Mahkamah Konstitusi akhirnya menganulir mekanisme penetapan calon anggota legislatif terpilih yang dianut UU No 10/2008 dan menggantinya dengan sistem suara terbanyak. Kedaulatan rakyat dipulihkan. Namun, adakah dampaknya bagi peningkatan kualitas para wakil rakyat dan lembaga perwakilan?
Terlepas dari berbagai kontroversi, inkonsistensi, dan ambivalensi partai-partai politik dalam menyikapi sistem suara terbanyak sejak UU tersebut dibahas di DPR, keputusan MK patut diapresiasi sebagai bentuk penghormatan terhadap suara rakyat. Keputusan tersebut tak hanya memutus mata rantai oligarki pimpinan partai dalam penetapan calon anggota legislatif (caleg), tetapi juga mendorong para caleg untuk bekerja keras meraih dukungan dan simpati publik.
Itu artinya pula, era berpangku tangan bagi pengurus partai yang umumnya berada di urutan teratas daftar caleg telah berakhir.
Pertanyaannya, apakah sistem suara terbanyak berkorelasi dengan meningkatnya kualitas akuntabilitas para wakil di satu pihak dan kualitas lembaga perwakilan di tingkat nasional/lokal (DPR/DPRD) di pihak lain?
Banyak faktor
Sistem penetapan caleg terpilih sebenarnya hanya salah satu dari banyak faktor yang memengaruhi kualitas akuntabilitas wakil rakyat dan parlemen. Sistem nomor urut bisa saja lebih baik apabila parpol-parpol peserta pemilu melakukan seleksi caleg secara transparan, partisipatif, dan demokratis. Artinya, urutan nama dalam daftar caleg disusun atas dasar kompetensi dan kualifikasi para caleg, bukan berdasarkan relasi personal caleg dengan pimpinan partai.
Akan tetapi, dalam situasi di mana sebagian daftar caleg disusun atas dasar selera subyektif pimpinan partai, kedekatan personal, dan kontribusi dana para caleg, sistem suara terbanyak merupakan pilihan terbaik. Namun, masih ada beberapa faktor lain agar pilihan rakyat atas dasar suara terbanyak berkontribusi pada peningkatan akuntabilitas para wakil dan parlemen.
Pertama, kualitas konstituen atau para pemilih. Pengetahuan konstituen tentang sosok para caleg turut menentukan kualitas hasil pilihan rakyat. Persoalannya, dalam era kebebasan pers dan informasi dewasa ini, terbuka peluang bagi para caleg yang memiliki dana besar untuk memanipulasi sosok dan profil ”asli” mereka. Maka, tidak mustahil jika sebagian yang terpilih adalah mereka yang belum tentu berpihak pada kepentingan rakyat.
Kedua, kualitas para caleg. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi caleg sebagian besar parpol di Tanah Air masih buruk. Gabungan faktor popularitas (artis atau figur publik), kemampuan finansial, dan kedekatan personal/keluarga caleg dengan pengurus partai, masih mendominasi penentuan caleg. Ini tentu berdampak pada kualitas wakil meski terpilih melalui suara terbanyak.
Ketiga, kualitas parpol peserta pemilu. Kecuali penetrasi masif tanda gambar, umbul-umbul, baliho, dan gambar diri para caleg yang mengepung seantero negeri dewasa ini, hampir-hampir tak pernah jelas, apa sesungguhnya yang ditawarkan parpol-parpol untuk memperbaiki bangsa kita. Partai-partai hanya merayu rakyat untuk mendukungnya tanpa program politik genuine yang benar-benar menjanjikan perubahan nasib rakyat.
Keempat, faktor teknis surat suara. Apabila 38 partai politik di setiap daerah pemilihan (3-10 kursi) mengajukan caleg untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam jumlah maksimal yang diperkenankan UU Pemilu (120 persen), maka setiap surat suara secara terpisah akan memuat 136-456 nama caleg. Belum termasuk caleg untuk lembaga DPD yang jumlahnya bervariasi di setiap provinsi. Itu artinya, pemilih harus mencontreng empat nama (masing-masing untuk DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) dari ratusan hingga lebih dari 1.000 nama caleg dalam surat suara. Ironisnya, pemilih hanya memiliki waktu beberapa menit di bilik suara untuk memutuskan pilihannya.
Momentum berubah
Dalam kondisi seperti diuraikan, suara terbanyak sebagai mekanisme penetapan caleg terpilih sebenarnya baru ”seteguk air” di tengah rimba persoalan peningkatan kualitas akuntabilitas para wakil dan lembaga perwakilan. Agenda besar bangsa ini berikutnya adalah mencari terobosan agar mekanisme suara terbanyak berkorelasi positif bagi peningkatan kualitas para wakil terpilih dan parlemen. Itu artinya, sosialisasi pemilu secara intensif dan pendidikan pemilih secara benar diperlukan agar rakyat semakin cerdas dalam menentukan pilihan politiknya.
Jika pemilih semakin cerdas, mekanisme suara terbanyak bisa menjadi momentum bagi rakyat untuk ”mengadili” para wakil dan partai yang tidak bertanggung jawab. Setelah menunggu hampir lima tahun, inilah saatnya rakyat bicara, memilih caleg dan atau partai yang dianggap lebih menjanjikan dibandingkan yang lain.
Karena itu, mekanisme suara terbanyak yang diputuskan MK semestinya menjadi momentum bagi parpol-parpol untuk berubah, dari sekadar ajang merebut kursi menjadi wadah perjuangan untuk mengubah nasib rakyat. Juga, momentum bagi para wakil dan partai-partai untuk berkaca: apa saja yang telah mereka perbuat untuk memperbaiki kehidupan kolektif.
Kalau para politisi dan partai tidak berubah, maka hampir tak ada kontribusi signifikan mekanisme suara terbanyak kecuali sekadar perbaikan prosedur demokrasi. Padahal, yang diperlukan negeri ini bukan hanya prosedur demokrasi, tetapi juga para wakil, parpol, dan parlemen yang lebih bertanggung jawab serta bekerja untuk rakyatnya.
Terlepas dari berbagai kontroversi, inkonsistensi, dan ambivalensi partai-partai politik dalam menyikapi sistem suara terbanyak sejak UU tersebut dibahas di DPR, keputusan MK patut diapresiasi sebagai bentuk penghormatan terhadap suara rakyat. Keputusan tersebut tak hanya memutus mata rantai oligarki pimpinan partai dalam penetapan calon anggota legislatif (caleg), tetapi juga mendorong para caleg untuk bekerja keras meraih dukungan dan simpati publik.
Itu artinya pula, era berpangku tangan bagi pengurus partai yang umumnya berada di urutan teratas daftar caleg telah berakhir.
Pertanyaannya, apakah sistem suara terbanyak berkorelasi dengan meningkatnya kualitas akuntabilitas para wakil di satu pihak dan kualitas lembaga perwakilan di tingkat nasional/lokal (DPR/DPRD) di pihak lain?
Banyak faktor
Sistem penetapan caleg terpilih sebenarnya hanya salah satu dari banyak faktor yang memengaruhi kualitas akuntabilitas wakil rakyat dan parlemen. Sistem nomor urut bisa saja lebih baik apabila parpol-parpol peserta pemilu melakukan seleksi caleg secara transparan, partisipatif, dan demokratis. Artinya, urutan nama dalam daftar caleg disusun atas dasar kompetensi dan kualifikasi para caleg, bukan berdasarkan relasi personal caleg dengan pimpinan partai.
Akan tetapi, dalam situasi di mana sebagian daftar caleg disusun atas dasar selera subyektif pimpinan partai, kedekatan personal, dan kontribusi dana para caleg, sistem suara terbanyak merupakan pilihan terbaik. Namun, masih ada beberapa faktor lain agar pilihan rakyat atas dasar suara terbanyak berkontribusi pada peningkatan akuntabilitas para wakil dan parlemen.
