Oleh Max Regus
Direktur Parrhesia Institute Jakarta
Indonesia adalah sebuah bangsa yang tidak pernah selesai! Namun, ungkapan itu jauh dari makna positif sebagai sebuah proses pencarian dan pembentukan kematangan multidimensional sebagai nation-state. Ini adalah sebuah deskripsi berhubungan dengan keteledoran sosial politik mengurus dan menyelesaikan sekian banyak persoalan fundamental dalam tata kelola kebangsaan dan kenegaraan.
Dua sesi pemilu yang dengan gemuruh mengagungkan peran politik secara pelan sudah tergerus dan menepikan kebutuhan rakyat jauh dari keperluan kekuasaan. Rakyat sebagai sumber segala kekuasaan politik hanya tinggal 'kebohongan' politik yang memalukan. Ada persoalan serius yang bergerak di sekitar proses politik sekarang ini. Amat jelas bahwa akal sehat dan logika masih menjadi pertanyaan paling penting berhubungan dengan praktik politik, hukum, dan kekuasaan dewasa ini.
Keadilan
Artinya, bukan hanya rakyat yang berurusan dengan pertimbangan dan pilihan politik rasional, melainkan juga terutama segenap institusi politik dan hukum. Sebab dengan sistem demokrasi perwakilan, perilaku para wakil rakyat dalam semua lembaga negara akan menentukan arah kehidupan bersama. Dengan begitu, akal sehat pertama sekali berkaitan dengan tindakan politik dan hukum negara. Negara harus memiliki perilaku rasional.
Yang nampak justru sebaliknya. Sekarang semakin kelihatan betapa proses politik yang dijalankan selama ini bergerak di atas basis sosial, politik, dan budaya yang sudah mengalami pengeroposan. Belum ada yang selesai dikerjakan dengan sebuah kesungguhan. Sekarang ini dapat saja partai politik bisa saling membunuh untuk memuluskan ambisi tanpa memperhitungkan membekunya dendam politik dengan harga mahal yang mungkin akan ditanggung rakyat.
Segenap Institusi vital yang mengawal Pemilu 2009 tidak mampu bertindak elegan karena hukum dan aturan seolah tidak memiliki kewibawaan politik. Itu yang harus jelas berhubungan dengan harga diri politik dan hukum yang sedang diurus lembaga negara seperti KPU dan MA. Semua pihak menuntut keadilan politik. Keadilan memang harus mendapat pengutamaan dalam setiap keputusan politik dan hukum. Namun, kita juga sadar tidak gampang melakukan hal itu.
Keadilan adalah kualitas yang melampaui konteks hukum semata. Keadilan niscaya menjadi persoalan sosiologis berkaitan dengan problem politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Ada dua persoalan utama yang perlu dibangun. Pertama, keadilan harus berhubungan dengan style of law. Praktik hukum semestinya mengidentifikasikan keadilan secara ketat. Tanpa penjunjungan keadilan, pemangku hukum serentak kehilangan pendasarannya. Kedua, keadilan harus menjadi trait of law. Keadilan merupakan aspek paling penting yang menentukan karakter hukum. Keadilan menjadi keberpihakan dan perjuangan institusi hukum. Juga persaksian sosial politik bangsa ini. Bangsa yang tidak membiasakan hidup dalam keadilan akan dengan mudah mengalami ketidakadilan!
Otoritas
Kita butuh otoritas. Bukan hanya hukum, melainkan juga etik. Maka, diperlukan di sini apa yang kita sebut dengan rasionalitas. Akal sehat (rasionalitas) harus mendasari semua pilihan politik dan keputusan hukum. Hal itu akan mendorong kebutuhan paling penting bahwa bangsa ini harus memberikan keadilan kepada rakyat yang sudah terlalu banyak berkurban ini.
Negara tidak boleh hanya menunjukkan otoritas hukum dan politik, tetapi juga kewibawaan moral-etis yang tidak mengacaukan kesadaran publik. Di situ akan muncul keadilan paling asali. Atau, meminjam bahasa Ronald Dworkin dalam Justice in Robe (2006), keadilan tidak boleh hanya mendekam dalam 'jubah' indah para pengurus hukum dan politik. Pengungkapan keadilan tidak akan pernah terjadi dalam situasi, saat negara terlalu egois dengan hanya memikirkan sekian banyak implikasi politik sempit.
