Headlines News :
Home » » Tirani Ganda Demokrasi

Tirani Ganda Demokrasi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, January 08, 2009 | 11:06 AM

Oleh Boni Hargens
Penulis, mengajar Ilmu Politik di UI;
Direktur Lingkar Pemilih Indonesia

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Taman Margasatwa Ragunan Jakarta atau Kebun Binatang Ragunan (Kompas, 5/1). Sebelumnya, Jumat (2/1), Wakil Presiden Jusuf Kalla mendatangi Bali Safari and Marine Park di Gianyar, Bali.

”Dalam sebuah negara demokrasi, pemimpin tidak cukup hanya membaca buku, tetapi juga harus turun dan menemui rakyat di jalanan. Itu hanya kiasan. Artinya, setelah saya bermitra dengan DPR dan lembaga-lembaga lainnya dalam pemerintahan, saya juga harus sering datang untuk menemui rakyat,” kata Presiden. ”Tujuan lain, saya ingin mengecek sejauh mana dampak krisis keuangan global di masyarakat. Salah satu ukuran untuk mengetahui itu adalah mengunjungi tempat keramaian. Apakah tempat itu makin ramai atau sebaliknya sepi. Ternyata, dari kunjungan dan laporan, tahun ini jumlahnya justru meningkat.”

Presiden melihat ada perputaran perekonomian dengan meningkatnya pengunjung Ragunan dari 85.000 pada tahun lalu menjadi 113.000 pada tahun ini.

Dua hal perlu digarisbawahi. Pertama, SBY menemui rakyat. Kedua, ramainya tempat wisata berarti ekonomi berputar. Soal lokasi, apakah Ragunan atau Gianyar-nya Jusuf Kalla representatif? Apakah adekuat pengunjung wisata disimpulkan sebagai representasi dari 220 juta rakyat? Di mana posisi mereka yang mendekam di rumah pada hari libur karena tak mampu mendanai liburan di mata Presiden? Di mana posisi mereka yang sibuk di jalanan, di sawah, atau di laut mencari makan di hari raya? Bila dilihat dengan hati, tak ada kata libur dalam kamus hidup orang miskin. Mereka tak butuh liburan, mereka butuh makan.

Dibutuhkan kebijaksanaan untuk membedakan, mana rakyat yang mampu dan mana yang tak mampu. Menggeneralisasi seluruh rakyat dengan hanya melihat mereka yang mampu adalah ketidakbijaksanaan. Setidaknya, ada tendensi melupakan mereka yang bergumul di desa-desa atau berkeringat di kota-kota untuk sebuah hidup yang layak.

Jadi, SBY-JK telah keliru menentukan tempat berlibur jika benar menemui rakyat sebagai misi intensional.

Berikut, soal keramaian sebagai parameter ekonomi berputar. Selain diperlukan kajian khusus tentang signifikansi korelasi antara keramaian wisata dan perputaran ekonomi, tesis Presiden ini memperpanjang deret kontroversi. Dulu, saat Lebaran, SBY bilang, ”Sekarang ini makin sedikit penduduk miskin di Indonesia. Buktinya, dulu orang mudik Lebaran naik kereta api, sekarang mereka naik motor.” Kontroversi dilengkapi JK. ”Kemacetan di Jakarta bukti bahwa orang Indonesia makin kaya. Makin banyak yang mampu beli mobil,” kata Wakil Presiden.

Di lain kesempatan, JK berbicara listrik. ”Krisis listrik bukan disebabkan kurangnya pasokan, tetapi justru karena permintaan listrik meningkat karena rakyat banyak yang pakai AC. Itu tandanya makin sejahtera.”

Dua bentuk

Pada dirinya, prinsip demokrasi mengandung dilema. Prinsip mayoritas adalah kekuatan, sekaligus kelemahan. Jack Lively (1975) atau James S Fishkin (1979) mengulas dengan cerdas soal ”tirani mayoritas” sebagai kelemahan demokrasi. Dikatakan, prinsip mayoritas secara natural melahirkan tirani ketika yang dimutlakkan adalah suara terbanyak, bukan prinsip benar-salah. Contoh paling tua, pengadilan Socrates di Athena pada abad ke-5 SM. Socrates dihukum mati bukan karena ia salah, melainkan karena mayoritas memvonis ia salah.

Untuk konteks Indonesia, tirani demokrasi muncul dalam dua bentuk, yakni tirani legitimasi dan tirani popularitas. Tirani legitimasi mengacu pada sikap politik ’kebal kritik’ yang dipamerkan pemerintah atau wakil rakyat yang dipilih secara langsung. Sebagai implikasi, proses politik berlangsung secara monolitik. Selanjutnya, tirani popularitas mengacu pada penekanan berlebihan pada aspek citra sehingga kinerja dinomorsekiankan. Popularitas diutamakan sedemikian rupa sehingga implementasi politik hanyalah sebuah aksi tebar pesona. Indikasi lain tirani popularitas adalah ramainya para selebriti masuk dunia politik. Bahkan, pelaku politik yang tak dikenal pun sibuk memopulerkan diri.

Betul, dalam politik citra penting. Namun, ketika citra dijadikan tujuan, seluruh nilai luhur politik dikesampingkan dengan sendirinya. Integritas dan kualitas pun tak lagi diperhatikan demi sebuah popularitas. Politics as popularity contest, politik sekadar kontes popularitas, tulis Elie Friedman dari Netanya Academic College di Jerusalem Post (3/12/2008). Friedman selaras dengan Ken Black, seorang kolumnis di harian Times-Republican di Iowa, AS. Black mengatakan, politik yang berkaitan dengan integritas hanyalah omongan kosong di bangku sekolah dasar ketika kita memilih ketua kelas. Politik yang sesungguhnya menyangkut siapa yang paling banyak menyebar striker dan membagikan pin. Politik adalah urusan siapa yang paling populer (2/11/2008).

Tirani ganda tengah menghantui kita. Pemilu 2009 akan sulit bermutu, apalagi untuk diharapkan sebagai titik balik pembangunan demokrasi, jika pelaku politik masih menempatkan popularitas di atas integritas. Siapa pun, dari partai apa pun, sulit menjadi pemimpin sejati bila legitimasi yang didapat dalam pemilu langsung dijadikan dasar berbuat semaunya dan menolak segala bentuk kritik dan kontrol.

Tirani ganda ini hanya mungkin dihindari dengan ketajaman setiap kita dalam memilah dan memilih para calon pemimpin dalam pemilu. Untuk itu, dibutuhkan informasi lengkap dan pertimbangan moral dalam menentukan pilihan. 
Sumber: Kompas, 7 Januari 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger