Oleh Boni Hargens
Penulis,
mengajar Ilmu Politik di UI;
Direktur Lingkar
Pemilih Indonesia
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Taman
Margasatwa Ragunan Jakarta atau Kebun Binatang Ragunan (Kompas, 5/1).
Sebelumnya, Jumat (2/1), Wakil Presiden Jusuf Kalla mendatangi Bali Safari and
Marine Park di Gianyar, Bali.
”Dalam sebuah
negara demokrasi, pemimpin tidak cukup hanya membaca buku, tetapi juga harus
turun dan menemui rakyat di jalanan. Itu hanya kiasan. Artinya, setelah saya
bermitra dengan DPR dan lembaga-lembaga lainnya dalam pemerintahan, saya juga
harus sering datang untuk menemui rakyat,” kata Presiden. ”Tujuan lain, saya
ingin mengecek sejauh mana dampak krisis keuangan global di masyarakat. Salah
satu ukuran untuk mengetahui itu adalah mengunjungi tempat keramaian. Apakah
tempat itu makin ramai atau sebaliknya sepi. Ternyata, dari kunjungan dan
laporan, tahun ini jumlahnya justru meningkat.”
Presiden melihat
ada perputaran perekonomian dengan meningkatnya pengunjung Ragunan dari 85.000
pada tahun lalu menjadi 113.000 pada tahun ini.
Dua hal perlu
digarisbawahi. Pertama, SBY menemui rakyat. Kedua, ramainya tempat wisata
berarti ekonomi berputar. Soal lokasi, apakah Ragunan atau Gianyar-nya Jusuf
Kalla representatif? Apakah adekuat pengunjung wisata disimpulkan sebagai
representasi dari 220 juta rakyat? Di mana posisi mereka yang mendekam di rumah
pada hari libur karena tak mampu mendanai liburan di mata Presiden? Di mana
posisi mereka yang sibuk di jalanan, di sawah, atau di laut mencari makan di
hari raya? Bila dilihat dengan hati, tak ada kata libur dalam kamus hidup orang
miskin. Mereka tak butuh liburan, mereka butuh makan.
Dibutuhkan
kebijaksanaan untuk membedakan, mana rakyat yang mampu dan mana yang tak mampu.
Menggeneralisasi seluruh rakyat dengan hanya melihat mereka yang mampu adalah
ketidakbijaksanaan. Setidaknya, ada tendensi melupakan mereka yang bergumul di
desa-desa atau berkeringat di kota-kota untuk sebuah hidup yang layak.
Jadi, SBY-JK telah
keliru menentukan tempat berlibur jika benar menemui rakyat sebagai misi
intensional.
Berikut, soal
keramaian sebagai parameter ekonomi berputar. Selain diperlukan kajian khusus
tentang signifikansi korelasi antara keramaian wisata dan perputaran ekonomi,
tesis Presiden ini memperpanjang deret kontroversi. Dulu, saat Lebaran, SBY
bilang, ”Sekarang ini makin sedikit penduduk miskin di Indonesia. Buktinya,
dulu orang mudik Lebaran naik kereta api, sekarang mereka naik motor.”
Kontroversi dilengkapi JK. ”Kemacetan di Jakarta bukti bahwa orang Indonesia
makin kaya. Makin banyak yang mampu beli mobil,” kata Wakil Presiden.
Di lain kesempatan,
JK berbicara listrik. ”Krisis listrik bukan disebabkan kurangnya pasokan,
tetapi justru karena permintaan listrik meningkat karena rakyat banyak yang
pakai AC. Itu tandanya makin sejahtera.”
Dua bentuk
Pada dirinya,
prinsip demokrasi mengandung dilema. Prinsip mayoritas adalah kekuatan,
sekaligus kelemahan. Jack Lively (1975) atau James S Fishkin (1979) mengulas
dengan cerdas soal ”tirani mayoritas” sebagai kelemahan demokrasi. Dikatakan,
prinsip mayoritas secara natural melahirkan tirani ketika yang dimutlakkan
adalah suara terbanyak, bukan prinsip benar-salah. Contoh paling tua,
pengadilan Socrates di Athena pada abad ke-5 SM. Socrates dihukum mati bukan
karena ia salah, melainkan karena mayoritas memvonis ia salah.
Untuk konteks
Indonesia, tirani demokrasi muncul dalam dua bentuk, yakni tirani legitimasi
dan tirani popularitas. Tirani legitimasi mengacu pada sikap politik ’kebal
kritik’ yang dipamerkan pemerintah atau wakil rakyat yang dipilih secara
langsung. Sebagai implikasi, proses politik berlangsung secara monolitik.
Selanjutnya, tirani popularitas mengacu pada penekanan berlebihan pada aspek
citra sehingga kinerja dinomorsekiankan. Popularitas diutamakan sedemikian rupa
sehingga implementasi politik hanyalah sebuah aksi tebar pesona. Indikasi lain
tirani popularitas adalah ramainya para selebriti masuk dunia politik. Bahkan,
pelaku politik yang tak dikenal pun sibuk memopulerkan diri.
Betul, dalam
politik citra penting. Namun, ketika citra dijadikan tujuan, seluruh nilai
luhur politik dikesampingkan dengan sendirinya. Integritas dan kualitas pun tak
lagi diperhatikan demi sebuah popularitas. Politics as popularity contest,
politik sekadar kontes popularitas, tulis Elie Friedman dari Netanya Academic
College di Jerusalem Post (3/12/2008). Friedman selaras dengan Ken Black,
seorang kolumnis di harian Times-Republican di Iowa, AS. Black mengatakan,
politik yang berkaitan dengan integritas hanyalah omongan kosong di bangku
sekolah dasar ketika kita memilih ketua kelas. Politik yang sesungguhnya
menyangkut siapa yang paling banyak menyebar striker dan membagikan pin.
Politik adalah urusan siapa yang paling populer (2/11/2008).
Tirani ganda tengah
menghantui kita. Pemilu 2009 akan sulit bermutu, apalagi untuk diharapkan
sebagai titik balik pembangunan demokrasi, jika pelaku politik masih
menempatkan popularitas di atas integritas. Siapa pun, dari partai apa pun,
sulit menjadi pemimpin sejati bila legitimasi yang didapat dalam pemilu
langsung dijadikan dasar berbuat semaunya dan menolak segala bentuk kritik dan
kontrol.
Tirani ganda ini
hanya mungkin dihindari dengan ketajaman setiap kita dalam memilah dan memilih
para calon pemimpin dalam pemilu. Untuk itu, dibutuhkan informasi lengkap dan
pertimbangan moral dalam menentukan pilihan.
Sumber: Kompas, 7 Januari 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!