Selama tiga puluh tahun jadi guru mereka kerap pindah dari satu kampung ke kampung lain. Urusan gereja pun tak lepas dari tugas pokok. Mereka memahami bahwa profesi guru adalah panggilan jiwa.
“KITA bisa pintar menulis dan membaca karena siapa? Kita bisa pandai beraneka bidang ilmu dari siapa? Kita bisa pintar dibimbing Pak Guru. Kita bisa pandai dibimbing Bu Guru. Guru bak pelita penerang dalam gulita, jasamu tiada tara………”
Penggalan syair lagu yang pernah ditayangkan stasiun Pusat TVRI dari kawasan Senayan, Jakarta telah memantapkan langkah pasangan suami-istri (pasutri) Paulus Sari Kobun dan Edeltrudis Peni Burin untuk mengabdikan diri sebagai guru sekolah dasar (SD). Keduanya sudah bertugas selama tiga puluh tahun lebih di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Betapa tidak. Di saat banyak pilihan profesi yang diyakini menjanjikan kehidupan lebih sejahtera dari segi ekonomi, Pak Polus, -demikian Paulus Sari Kobun disapa- justru memantapkan pilihannya sebagai guru.
Sebuah profesi mulia yang bersinggungan langsung dengan pengembangan sumber daya manusia (human resources development). Padahal, dari segi ekonomi profesi guru justru tak banyak memberikan jaminan kemapanan ekonomi tetapi kepuasan batin.
Ia mengatakan, dari segi ekonomi profesi guru belum memberikan hasil memuaskan. Tapi secara pribadi keduanya mendapat kepuasan batin saat melihat banyak anak didik sampai bergelar sarjana dan mengabdi di tengah masyarakat.
“Kami benar-benar bahagia dan sangat bersyukur bila ada anak didik yang berhasil dan mengabdi di tengah masyarakat. Baik sebagai guru, petani, wiraswasta, imam, suster maupun bruder,” kata Pak Polus saat berbincang-bincang dengan penulis di aula Panti Asuhan Vincentius Putra, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis, 20/10 lalu.
Awal karir
Di sela-sela kesibukan mengikuti anjangsana ilmiah di Jakarta selama tiga hari (18 – 20/10) lalu, Kepala SDK Boto, Nagawutun, Lembata ini menceritakan perjalanan karirnya sebagai guru.
Pak Polus menuturkan, setelah menyelesaikan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Bhaktiarsa Maumere, kota Kabupaten Sikka, Pulau Flores pada 1974 ia kemudian langsung menjadi guru sekolah dasar (SD).
Kecintaan pada anak didik di kampungnya, Pulau Lembata yang saat itu masih terkebelakang mendorong ia pulang kampung dan menjadi guru Badan Penyelenggara Pendidikan (BP3) di SDK Tobiwutung, Kecamatan Ile Ape, Lembata. Ia memilih sekolah itu yang letaknya di bagian utara Pulau Lembata.
Nasib baik memihak pada guru kelahiran Desa Puor, Kecamatan Wulandoni, tahun 1954 ini. Hanya berselang setahun, pada 1975 ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan mendapat tugas baru di sekolah yang sama, SDK Tobiwutung.
Seiring perjalanan waktu, guru Polus memutuskan segera menikah. Keputusan ini diambil setelah ia menjalin cinta dengan gadis sekampung, Edeltrudis Peni Burin yang juga lulusan SPG.
Si Edel, -Edeltrudis Peni Burin- juga gadis desa yang jatuh cinta pada profesi guru. Ia anak seorang guru yang berjiwa seni dari keluarga besar yang banyak melahirkan wartawan. Sebut saja Karolus Kia Burin (kini PNS di Lembata), Vianey K Burin (kini anggota DPRD Lembata), dan Paulus Kopong Burin (redaktur harian Pos Kupang). Edel juga seorang guru berstatus PNS.
“Setelah berkenalan dan saling jatuh cinta, kami memutuskan menikah tahun 1978 di Gereja Santu Petrus Puor. Upacara pemberkatan dipimpin Pater Lambert Paji Seran, SVD. Pastor Lamber saat itu bertugas di Paroki Boto,” kata ayah empat anak: Ati, Evi, Hans, dan Linda Kobun.
Setelah hampir empat tahun mengabdi di SDK Tobiwutung yang terletak di pantai utara Pulau Lembata, pada awal Januari 1979 keduanya dipindahkan ke SDK Boto, Nagawutun yang terletak di pantai selatan. Tempat tugas baru ini berdekatan dengan kampungnya, Puor. Tugas di Boto mereka jalani hingga tahun 1996.
Loyalitas dan pengabdian yang mereka tunjukkan dalam tugas akhirnya dilirik pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Diknas) setempat. Mulai tahun 1996, misalnya, Paulus Sari Kobun diangkat menjadi Kepala SDK Liwulagang sampai tahun 2000. Sekolah ini terletak kurang lebih dua kilo meter dari Boto dan ditempuh dengan berjalan kaki.
Pasrah
Baginya, menjadi guru sebenarnya bukan suatu hal yang memberatkan. Ini terjadi karena ia menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. Tak ada yang berat karena sudah jadi panggilan jiwa.
Namun, satu hal yang membuatnya tak berdaya yakni saat menjadi Kepala SDK Liwulagang. Saat itu, ia jatuh sakit dan praktis tugas-tugas harian ditangani istri dan rekan gurunya. Selang beberapa lama, kesehatannya merosot akibat terserang malaria.
“Kondisi ini membuat saya pasrah dan khawatir dengan nasib anak didik. Apalagi, saya sebagai kepala sekolah yang bertanggung jawab atas kelangsungan kegiatan belajar mengajar. Saya berterima kasih kepada rekan-rekan guru karena solidaritas di antara kami begitu tinggi sehingga tugas-tugas saya bisa ditangani,” katanya.
Khawatir kondisi tubuhnya terus merosot, ia mengusulkan kepada Dinas Dikbud setempat untuk pindah ke Boto. Hal ini dimaksudkan agar ia bisa berobat secara rutin di poliklinik milik susteran SSpS. Pasalnya, di Liwulagang tak ada poliklinik ataupun petugas kesehatan.
“Setelah menunggu empat tahun, saya baru pindah di SDK Boto. Saya sangat bersyukur karena Tuhan selalu memberikan kesehatan bagi keluarga kami. Sejak 2000 hingga saat ini saya dipercayakan menjadi Kepala SDK Boto,” cerita Pak Polus.
Pengabdian selama tiga puluh tahun lebih membuat guru Polus dan istrinya makin memahami makna guru sebagai panggilan jiwa, panggilan hidup.
Baginya, guru juga sebuah profesi mulia. Menjadi guru ternyata membuat ia dan istrinya menolong anak yang tak tahu apa-apa menjadi tahu segalanya. Bahkan membuat anak didik pintar melebihi gurunya.
“Itulah kebanggaan saya dan istri. Kami bangga melihat banyak anak didik menjadi sarjana dengan berbagai disiplin ilmu dan mengabdi di tengah masyarakat. Itulah kepuasan batin kami sekalipun tinggal di desa,” katanya bangga.
Tak hanya itu. Ia bangga karena banyak anak didik mengabdikan diri di ladang Tuhan. Baik sebagai imam, suster, dan bruder. Mereka semua berkarya di dalam negeri dan juga di luar negeri sebagai misionaris.
“Rasanya kami tak bisa melukiskan dengan kata-kata manakala melihat begitu banyak anak didik menjadi berguna bagi orang lain. Hal ini pun terjadi setelah sebagai guru kami pun berusaha sekuat tenaga agar anak didik kami boleh berguna bagi orang lain di kemudian hari. Dan ternyata semuanya terjawab oleh kemurahan Tuhan,” timpal Edel Burin.
Banyak pengalaman bertemu dengan bekas anak didik, membuat keduanya nyaris tak mampu mengungkapkan kebahagiaan mereka dengan kata-kata. Misalnya, saat bertemu dengan bekas muridnya dari SDK Tobiwutung.
“Saat bertemu mereka langsung mencium tangan kami dan memperkenalkan diri sebagai bekas murid. Mereka bangga karena sudah meraih gelar sarjana. Saat itu kami pun baru teringat. Kami bangga karena usaha dan pengabdian kami telah membawa hasil menggembirakan. Begitu juga di Boto. Banyak anak didik yang bisa bekerja di Jakarta. Ada juga yang jadi guru dan mengabdi di Boto,” kata mereka bangga.
Sekolah dan gereja
Selain sebagai guru, pasutri ini juga disibukkan urusan gereja. Pak Polus, misalnya, pernah menjadi Ketua Mudika Paroki St Joseph Boto, Kecamatan Nagawutun, Lembata. Ia juga pernah menjadi Ketua Dewan Paroki Boto.
“Selain menjadi guru kami juga dituntut untuk ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan gereja. Menjadi pengurus gereja dan kemasyarakatan merupakan bagian tugas yang tak terpisahkan. Kegiatan-kegiatan ini membuat kami sangat bahagia karena masih dipercayakan untuk tugas seperti ini,” katanya.
Pasutri ini tetap bahagia karena tugas-tugas lain seperti ini merupakan sebuah realitas yang menuntut keterlibatan mereka sebagai umat di sela-sela tugas pokok mengajar. Mereka menyadari bahwa tugas guru bukan hanya di dalam ruang kelas tetapi juga saat berada di luar. Nah, ketika ditunaikan maka sangat membahagiakan karena menjadi bagian panggilan hidup, panggilan jiwa.
Di bidang olah raga dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya, mereka juga selalu ambil bagian. Pak Polus juga terlibat aktif dalam kegiatan pertandingan antarstasi di paroki menjelang Perayaan Paskah dan Natal.
“Saya sering menjadi kapten keseblasan dari Boto dalam pertandingan melawan keseblasan lain. Saya termasuk pemain inti bola volley dan bola kaki Persatuan Olahraga Labalimut (POL), klub dari Boto,” kenangnya.
Mereka juga masih menyisahkan waktu untuk mengerjakan kebun yang diberi masyarakat. Selain menanam padi, ada kebun yang ditanami kemiri, kopi, kelapa, dan tanaman-tanaman niaga lainnya. Setelah hampir puluhan tahun dirawat, kini sudah berbuah dan memberi hasil sehingga menambah penghasilan mereka sebagai guru.
Kebahagiaan itu menjadi lengkap ketika mereka berdua bersama para guru di parokinya yang terhimpun dalam Persatuan Guru dan Pegawai Paroki Boto, berkesempatan melakukan anjangsana ilmiah di Jakarta selama seminggu pada 17 – 20 Oktober 2005 lalu.
Mereka bisa mengunjungi tugu proklamasi di Jl Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Museum Lubang Buaya, Tugu Monumen Nasional (Monas) dan Museum Sejarah.
Anjangsana ilmiah itu terselenggara setelah mendapat restu Bupati dan DPRD Lembata. Oleh karena itu, melalui surat Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan dan Kebudayaan Lembata Nomor: UP.II / 647 / 5963 / 2005 yang ditandatangani Kadis Drs Payong Pukan Martinus, mereka melaksanakan anjangsana ilmiah di Jakarta.
“Kalau dulu kami selalu mengajarkan murid-murid tentang Tugu Monas atau Proklamasi, saat anjangsana ilmiah kami bisa melihat langsung,” kata Pak Polus yang dibenarkan sang istri, Edel Burin.
Keduanya sangat bahagia karena mereka bisa bertatap muka langsung dengan Kepala Pusat Kurikulum (Puskur) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas Dr Bambang Indrianto dan Dra Sri Sukabdia, pakar kurikulum nasional yang staf Dinas Pendidikan nasional (Diknas) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
Mereka mengunjungi sejumlah tempat bersejarah di Jakarta seperti tugu Proklamator RI di Jalan Proklamasi, Tugu Monas, Museum Sejarah, TMII. Selain itu, mereka juga mengunjungi sejumlah sekolah dan bertukar informasi tentang pendidikan. Misalnya, SDN 01 Jl Bondowwoso, Jakarta, SMPN 216 Jl Salemba Raya Jakarta, dan SDK St Joseph di Jl Kramat Raya, Jakarta untuk bertukar informasi tentang pelaksanaan pendidikan di sekolah masing-masing.
“Pengalaman langka ini yang sangat membahagiakan kami berdua. Saat berada di Jakarta rasanya seperti mimpi saja. Bak si pungguk merindukan bulan. Jakarta menyuguhkan kemajuan fisik yang begitu pesat. Sedang di desa kami hanya disuguhkan suara burung malam dan suasana keheningan khas desa. Kalau saja kemajuan teknologi menyentuh kami mungkin kami juga akan maju seperti orang kota,” ujar pasutri guru ini mengagumi Kota Jakarta.
Meski demikian mereka tetap komit menjalankan tugas sebagai guru. Baginya, kalau Tuhan memberi panjang umur mereka akan eksis di jalur pendidikan. Rasanya, tugas guru tak akan pernah selesai selama hayat masih dikandung badan.
“Ya. Kami harus kembali dengan rutinitas karena guru telah menjadi panggilan jiwa. Melalui profesi ini kami mengabdi sebagai warga yang cinta bangsa. Kami berharap agar Pemerintahan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Wakil Presiden Yusuf Kalla senantiasa memperhatikan nasib kami sebagai guru yang jauh tinggal di desa demi sebuah tugas mulia,” kata guru Polus yang diikuti senyum sang istri tercinta. Selamat bertugas Bapak dan Ibu guru. Jasamu tiada tara.
Ansel Deri
Ket. foto: Paulus Sari Kobun dan Edeltrudis Peni Burin.
Sumber: Majalah HIDUP Jakarta
Teks dan foto: Ansel Deri
Sumber: Majalah HIDUP Jakarta
Teks dan foto: Ansel Deri
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!