”Sesuai hakikatnya, seorang sastrawan dewasa ini tidak dapat memberi dirinya untuk melayani kepentingan mereka yang membuat sejarah; sebaliknya dia harus memenuhi kepentingan mereka yang menjadi korban sejarah. Jika tidak, dia mengkhianati diri dan keseniannya.”
Demikian penggalan bagian dari pidato Albert Camus saat menerima Hadiah Nobel Sastra di Oslo, 10 Desember 1957. Bagi Camus, seni bukan sebuah kesenangan yang dinikmati sendiri, melainkan ”satu sarana untuk menggugah sebanyak mungkin orang dengan cara menghadirkan di depan mereka satu gambaran dari penderitaan dan kegembiraan bersama”. Ia melihat ”keutamaan bidang karyanya senantiasa berakar pada dua kewajiban yang tidak mudah dipenuhi: menolak untuk menipu dan melawan penindasan”.
Jebakan sastra
”Menolak untuk menipu”, dengan pernyataan ini Camus memberikan arah untuk memahami dimensi fantasi dari karya sastra. Fantasi bukanlah tipuan dan lawan dari kebenaran. Dia adalah cara mengungkapkan kebenaran tentang kehidupan. Dalam fantasi, melalui tokoh dan kisah rekaan, dihadirkan gambaran tentang penderitaan dan kegembiraan. Sebuah karya seni, termasuk sastra, menyatakan bahwa kebenaran kehidupan itu jauh lebih berwarna-warni daripada hitam putih. Dan karya sastra yang juga hitam putih adalah pembohongan.
Pembohongan dapat terjadi atas dua alasan. Pertama adalah indoktrinasi. Sastra menjadi sarana pembohongan publik ketika dia membiarkan diri diperalat oleh ideologi sebagai sarana indoktrinasi. Dalam indoktrinasi terjadi penyederhanaan konsep tentang kehidupan dengan kategorisasi baik-buruk, kawan-lawan. Karena itu, ideologi cenderung menindas keanekaan pandangan dan gaya hidup. Kedua, sentimentalisme. Karena terlampau kuat dipengaruhi oleh rasa takjub atau dibelenggu oleh amarah, seorang sastrawan menjadi tidak realistis terhadap kehidupan dan berlaku tidak adil di hadapan banyak manusia.
Membaca Lembata, Sebuah Novel karya F Rahardi memberi kesan, betapa penulis berjuang keras untuk tidak terjebak dalam belenggu ideologi dan ditelan jurang sentimentalisme. Temanya jelas, yakni mengkritisi peran gereja Katolik sebagai satu komunitas agama yang dianut mayoritas warga pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dalam napas seperti ini, seorang penulis bisa saja hanyut dalam arus kritik yang dilancarkan ke alamat lembaga-lembaga agama, termasuk gereja Katolik. Agama dinilai sebagai pembentuk kesadaran yang salah. Tidak sedikit yang menilai agama sebagai kolaborator dari agen-agen penindasan. Novel ini mengangkat permasalahan hosti dan anggur yang digunakan di dalam perayaan ekaristi gereja Katolik, yang bahannya didatangkan dari luar negeri.
Tema-tema sampingan yang disentil di dalam novel ini pun penuh muatan kontroversial, seperti selibat dan hierarkisisme dalam gereja Katolik. Di tengah derasnya arus kontroversi seperti ini, ada godaan besar untuk memaparkan kebobrokan dalam gaya hitam putih, atau mengambil sikap membela bernuansa ideologis.
Penulis berhasil menampilkan sebuah gambaran yang berwarna-warni tentang kehidupan gereja dan masyarakat Lembata. Dia membuka tirai prasangka untuk dapat menatap sebuah panorama yang tidak sehomogen yang dibayangkan. Di satu pihak ada uskup yang boleh jadi karena tradisi dan tekanan keadaan merasa terpaksa menjadi mitra yang patuh dari pemerintah dan pengusaha. Di lain pihak ada Pedro, romo Deken Lembata, pastor Alex dan Zebua, empat imam yang bertugas di Lembata, yang memiliki keprihatinan sosial dan bersikap terbuka.
Dengan pemaparan gaya ini, Rahardi tidak meninggalkan Pedro, sang mantan pastor, sendirian. Dia mendapat bantuan dari beberapa rekan pastornya, bukan sekadar karena belas kasih kemanusiaan yang menggugah, melainkan karena keyakinan yang sama akan pentingnya komitmen terhadap upaya perbaikan kualitas kehidupan masyarakat.
Cerdik
Sebuah kontras dibangun secara cerdik untuk memberi bingkai yang menegangkan bagi isi kisah yang provokatif. Ola jatuh cinta kepada Pedro, teman mahasiswanya di Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya Jakarta. Pedro adalah seorang pastor yang baru menyelesaikan studi ekonomi itu tampangnya ganteng, pikirannya cemerlang, pergaulannya luwes. Masalahnya, dia sangat yakin akan ketepatan pilihan hidup selibat sebagai imam.
Ola bukan gadis sembarangan, mudah bergaul dan pandai menjalin lobi. Dia putri tunggal seorang pengusaha kaya yang memiliki jaringan usaha internasional. Semua keinginannya dipenuhi. Cuma dia harus menghadapi kerasnya hati Pedro. Berbagai jalan dan cara ditempuhnya. Dia bersedia ke Flores, juga ke Lembata, malahan sampai ke Aliuroba, kampung kecil di bagian timur Lembata, tempat tugas Pedro.
Kisah tentang relasi ini, yang dilukiskan secara ekstensif, dapat menjadi pintu masuk untuk melihat sebuah realitas di dalam gereja Katolik, tetapi juga di dalam agama-agama lain. Sikap dingin yang ditunjukkan pemimpin keuskupan dan penolakan dari pihak keluarga Pedro menunjukkan betapa orang-orang beragama, di sini orang-orang Katolik, cenderung menyempitkan penilaian moralnya dari perspektif seksualitas. Dengan ini orang beragama menempatkan moral sosial pada urutan kesekian.
Ada banyak ironi dalam hidup, juga di dalam novel ini. Setelah melakukan sebuah tindakan fatal pada kesempatan perayaan ibadat, Pedro mengambil keputusan untuk melepaskan jabatan sebagai imam dan mulai berusaha sendiri menanam anggur dan gandum di Lembata. Setelah usaha ini membawa hasil, ternyata gereja berubah sikap. Ini justru terjadi pada satu momen, ketika ia tidak dibutuhkan lagi. Sebuah institusi besar bisa berubah, tetapi sering itu terjadi ketika kondisi sekitar sudah berubah seluruhnya dan tidak lagi membutuhkan perubahan.
Yang lamban berubah ternyata bukan satu lembaga agama. Seorang manusia pun dapat sangat pelan berubah. Rahardi menunjukkan ini dalam sosok Ola. Dia tetap pada sikapnya, mencintai Pedro. Sangat perlahan dia sampai pada keyakinan bahwa cinta tidak mesti sama dengan seks. Setelah berubah sikap, dia menjadi penyelamat bagi Pedro dan masyarakat Lembata yang sedang mencari jalan untuk memasarkan anggur dan gandumnya.
Sampai di sini Rahardi gagal menyajikan karya sastra—apa yang disebut Albert Camus—sebagai gambaran penderitaan dan kegembiraan dunia. Kedatangan Ola sebagai penyelamat di tengah sebuah situasi yang demikian krusial untuk seluruh proyek hidup Pedro terlalu bersifat kebetulan. Orang Jerman akan berkata: ”Es ist zu schön, um wahr zu sein”, ini terlalu indah untuk bisa menjadi kenyataan.
Demikian penggalan bagian dari pidato Albert Camus saat menerima Hadiah Nobel Sastra di Oslo, 10 Desember 1957. Bagi Camus, seni bukan sebuah kesenangan yang dinikmati sendiri, melainkan ”satu sarana untuk menggugah sebanyak mungkin orang dengan cara menghadirkan di depan mereka satu gambaran dari penderitaan dan kegembiraan bersama”. Ia melihat ”keutamaan bidang karyanya senantiasa berakar pada dua kewajiban yang tidak mudah dipenuhi: menolak untuk menipu dan melawan penindasan”.
Jebakan sastra
”Menolak untuk menipu”, dengan pernyataan ini Camus memberikan arah untuk memahami dimensi fantasi dari karya sastra. Fantasi bukanlah tipuan dan lawan dari kebenaran. Dia adalah cara mengungkapkan kebenaran tentang kehidupan. Dalam fantasi, melalui tokoh dan kisah rekaan, dihadirkan gambaran tentang penderitaan dan kegembiraan. Sebuah karya seni, termasuk sastra, menyatakan bahwa kebenaran kehidupan itu jauh lebih berwarna-warni daripada hitam putih. Dan karya sastra yang juga hitam putih adalah pembohongan.
Pembohongan dapat terjadi atas dua alasan. Pertama adalah indoktrinasi. Sastra menjadi sarana pembohongan publik ketika dia membiarkan diri diperalat oleh ideologi sebagai sarana indoktrinasi. Dalam indoktrinasi terjadi penyederhanaan konsep tentang kehidupan dengan kategorisasi baik-buruk, kawan-lawan. Karena itu, ideologi cenderung menindas keanekaan pandangan dan gaya hidup. Kedua, sentimentalisme. Karena terlampau kuat dipengaruhi oleh rasa takjub atau dibelenggu oleh amarah, seorang sastrawan menjadi tidak realistis terhadap kehidupan dan berlaku tidak adil di hadapan banyak manusia.
Membaca Lembata, Sebuah Novel karya F Rahardi memberi kesan, betapa penulis berjuang keras untuk tidak terjebak dalam belenggu ideologi dan ditelan jurang sentimentalisme. Temanya jelas, yakni mengkritisi peran gereja Katolik sebagai satu komunitas agama yang dianut mayoritas warga pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dalam napas seperti ini, seorang penulis bisa saja hanyut dalam arus kritik yang dilancarkan ke alamat lembaga-lembaga agama, termasuk gereja Katolik. Agama dinilai sebagai pembentuk kesadaran yang salah. Tidak sedikit yang menilai agama sebagai kolaborator dari agen-agen penindasan. Novel ini mengangkat permasalahan hosti dan anggur yang digunakan di dalam perayaan ekaristi gereja Katolik, yang bahannya didatangkan dari luar negeri.
Tema-tema sampingan yang disentil di dalam novel ini pun penuh muatan kontroversial, seperti selibat dan hierarkisisme dalam gereja Katolik. Di tengah derasnya arus kontroversi seperti ini, ada godaan besar untuk memaparkan kebobrokan dalam gaya hitam putih, atau mengambil sikap membela bernuansa ideologis.
Penulis berhasil menampilkan sebuah gambaran yang berwarna-warni tentang kehidupan gereja dan masyarakat Lembata. Dia membuka tirai prasangka untuk dapat menatap sebuah panorama yang tidak sehomogen yang dibayangkan. Di satu pihak ada uskup yang boleh jadi karena tradisi dan tekanan keadaan merasa terpaksa menjadi mitra yang patuh dari pemerintah dan pengusaha. Di lain pihak ada Pedro, romo Deken Lembata, pastor Alex dan Zebua, empat imam yang bertugas di Lembata, yang memiliki keprihatinan sosial dan bersikap terbuka.
Dengan pemaparan gaya ini, Rahardi tidak meninggalkan Pedro, sang mantan pastor, sendirian. Dia mendapat bantuan dari beberapa rekan pastornya, bukan sekadar karena belas kasih kemanusiaan yang menggugah, melainkan karena keyakinan yang sama akan pentingnya komitmen terhadap upaya perbaikan kualitas kehidupan masyarakat.
Cerdik
Sebuah kontras dibangun secara cerdik untuk memberi bingkai yang menegangkan bagi isi kisah yang provokatif. Ola jatuh cinta kepada Pedro, teman mahasiswanya di Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya Jakarta. Pedro adalah seorang pastor yang baru menyelesaikan studi ekonomi itu tampangnya ganteng, pikirannya cemerlang, pergaulannya luwes. Masalahnya, dia sangat yakin akan ketepatan pilihan hidup selibat sebagai imam.
Ola bukan gadis sembarangan, mudah bergaul dan pandai menjalin lobi. Dia putri tunggal seorang pengusaha kaya yang memiliki jaringan usaha internasional. Semua keinginannya dipenuhi. Cuma dia harus menghadapi kerasnya hati Pedro. Berbagai jalan dan cara ditempuhnya. Dia bersedia ke Flores, juga ke Lembata, malahan sampai ke Aliuroba, kampung kecil di bagian timur Lembata, tempat tugas Pedro.
Kisah tentang relasi ini, yang dilukiskan secara ekstensif, dapat menjadi pintu masuk untuk melihat sebuah realitas di dalam gereja Katolik, tetapi juga di dalam agama-agama lain. Sikap dingin yang ditunjukkan pemimpin keuskupan dan penolakan dari pihak keluarga Pedro menunjukkan betapa orang-orang beragama, di sini orang-orang Katolik, cenderung menyempitkan penilaian moralnya dari perspektif seksualitas. Dengan ini orang beragama menempatkan moral sosial pada urutan kesekian.
Ada banyak ironi dalam hidup, juga di dalam novel ini. Setelah melakukan sebuah tindakan fatal pada kesempatan perayaan ibadat, Pedro mengambil keputusan untuk melepaskan jabatan sebagai imam dan mulai berusaha sendiri menanam anggur dan gandum di Lembata. Setelah usaha ini membawa hasil, ternyata gereja berubah sikap. Ini justru terjadi pada satu momen, ketika ia tidak dibutuhkan lagi. Sebuah institusi besar bisa berubah, tetapi sering itu terjadi ketika kondisi sekitar sudah berubah seluruhnya dan tidak lagi membutuhkan perubahan.
Yang lamban berubah ternyata bukan satu lembaga agama. Seorang manusia pun dapat sangat pelan berubah. Rahardi menunjukkan ini dalam sosok Ola. Dia tetap pada sikapnya, mencintai Pedro. Sangat perlahan dia sampai pada keyakinan bahwa cinta tidak mesti sama dengan seks. Setelah berubah sikap, dia menjadi penyelamat bagi Pedro dan masyarakat Lembata yang sedang mencari jalan untuk memasarkan anggur dan gandumnya.
Sampai di sini Rahardi gagal menyajikan karya sastra—apa yang disebut Albert Camus—sebagai gambaran penderitaan dan kegembiraan dunia. Kedatangan Ola sebagai penyelamat di tengah sebuah situasi yang demikian krusial untuk seluruh proyek hidup Pedro terlalu bersifat kebetulan. Orang Jerman akan berkata: ”Es ist zu schön, um wahr zu sein”, ini terlalu indah untuk bisa menjadi kenyataan.
Budi Kleden
dosen Teologi dan Sastra pada STFK Ledalero, Flores
dosen Teologi dan Sastra pada STFK Ledalero, Flores
Sumber: Kompas, 19 Juli 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!