Pertama, kualitas konstituen atau para pemilih. Pengetahuan konstituen tentang sosok para caleg turut menentukan kualitas hasil pilihan rakyat. Persoalannya, dalam era kebebasan pers dan informasi dewasa ini, terbuka peluang bagi para caleg yang memiliki dana besar untuk memanipulasi sosok dan profil ”asli” mereka. Maka, tidak mustahil jika sebagian yang terpilih adalah mereka yang belum tentu berpihak pada kepentingan rakyat.
Kedua, kualitas para caleg. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi caleg sebagian besar parpol di Tanah Air masih buruk. Gabungan faktor popularitas (artis atau figur publik), kemampuan finansial, dan kedekatan personal/keluarga caleg dengan pengurus partai, masih mendominasi penentuan caleg. Ini tentu berdampak pada kualitas wakil meski terpilih melalui suara terbanyak.
Ketiga, kualitas parpol peserta pemilu. Kecuali penetrasi masif tanda gambar, umbul-umbul, baliho, dan gambar diri para caleg yang mengepung seantero negeri dewasa ini, hampir-hampir tak pernah jelas, apa sesungguhnya yang ditawarkan parpol-parpol untuk memperbaiki bangsa kita. Partai-partai hanya merayu rakyat untuk mendukungnya tanpa program politik genuine yang benar-benar menjanjikan perubahan nasib rakyat.
Keempat, faktor teknis surat suara. Apabila 38 partai politik di setiap daerah pemilihan (3-10 kursi) mengajukan caleg untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam jumlah maksimal yang diperkenankan UU Pemilu (120 persen), maka setiap surat suara secara terpisah akan memuat 136-456 nama caleg. Belum termasuk caleg untuk lembaga DPD yang jumlahnya bervariasi di setiap provinsi. Itu artinya, pemilih harus mencontreng empat nama (masing-masing untuk DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) dari ratusan hingga lebih dari 1.000 nama caleg dalam surat suara. Ironisnya, pemilih hanya memiliki waktu beberapa menit di bilik suara untuk memutuskan pilihannya.
Momentum berubah
Dalam kondisi seperti diuraikan, suara terbanyak sebagai mekanisme penetapan caleg terpilih sebenarnya baru ”seteguk air” di tengah rimba persoalan peningkatan kualitas akuntabilitas para wakil dan lembaga perwakilan. Agenda besar bangsa ini berikutnya adalah mencari terobosan agar mekanisme suara terbanyak berkorelasi positif bagi peningkatan kualitas para wakil terpilih dan parlemen. Itu artinya, sosialisasi pemilu secara intensif dan pendidikan pemilih secara benar diperlukan agar rakyat semakin cerdas dalam menentukan pilihan politiknya.
Jika pemilih semakin cerdas, mekanisme suara terbanyak bisa menjadi momentum bagi rakyat untuk ”mengadili” para wakil dan partai yang tidak bertanggung jawab. Setelah menunggu hampir lima tahun, inilah saatnya rakyat bicara, memilih caleg dan atau partai yang dianggap lebih menjanjikan dibandingkan yang lain.
Karena itu, mekanisme suara terbanyak yang diputuskan MK semestinya menjadi momentum bagi parpol-parpol untuk berubah, dari sekadar ajang merebut kursi menjadi wadah perjuangan untuk mengubah nasib rakyat. Juga, momentum bagi para wakil dan partai-partai untuk berkaca: apa saja yang telah mereka perbuat untuk memperbaiki kehidupan kolektif.
Kalau para politisi dan partai tidak berubah, maka hampir tak ada kontribusi signifikan mekanisme suara terbanyak kecuali sekadar perbaikan prosedur demokrasi. Padahal, yang diperlukan negeri ini bukan hanya prosedur demokrasi, tetapi juga para wakil, parpol, dan parlemen yang lebih bertanggung jawab serta bekerja untuk rakyatnya.
Syamsuddin Haris
Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
Sumber: Kompas, 5/1 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!