Headlines News :
Home » » Indonesia Krisis Babu

Indonesia Krisis Babu

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, July 24, 2009 | 11:44 AM

Oleh Steph Tupeng Witin
Jurnalis & alumnus magister teologi 
STFK Ledalero, Maumere, Flores
 
JUDUL tulisan sederhana ini penulis pinjam dari mulut Maria Magdalena Pariyem, tokoh utama dalam prosa lirik "Pengakuan Pariyem" karya Linus Suryadi A.G. (KPG: Juni 2009). Menurut sang babu asal Wonosari, Gunung Kidul, ini Indonesia tidak hanya mengalami krisis bahan bakar minyak (BBM), tetapi krisis yang jauh lebih dalam adalah krisis babu. Menurut penuturan bahasa Pariyem, justru krisis babu inilah yang menyebabkan "negara ini kocar-kacir" (2009:30).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional melukiskan babu sebagai sosok perempuan yang bekerja sebagai pembantu (pelayan) di rumah tangga orang; pembantu rumah tangga; penata laksana rumah tangga. Babu ini bertugas mencuci dan menyetrika pakaian, membersihkan dan merapikan kamar, memasak makanan, dan menyusui anak (Gramedia: 2008, hlm 109). Maka, babu sesungguhnya identik dengan pelayan. Orang Latin menyebutnya dalam tiga jenis kata untuk membedakan jenis kelamin: servus (maskulinum/laki-laki), serva (femininum/perempuan) dan servum (neutrum/banci). Kata babu, pelayan, memiliki makna yang dekat dengan kata "hamba". Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan hamba sebagai "abdi" (2008: 477).

Hakikat babu, hamba, dan abdi dapat kita temukan dalam pemahaman warga Athena pada zaman Yunani kuno. Sebagaimana diketahui, Athena terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu oikos (rumah tangga) dan polis (negara-kota). Semua penduduk Athena menjadi kawula negara-kota, tetapi yang menjadi warga hanyalah anggota polis, yaitu laki-laki dewasa, berpendidikan, dan kaya sehingga tidak perlu menghabiskan waktu untuk mencari nafkah. Anggota polis berkonsentrasi pada urusan-urusan publik. Anggota oikos terdiri atas para budak, hamba sahaya, perempuan, dan anak-anak. Tugas pokoknya, menjalankan pekerjaan yang menjamin keperluan hidup anggota polis, agar anggota polis memiliki banyak waktu untuk mengurusi masalah-masalah politik dan kenegaraan (Bdk Kleden, Ignas "Negara dan Warga" dalam Negara Minus Nurani, Kompas: 2009, hlm 3-4). Maka, kita dapat mengatakan bahwa jati diri seorang babu, hamba, atau abdi adalah semangat mengabdi dan melayani. Pengabdian dan pelayanan itu bersumber dari hati nurani. Bukan pada jabatan, kuasa, dan uang. Ini sebuah tugas yang mulia, suci, dan bermartabat.

Tanggung jawab

Saat ini rakyat Indonesia tengah menunggu pengumuman resmi terkait dengan pemimpin lima tahun ke depan. Selama masa kampanye, masing-masing calon presiden-wakil presiden berlomba-lomba, dengan berbagai cara dan jalan, untuk mengkampanyekan dirinya sebagai babu, pelayan, dan abdi rakyat. Berbagai program, visi dan misi, selalu ditempeli kata "kerakyatan" untuk menunjukkan bahwa rakyat adalah sasaran akhir pengabdian, meski kampanye model yang sama telah terdengar pada lima tahun yang lalu dan akan kembali terulang pada lima tahun yang akan datang. Rakyat pasti tidak lagi merasa asing dengan kampanye-kampanye seperti ini. Boleh jadi rakyat akan merasa bosan dan apatis terhadap perilaku-perilaku kampanye "gombal" yang diarahkan untuk mengaduk-aduk dan membeli emosi rakyat. Rakyat sudah "kenyang" dengan berbagai pidato, kampanye panggung, dan debat yang menempatkan para calon presiden dan calon wakil presiden pada posisi yang ideal, kadang asing, dari realitas bangsa. Apalagi pidato, kampanye, dan debat hanya menjadi arena saling ejek, saling sindir, saling klaim kinerja, lalu menebar janji manis ke pundak rakyat yang tengah gelisah.

Bangsa ini telah lama mengembara dalam deraan krisis berkepanjangan. Deraan krisis ini tidak begitu gampang terselesaikan hanya melalui sebuah pidato berlimit waktu 8 menit. Apalagi pidato dan debat kadang tidak menggambarkan kedalaman dan kesungguhan para calon dalam memahami persoalan riil bangsa dan lebih menempatkan posisi presiden dan wakil presiden sebagai arena untuk berkuasa selama lima tahun.

Penulis sependapat dengan anggota tim sukses JK-Wiranto, Indra J. Piliang, dalam debat tim sukses di TV One, Selasa (23 Juni), yang mengatakan bahwa jabatan presiden atau wakil presiden bukan sebuah kebanggaan, melainkan sebuah tanggung jawab untuk mengabdi dan melayani rakyat bangsa ini. Inilah kerinduan terbesar rakyat bangsa ini yang sudah lama mengalami krisis kepemimpinan yang bertanggung jawab atas persoalan kesejahteraan. Dalam bahasa Maria Magdalena Pariyem, bangsa ini sudah lama dilanda krisis pemimpin yang berhati babu, pelayan, abdi, yang rela dan ikhlas menjadikan kekuasaannya sebagai medium untuk lebih terlibat intens dalam hidup rakyat dan membangun berdasarkan kondisi, kebutuhan, dan aspirasi rakyat.

Maka, mestinya dalam masa pengabdian lima tahun ke depan, semangat dan tanggung jawab untuk membangun dan melayani rakyat lebih dikedepankan. Tanggung jawab mulia untuk membangun dan melayani rakyat ini, jika bersumber pada keikhlasan hati, tidak akan melahirkan sinisme, sindiran, kampanye hitam, klaim kinerja, yang hanya semakin membangun apatisme, bahkan antipati, dari rakyat. Rakyat setiap saat telah lelah didera berbagai krisis dan persoalan hidup. Maka pemimpin terpilih diharapkan mengarahkan rakyat melalui program, visi, dan misi yang kian menebalkan rasa tanggung jawab terhadap kehidupan dan membangkitkan optimisme menuju masa depan bangsa.

Pemimpin yang simpatik dengan program pembangunan yang menggugah nurani rakyat akan diberi kepercayaan dan ruang untuk tampil menjadi babu, pelayan, dan abdi bangsa ini. Hanya dengan jalan inilah bangsa kita, insya Allah, mampu mengakhiri rentang waktu paceklik serta krisis babu, pelayan, dan abdi (baca: kepemimpinan yang melayani). Pemimpin yang berhati babu, pelayan, dan abdi rakyat akan melayani rakyat selama masa kepemimpinannya sebagai sebuah tanggung jawab yang tulus, suci, dan mulia. Pemimpin seperti ini tidak akan pernah berbangga akan diri karena keberhasilan yang telah ia torehkan pada lima tahun yang akan datang.
Sumber: Koran Tempo, 24 Juli 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger