tanah ulayat masyarakatnya
kepada calon investor tanpa sepengetahuan pemilik.
Sumber: Flores Pos, 17 Desember 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!