Oleh Fidel Hardjo
Anggota Forum Diskusi Allesaja (Alumni Ledalero dan Simpatisannya Seantero Jagat)
Anggota Forum Diskusi Allesaja (Alumni Ledalero dan Simpatisannya Seantero Jagat)
TULISAN bersambung Abraham Runga Mali yang dipublikasikan di Pos Kupang (10-11/8/2009) sangat menarik untuk didiskusi lebih dalam. Kronologi historis pertambangan Flores diendusnya mulai dari negeri Belanda sampai di Las Vegas dan akhirnya sejarah itu jatuh di bumi Flores, dengan konklusi heroik: Jangan Asal Tolak. Pesan ini ibarat bom bunuh diri siap ledak. Apa kita mesti tutup mata dengan pesan Abraham Runga Mali yang terkesan moral hazard ini?
Dari dua tulisan Mali tak ubahnya mem-brainwashed orang Flores dan Lembata untuk melenggangkan aksi tambang. Setidaknya, tulisan Mali terkanjang kesan miris, orang Flores terlalu bodoh untuk menolak bisnis tambang. Sudah miskin tambah bodoh lagi. It is too stupid to refuse! Benarkah aksi penolakan tambang yang diprakarsai oleh gereja, LSM dan lembaga adat dinilai terlalu bodoh?
Pertama, Mali menulis bahwa eksplorasi pertambangan di Flores harus didasarkan pada studi ilmiah. Sangat setuju bung. Cuma, pernah Anda berpikir, secanggih apa pun kajian ilmiah tetap saja membawa 1001 risiko jika tambang terus digempar? Biasanya, ketika risiko tinggi tambang mulai membalut warga, maka studi ilmiah, investor, dan para pejabat adalah orang pertama cuci tangan.
Investor hanya meninggalkan satu wasiat: "Good bye Flores and see you no again". Inilah bencana tragis yang bakal diterima dan terwariskan kepada semua generasi Flores. Jangankan prediksi kondisi Flores seabad dari sekarang, tapi cukuplah setahun kemudian seperti iklan kecantikan 'before and after' tambang Flores akan bakal berubah lebih kejam dari neraka seperti yang dikisahkan dalam kitab suci. Inilah neraka yang siap dipaksa-pindahkan ke Flores.
Kalau Mali meneropong tambang Flores seabad kemudian, maka sebagai teropong sandingannya, bagaimana nasib Pulau Bunga seabad dari sekarang jika peluit ketel tambang ditiup dari sekarang? Belum tambang saja, air sudah susah, alam sudah cacat, apalagi setelah tambang. Terus, apa terlalu bodoh orang menolak tambang? Kera di hutan saja tahu selamatkan diri jika habitatnya terancam, apalagi manusia yang dikaruniai akal budi pasti lebih mulia aksinya.
Menolak tambang sedini mungkin adalah wise choice daripada dikubur pagi-pagi oleh investor tambang, yang sama sekali tidak mengubah keadaan orang Flores. Mestinya kita bersyukur masih ada orang yang menatap Flores ini bukan hanya seabad kemudian, tapi melampaui waktu dan zaman. Bukan sebaliknya, menuduh perjuangan kelompok ini sebagai pemberontak, pembandel dan provokator, apalagi diklaim sebagai banci alias takut bersaing dengan lembaga modern dan canggih.
Kedua, Mali dengan gebrak berlaga ide bahwa aksi-aksi penolakan pertambangan di Flores selama ini hanya didasarkan pada seruan-seruan profetis para pastor dan aktivis LSM yang menunjukkan kesan bahwa lembaga gereja dan adat takut bersaing dan takut kehilangan pamor menghadapi lembaga bisnis modern dan multinasional. Apakah pemaparan ide ini adalah hasil ramuan survai valid atau sekadar mengobati tangan yang gatal untuk menulis? Seribu sayang jika hal ini yang terjadi. Tetapi jika argumentasi ini lahir dari sebuah survai mendalam maka two thumbs up for you segera diacungkan.
