Ia merasa berat meninggalkan orangtua dan saudaranya saat kapal merapat di dermaga Atapupu. “Ibu mengajak kami berdoa bersama sebelum saya naik ke atas kapal,” kata Ansel.
Tanggal 1 Februari 1982 menjadi peristiwa yang tak pernah dilupakan Anselmus Tallo, SE. Dalam hati dan pikiran Ansel, –demikian sapaan akrabnya- ia merasa lebih enjoy tinggal di kampung.
Mengabdi sebagai guru dan berada di tengah kebun usai sekolah memberi kepuasan tersendiri. Tapi, pada saat bersamaan panggilan mengejar ilmu selalu muncul. “Saat itu, saya naik kapal Ratu Rosari bertolak ke Surabaya. Saya benar-benar buta membayangkan Surabaya. Saya ini anak desa. Tiap hari tinggal di gunung. Apalagi tak pernah melihat laut,” kenang Ansel.
Ia juga merasa cemas karena harus melintasi laut lepas selama beberapa hari menuju Surabaya sebelum melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Ia juga harus siap terombang ambing di atas Ratu Rosari selama seminggu.
“Di dermaga ibu mengajak saya dan keluarga besar berdoa sebelum mereka melepaskan saya. Tepat pukul enam sore, saya bertolak. Saya tiba pada 6 Februari. Saya menginap di rumah paman selama sebulan. Bulan Maret 1982 saya naik kereta menuju Yogyakarta,” katanya.
Di kota pelajar itu, Ansel sempat mencoba mengikuti tes di UGM, UPN Veteran, dan Universitas Atmajaya. Ternyata, ia diterima di jurusan Ekonomi Akuntansi FE IKIP Sanata Dharma. Kesulitan mulai ia hadapi terutama uang kuliah. Pada tahun pertama, orangtuanya masih sempat mengirim uang. Sesudah itu mereka tak mengirim lagi secara rutin.
“Paling-paling 5–6 bulan baru dapat. Jumlahnya juga tak seberapa. Hanya Rp 25–30 ribu. Kondisi itu tak membuat saya putus asa. Saya mulai berusaha sendiri. Saat itu, saya sempat menjual tepung kopi yang saya beli dari Semarang. Kopi itu kemudian saya jual di kios-kios. Saya juga menjual soal-soal ujian Sipenmaru ke sejumlah SMA. Ternyata hasilnya lumayan untuk menambah uang kuliah dan biaya hidup,” ceritanya.
Miskin
Ansel Tallo lahir sebagai anak seorang petani miskin di Desa Loonuna, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu. Desa kecil yang masuk Paroki Nualaen, Keuskupan Atambua ini berada kurang lebih 60 km arah timur Atambua. Desa ini berbatasan langsung dengan Timor Leste.
Kemiskinan yang melilit, membuat Ansel nyaris tak berdaya melanjutkan sekolah. Ia akhirnya tinggal dengan pamannya setelah sambut baru. “Sejak 1968, saya dipiara paman di Atambua. Tahun 1973 saya kemudian disekolahkan di SDK I Atambua.
Teladan hidup keluarga paman membuat saya terbentuk sebagai anak yang rajin bekerja dan taat berdoa. Jujur saja. Dalam hidup sehari-hari, doa menjadi kekuatan paling besar. Sambil kipas api atau cari kayu bakar di hutan, saya selalu berdoa. Tak peduli kelak mau jadi apa,” kenangnya.
Ia juga sadar. Ia tak pernah menggantungkan banyak harapan dari kedua orangtua karena mereka tak punya harta warisan untuk bisa sekadar membantu pamannya. Setelah tamat SD, tahun 1974–1976 ia masih bisa melanjutkan sekolah di SMP Don Bosko Atambua. Semangat belajar pun tak pernah padam.
Setamat SMP, panggilan menjadi imam muncul sehingga ia masuk Seminari St Imakulata Lalian. Tapi, panggilan menjadi imam sebenarnya bukan karena motivasi dari dalam. Ia lebih tertarik dengan siswa seminaris karena mereka menguasai banyak bahasa. Mereka bisa berbicara Bahasa Inggris, Jerman, Latin, dan Belanda dengan fasih. Pada tahun 1970-an mereka juga sering mementaskan drama. Biasanya, penonton membludak.
“Dua drama yang masih saya ingat persis berjudul Setia Sampai Mati dan Hidup Adalah Mimpi. Drama itu menggugah perasaan kita yang saat masih kecil. Apalagi kalau kesebelasan mereka main bola kaki. Mereka pasti mengalahkan sekolah-sekolah lain di Atambua. Nah, itu yang memotivasi saya masuk seminari,” katanya.
Meski demikian, ia juga sadar bahwa hidup baik tidak harus jadi imam tetapi juga jadi awam yang baik. Saat lulus dari Seminari Lalian dan diterima masuk Seminari Tinggi Ritapiret, Maumere, Flores, tahun 1981, ia mengurungkan niatnya. Ia memilih menjadi guru sembari mewarisi pekerjaan ayahnya sebagai petani.
Aktif di Kampus
Kondisi keuangan yang seret tak membuat Ansel patah arang. Ia malah aktif di organisasi intra maupun ekstra kampus. Pernah aktif sebagai anggota Menwa IKIP Sanata Dharma. Sempat pula mengikuti pendidikan di Gombong pada Februari 1983 hingga menduduki posisi Bendahara Batalyon Gabungan 10 Yogyakara. Di luar kampus, ia aktif di PMKRI St Thomas Aquinas, Yogyakarta.