Gagasan abortif ini mungkin perlu ditimbang serius sebelum terlampau kecolongan. Menurut kami, gereja di Flores dan NTT pada umumnya tidak pernah akan berusaha untuk menjadi 'pesaing' pemerintah atau lembaga pembangunan. Gereja adalah 'mitra' pemerintah, 'mitra' pembangunan. Berbicara tentang mitra, kita tidak hanya mengacu pada seseorang atau kelompok yang hanya bisa menjawab 'yes!' 'OK!' Itulah hakikat dari mitra sejati.
Seorang mitra sejati harus mampu memberikan kritik, bahkan yang keras dan pedas sekalipun terhadap mitra kerjanya. Gereja melakonkan perannya sebagai mitra kerja pemerintah dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan yang perlu dan bahkan mengeritik keras terhadap kebijakan pembangunan bila kebijakan tersebut berjalan timpang atau merugikan kaum kecil (orang Flores).
Dengan demikian pemerintah dibantu untuk menimbang rakyatnya lebih dulu daripada menimbang tambang. Karena "the poor should gain the most" dari hasil pembangunan itu. Selanjutnya, apakah gereja takut kehilangan pamornya di tengah masyarakat Flores dan NTT karena kehadiran lembaga bisnis modern? Ini pertanyaan yang sangat aneh karena bertolak dari adagium yang aneh pula.
Gereja tak perlu berusaha dan berkoar-koar meningkatkan pamornya agar bisa merebut simpati rakyat kecil di Flores dan NTT, karena gereja pada dasarnya berdiri dan bergerak di tengah kaum kecil. Gereja adalah bagian dari kaum kecil dan bersuara demi mereka. Gereja tak bersaing dengan pemerintah atau agen pembangunan mana pun. Sebaliknya gereja berjalan bersama pemerintah, memberikan pertimbangan kritis kepada pemerintah demi nasib rakyat kecil.
Ketiga, Mali mengajukan sebuah pertanyaan, 'Apakah semua bentuk pertambangan di Flores/NTT harus ditolak?' Anda sendiri telah menjawabnya dalam tulisan Anda. Kami hanya ingin menegaskan lagi bahwa semua bentuk pertambangan di Flores dan NTT harus ditolak. Tentu saja usaha penolakan ini tidak bersifat kekal. Ada batas waktunya ketika proses pertambangan di Flores dan NTT umumnya semuanya jelas. Perjelaskan kerugian dan keuntungannya.
Meskipun isu kekayaan mineral telah didengungkan sejak masa VOC, namun rakyat kita baru mengenal hal ini secara terbuka dalam dua atau tiga tahun terakhir ini. Tentu saja kita bangga bahwa perut bumi NTT yang tampak kering kerontang ini ternyata mengandung kekayaan mineral yang berlimpah. Dan sebelum rakyat kita sungguh menyadari berapa banyak kandungan mineral yang tersembunyi di Flores, usaha eksplorasi sudah dicanangkan. Tampak sangat jelas bahwa proses eksplorasi tambang ini terjadi terlalu 'serta-merta'. Bukan saja rakyat belum siap, tetapi proses itu sendiri belumlah siap dan matang.
Anda memberikan anjuran kepada para penolak tambang agar "jangan asal tolak!" Kami yakin kelompok penolak tambang juga bisa menuntut balik, "jangan asal tambang!" Anda menulis bahwa proses penolakan harus didasarkan pada studi yang menyeluruh. Pertanyaan kami kepada pemerintah dan pelaku tambang, "apakah pemerintah juga telah melakukan studi yang menyeluruh sebelum memulai proses pertambangan ini?" Apakah pemerintah memiliki jaminan ilmiah bahwa proses pertambangan di Flores, pulau yang rawan bencana alam ini, tidak membawa dampak geologis yang berbahaya? Jika pemerintah tidak menyajikan jaminan ilmiah tentang akibat-akibat yang mungkin muncul, maka kami juga berseru kepada pemerintah, "jangan asal tambang"!
Keempat, kami kagum Anda mengangkat dua contoh pertambangan di Amerika dan di Australia yang menurut Anda sangat "ramah lingkungan." Tapi sebaiknya kita mengangkat contoh dari Indonesia, dan bukan berdiri di atas dasar hukum dan politik negara lain. Amerika dan Australia memiliki hukum yang menjamin pelestarian lingkungannya. Hukum yang berlaku di Amerika dan Australia tidak pantas dibanding dengan hukum di tanah air yang banyak 'kongkalikong'-nya.
Mengapa Anda tidak mengangkat Freeport sebagai contohnya? Mengapa bukan pertambangan di Kalimantan yang dijadikan acuan model pertambangan? Kami yakin kelestarian lingkungan di wilayah pertambangan di Indonesia tidak dijamin.
Terakhir Anda mengklaim bahwa usaha pertambangan merupakan proses "pemiskinan kaum miskin." Kita harus buka mata terlebih dahulu sebelum proses pertambangan di Flores diizinkan. Dari Manggarai dan Lembata kita mendengar bahwa banyak petani menjual tanah mereka yang dipercayai memiliki kandungan mineral itu. Rakyat kita yang miskin dan tak terdidik tergiur dengan uang "sesaat ini." Sebut jutaan rupiah rakyat kecil akan tergoda memilikinya.
Namun, setelah mendapat uang itu, mereka dengan segera kehilangan abadi hak atas tanah mereka. Dan, keturunan masa depan juga akan gigit jari seumur hidup. Di manakah generasi masa depan akan hidup dan berpijak karena telah kehilangan tanah nenek moyang mereka? Bukankah ini suatu proses pemiskinan terhadap petani miskin? Sayangnya, "tambang emas" telah dijadikan sebagai mantra sakral, seolah-olah itulah mesias yang membebaskan kemiskinan.
Sejatinya, rakyat pemilik tanah itu perlu dilibatkan penuh dalam proses pertambangan itu? Mengapa mereka hanya sekadar dibayar harga ganti rugi, dan selebihnya sebagai penonton pasif? Mengapa mereka tidak dijadikan salah satu "pemegang saham" perusahaan pertambangan? Hanya dengan cara menjadikan mereka sebagai bagian pemegang saham, maka proses pertambangan di Flores akan jauh lebih manusiawi dan bermartabat.
Akhirnya, jika Anda bertanya, 'apakah semua bentuk pertambangan di Flores dan NTT umumnya harus ditolak?' kami menjawab tegas, YA! Until everything is made clear! Kami juga ingatkan para bupati dan pelaku tambang supaya 'jangan asal tambang'. Kalau terlalu bandel, maka pilih saja: mau tambang, atau tumbang para bupati yang ngotot izinkan pertambangan!
Dari dua tulisan Mali tak ubahnya mem-brainwashed orang Flores dan Lembata untuk melenggangkan aksi tambang. Setidaknya, tulisan Mali terkanjang kesan miris, orang Flores terlalu bodoh untuk menolak bisnis tambang. Sudah miskin tambah bodoh lagi. It is too stupid to refuse! Benarkah aksi penolakan tambang yang diprakarsai oleh gereja, LSM dan lembaga adat dinilai terlalu bodoh?
Pertama, Mali menulis bahwa eksplorasi pertambangan di Flores harus didasarkan pada studi ilmiah. Sangat setuju bung. Cuma, pernah Anda berpikir, secanggih apa pun kajian ilmiah tetap saja membawa 1001 risiko jika tambang terus digempar? Biasanya, ketika risiko tinggi tambang mulai membalut warga, maka studi ilmiah, investor, dan para pejabat adalah orang pertama cuci tangan.
Investor hanya meninggalkan satu wasiat: "Good bye Flores and see you no again". Inilah bencana tragis yang bakal diterima dan terwariskan kepada semua generasi Flores. Jangankan prediksi kondisi Flores seabad dari sekarang, tapi cukuplah setahun kemudian seperti iklan kecantikan 'before and after' tambang Flores akan bakal berubah lebih kejam dari neraka seperti yang dikisahkan dalam kitab suci. Inilah neraka yang siap dipaksa-pindahkan ke Flores.
Kalau Mali meneropong tambang Flores seabad kemudian, maka sebagai teropong sandingannya, bagaimana nasib Pulau Bunga seabad dari sekarang jika peluit ketel tambang ditiup dari sekarang? Belum tambang saja, air sudah susah, alam sudah cacat, apalagi setelah tambang. Terus, apa terlalu bodoh orang menolak tambang? Kera di hutan saja tahu selamatkan diri jika habitatnya terancam, apalagi manusia yang dikaruniai akal budi pasti lebih mulia aksinya.
Menolak tambang sedini mungkin adalah wise choice daripada dikubur pagi-pagi oleh investor tambang, yang sama sekali tidak mengubah keadaan orang Flores. Mestinya kita bersyukur masih ada orang yang menatap Flores ini bukan hanya seabad kemudian, tapi melampaui waktu dan zaman. Bukan sebaliknya, menuduh perjuangan kelompok ini sebagai pemberontak, pembandel dan provokator, apalagi diklaim sebagai banci alias takut bersaing dengan lembaga modern dan canggih.
Kedua, Mali dengan gebrak berlaga ide bahwa aksi-aksi penolakan pertambangan di Flores selama ini hanya didasarkan pada seruan-seruan profetis para pastor dan aktivis LSM yang menunjukkan kesan bahwa lembaga gereja dan adat takut bersaing dan takut kehilangan pamor menghadapi lembaga bisnis modern dan multinasional. Apakah pemaparan ide ini adalah hasil ramuan survai valid atau sekadar mengobati tangan yang gatal untuk menulis? Seribu sayang jika hal ini yang terjadi. Tetapi jika argumentasi ini lahir dari sebuah survai mendalam maka two thumbs up for you segera diacungkan.
Gagasan abortif ini mungkin perlu ditimbang serius sebelum terlampau kecolongan. Menurut kami, gereja di Flores dan NTT pada umumnya tidak pernah akan berusaha untuk menjadi 'pesaing' pemerintah atau lembaga pembangunan. Gereja adalah 'mitra' pemerintah, 'mitra' pembangunan. Berbicara tentang mitra, kita tidak hanya mengacu pada seseorang atau kelompok yang hanya bisa menjawab 'yes!' 'OK!' Itulah hakikat dari mitra sejati.
Seorang mitra sejati harus mampu memberikan kritik, bahkan yang keras dan pedas sekalipun terhadap mitra kerjanya. Gereja melakonkan perannya sebagai mitra kerja pemerintah dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan yang perlu dan bahkan mengeritik keras terhadap kebijakan pembangunan bila kebijakan tersebut berjalan timpang atau merugikan kaum kecil (orang Flores).
Dengan demikian pemerintah dibantu untuk menimbang rakyatnya lebih dulu daripada menimbang tambang. Karena "the poor should gain the most" dari hasil pembangunan itu. Selanjutnya, apakah gereja takut kehilangan pamornya di tengah masyarakat Flores dan NTT karena kehadiran lembaga bisnis modern? Ini pertanyaan yang sangat aneh karena bertolak dari adagium yang aneh pula.
Gereja tak perlu berusaha dan berkoar-koar meningkatkan pamornya agar bisa merebut simpati rakyat kecil di Flores dan NTT, karena gereja pada dasarnya berdiri dan bergerak di tengah kaum kecil. Gereja adalah bagian dari kaum kecil dan bersuara demi mereka. Gereja tak bersaing dengan pemerintah atau agen pembangunan mana pun. Sebaliknya gereja berjalan bersama pemerintah, memberikan pertimbangan kritis kepada pemerintah demi nasib rakyat kecil.
Ketiga, Mali mengajukan sebuah pertanyaan, 'Apakah semua bentuk pertambangan di Flores/NTT harus ditolak?' Anda sendiri telah menjawabnya dalam tulisan Anda. Kami hanya ingin menegaskan lagi bahwa semua bentuk pertambangan di Flores dan NTT harus ditolak. Tentu saja usaha penolakan ini tidak bersifat kekal. Ada batas waktunya ketika proses pertambangan di Flores dan NTT umumnya semuanya jelas. Perjelaskan kerugian dan keuntungannya.
Meskipun isu kekayaan mineral telah didengungkan sejak masa VOC, namun rakyat kita baru mengenal hal ini secara terbuka dalam dua atau tiga tahun terakhir ini. Tentu saja kita bangga bahwa perut bumi NTT yang tampak kering kerontang ini ternyata mengandung kekayaan mineral yang berlimpah. Dan sebelum rakyat kita sungguh menyadari berapa banyak kandungan mineral yang tersembunyi di Flores, usaha eksplorasi sudah dicanangkan. Tampak sangat jelas bahwa proses eksplorasi tambang ini terjadi terlalu 'serta-merta'. Bukan saja rakyat belum siap, tetapi proses itu sendiri belumlah siap dan matang.
Anda memberikan anjuran kepada para penolak tambang agar "jangan asal tolak!" Kami yakin kelompok penolak tambang juga bisa menuntut balik, "jangan asal tambang!" Anda menulis bahwa proses penolakan harus didasarkan pada studi yang menyeluruh. Pertanyaan kami kepada pemerintah dan pelaku tambang, "apakah pemerintah juga telah melakukan studi yang menyeluruh sebelum memulai proses pertambangan ini?" Apakah pemerintah memiliki jaminan ilmiah bahwa proses pertambangan di Flores, pulau yang rawan bencana alam ini, tidak membawa dampak geologis yang berbahaya? Jika pemerintah tidak menyajikan jaminan ilmiah tentang akibat-akibat yang mungkin muncul, maka kami juga berseru kepada pemerintah, "jangan asal tambang"!
Keempat, kami kagum Anda mengangkat dua contoh pertambangan di Amerika dan di Australia yang menurut Anda sangat "ramah lingkungan." Tapi sebaiknya kita mengangkat contoh dari Indonesia, dan bukan berdiri di atas dasar hukum dan politik negara lain. Amerika dan Australia memiliki hukum yang menjamin pelestarian lingkungannya. Hukum yang berlaku di Amerika dan Australia tidak pantas dibanding dengan hukum di tanah air yang banyak 'kongkalikong'-nya.
Mengapa Anda tidak mengangkat Freeport sebagai contohnya? Mengapa bukan pertambangan di Kalimantan yang dijadikan acuan model pertambangan? Kami yakin kelestarian lingkungan di wilayah pertambangan di Indonesia tidak dijamin.
Terakhir Anda mengklaim bahwa usaha pertambangan merupakan proses "pemiskinan kaum miskin." Kita harus buka mata terlebih dahulu sebelum proses pertambangan di Flores diizinkan. Dari Manggarai dan Lembata kita mendengar bahwa banyak petani menjual tanah mereka yang dipercayai memiliki kandungan mineral itu. Rakyat kita yang miskin dan tak terdidik tergiur dengan uang "sesaat ini." Sebut jutaan rupiah rakyat kecil akan tergoda memilikinya.
Namun, setelah mendapat uang itu, mereka dengan segera kehilangan abadi hak atas tanah mereka. Dan, keturunan masa depan juga akan gigit jari seumur hidup. Di manakah generasi masa depan akan hidup dan berpijak karena telah kehilangan tanah nenek moyang mereka? Bukankah ini suatu proses pemiskinan terhadap petani miskin? Sayangnya, "tambang emas" telah dijadikan sebagai mantra sakral, seolah-olah itulah mesias yang membebaskan kemiskinan.
Sejatinya, rakyat pemilik tanah itu perlu dilibatkan penuh dalam proses pertambangan itu? Mengapa mereka hanya sekadar dibayar harga ganti rugi, dan selebihnya sebagai penonton pasif? Mengapa mereka tidak dijadikan salah satu "pemegang saham" perusahaan pertambangan? Hanya dengan cara menjadikan mereka sebagai bagian pemegang saham, maka proses pertambangan di Flores akan jauh lebih manusiawi dan bermartabat.
Akhirnya, jika Anda bertanya, 'apakah semua bentuk pertambangan di Flores dan NTT umumnya harus ditolak?' kami menjawab tegas, YA! Until everything is made clear! Kami juga ingatkan para bupati dan pelaku tambang supaya 'jangan asal tambang'. Kalau terlalu bandel, maka pilih saja: mau tambang, atau tumbang para bupati yang ngotot izinkan pertambangan!
Ket foto: Lokasi tambang PT Newmont Minahasa Raya (NMR) di Mesel, Kecataman Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Sulawesi Utara.
Foto: dok. MAJALAH TAMBANG.
Sumber: Pos Kupang, 26 Agustus 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!