Dari sini ia akhirnya menjadi Ketua Delegasi PMKRI Thomas Aquinas mengikuti Kongres dan MPA di Sukolilo Mei 1984. Bersama rekan sedaerahnya, Yoseph Yapi Taum (kini dosen Universitas Sanata Dharma), tahun 1986, mereka menyelenggarakan Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar bagi mahasiswa Flobamora. Kegiatan ini sempat berjalan enam kali.
Setelah meninggalkan Yogyakarta, Ansel kembali ke kampungnya. Ia kemudian mengajar di SMAK Surya Atambua tahun 1988–1992. Pada saat bersamaan, tahun 1989 ia menikah dengan gadis pilihannya, Kristina Lika, S.Si di Katedral Atambua. Saat ini istrinya bekerja di Laboratorium Kesehatan NTT.
Keduanya dikaruniai empat orang anak. Mereka adalah Amandus Siong Tallo (kelas III SMAK Giovani Kupang), Gaudens Remaja Putra Tallo, Maria Gratsiana Yudi Tallo (SMPK St Agustinus Penfui), dan Maria Fatima Tallo.
Saat jadi guru, ia juga aktif di muda-mudi Katolik (Mudika). Baik di lingkungan maupun paroki. Sempat dipercaya menjadi ketua mudika lingkungan sebelum akhirnya menjadi Ketua Mudika Katedral Atambua. Kepercayaan terus mengalir.
Ia kemudian terpilih menjadi Ketua Pemuda Katolik Kabupaten Belu. Ia juga pernah menjadi Ketua KNPI Belu tahun 1992. Di tingkat provinsi, ia menjadi Wakil Ketua IV DPD Pemuda Katolik.
Organisasi Politik
Ansel Tallo juga menempa diri di sejumlah organisasi sosial politik. Tahun 1997, misalnya, ia sempat berniat menjadi pengurus Partai Golkar Belu. Namun, ia lebih tertarik bergabung dengan Partai Demokrasi Kasih Bangsa PDKB) Kota Kupang meski akhirnya keluar.
Pada 2003, ia menjadi Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPD Partai Demokrat NTT. Pada 2004 ia mendapat kepercayaan masyarakat Belu dan Timor Tengah Utara menjadi anggota DPRD NTT. Ia duduk di Komisi B yang membidangi masalah pembangunan.
Awal-awal menjadi anggota DPRD bukan perkara mudah. Ia merasa sangat berat. Ia sempat frustasi selama enam bulan pertama. Ia memberonak dalam hati karena masuk dalam satu wilayah yang lain sama sekali. Jika jadi guru dan dosen, obyektivitas menjadi idealisme perjuangan. Namun, masuk dalam ranah politik maka pertimbangannya pragmatisme.
“Saat itu saya mengalami gejolak batin luar biasa. Akhirnya, muncul dalam hati untuk berhenti dari anggota DPRD. Karena alam pragmatis dan alam obyektivitas adalah dua hal yang berbeda. Saya akhirnya diteguhkan beberapa pastor. Mereka mengatakan bahwa perahu yang baik itu adalah perahu yang berani menantang ombak besar. Bukan perahu yang menghindari ombak. Itu yang menguatkan saya setelah saya khusuk dalam doa bersama istri dan anak-anak,” ujar staf pengajar FE Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang ini.
Rasa frustasi juga bukan karena ia telah mengeluarkan banyak uang guna mendapat dukungan masyarakat. Saat masuk caleg saja tak ada jaminan. Ia hanya menyampaikan bahwa jika sudah jadi anggota Dewan dan diperiksa hartanya maka sangat mudah. Karena yang ia miliki hanya sebuah motor suzuki yang dibeli dengan harga Rp. 800 ribu.
Ia juga memiliki empat rumpun pisang di samping rumahnya. Berikut dua ekor anjing dan empat ekor ayam. Sedang rumahnya masih harus dicicil setiap bulan. “Saya tak pernah memberikan garansi apa-apa. Kami hanya memberi cinta dan kasih kami kepada masyarakat. Terus terang, semua ini terjadi karena keagungan dan kebesaran Tuhan. Saya percaya Tuhan akan bekerja secara tuntas dalam perkara ini karena kami percaya bagi Tuhan tidak ada yang mustahil,” katanya.
Arti Keluarga
Keluarga di mata Ansel sangat berarti. Keluarga tak lebih sebuah masyarakat kecil tempat setiap individu berinteraksi dengan orang lain. Baik antara suami dengan istri dan sebaliknya. Juga antara antara orangtua dan anak-anak. Keluarga juga menjadi tempat membina masyarakat kecil, terutama anak-anak.
Mereka adalah kepercayaan Tuhan yang nyata. Karena itu, ia dan istrinya selalu berdoa meminta petunjuk agar mampu membina anak-anak dengan baik. Ia juga mengarahkan anak-anaknya membaca Kitab Suci yang baik. Kotbah di gereja juga harus didengar dan disimak kemudian diambil intisarinya. Ia juga membiasakan anak-anak memberi persembahan saat Misa di gereja sekalipun hanya Rp. 100 atau 200. (Ansel Deri)
Sumber: HIDUP edisi 12 Juli 2009
Ket Foto: Ansel Tallo dan istrinya (1), Kristina Lika serta putra dan putrinya (2) di rumahnya, Penfui Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Blog yang bagus... semoga terus berkembang... Saya ingin berbagi artikel tentang Katedral di Florence di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2018/04/florence-di-piazza-del-duomo_11.html
ReplyDeleteLihatlah juga videonya di Youtube https://youtu.be/OVEs_zYK_FQ