Apa yang berkembang beberapa hari terakhir ini membutuhkan 'kearifan' politik dan hukum. Kita tidak hanya membutuhkan kualifikasi personal para penjaga hukum dan politik, tapi juga sebagai bagian dari perilaku warga politik. Amat sulit untuk memutuskan apa yang paling adil dalam situasi penuh kontradiksi, seperti yang diulas John Ferejohn dalam Judicialing Politics, Politicizing Law (2002). Tidak mudah bagi hukum untuk menangani perkara politik, sebaliknya terlalu mudah kekuatan politik untuk menelikung keadilan hukum.
Di sinilah 'rasionalitas' akan diuji keberdayaan dan kejujurannya! Persis, ini yang sedang dialami Indonesia saat ini. Hukum bahkan kesepakatan partikular seperti koalisi antarparpol bisa digusur untuk memuluskan kerakusan politik. Bangsa ini akan terbenam semakin dalam pada ketidaberdayaan politik menghadapi para elite yang semakin kemaruk rakus dan hinaan bangsa lain tatkala para pemangku politik tidak pernah belajar apa yang namanya kesantunan dan kejujuran politik. Lebih jauh, negara tidak akan pernah menggapai kewibawaan otoritatif yang disegani bangsa lain!
Indulgensi
Ini akan menjadi cikal bakal keruntuhan. Dan, ada banyak kesalahan, kegagalan, dan kekurangan yang secara kasat mata menjadi pengalaman bangsa ini. Itu bisa ditemukan dalam segenap institusi politik dan kekuasaan, juga dalam pergaulan sosial setiap hari. Keruntuhan yang dapat memacetkan langkah perbaikan diri bangsa kita. Kita terus saja bermain-main dengan persoalan-persoalan penting yang seharusnya segera dituntaskan.
Manakala hukum tidak bisa menindak setiap kejahatan politik dan sebaliknya politik terbiasa meludahi hukum dengan kenistaan, keadilan makin sulit diraih, luka bangsa akan sulit tersembuhkan. Namun, sepelik apa pun persoalan yang sedang dihadapi, kita sesungguhnya membutuhkan energi yang jauh lebih besar untuk menegakkan kepala menatap masa depan yang lebih baik.
Tanpa penyembuhan politik yang tulus, kita sulit menemukan lorong masa depan dengan kesejahteraan dan kemakmuran konkret. Tentu saja, tidak cukup rasionalitas, kita juga memerlukan 'empati' politik, kedekatan emosional kekuasaan pada keterpurukan warga politik! Para elite politik dan kekuasaan mungkin dapat berkilah bahwa mereka sudah bertindak rasional. Namun, yang kembali menjadi soal adalah apakah persoalan rakyat menjadi 'energi' perjuangan politik. Kalau para elite tidak memiliki keutamaan-keutamaan fundamental seperti ini, kita akan selalu gagal menyelesaikan perkara-perkara penting untuk masa depan bangsa ini.
Konsolidasi dan penyembuhan sosial, politik dan hukum adalah keniscayaan yang harus segera dilakukan. Ini dapat terjadi jika bangsa ini baik para penguasa maupun warganya, berani mengampuni dirinya sendiri untuk semua 'kesalahan' yang telah terlewatkan dari masa lalu hingga sekarang ini. Warga politik harus bersedia menunjukkan 'pengampunan' (Latin: indulgentia, indulgeo) politik yang jujur. Ini akan menjadi 'gerak dari dalam' untuk menyingkap semua kebuntuan, kebohongan, dan kesombongan yang melemparkan bangsa ini pada kebanggaan semu!
Dua sesi pemilu yang dengan gemuruh mengagungkan peran politik secara pelan sudah tergerus dan menepikan kebutuhan rakyat jauh dari keperluan kekuasaan. Rakyat sebagai sumber segala kekuasaan politik hanya tinggal 'kebohongan' politik yang memalukan. Ada persoalan serius yang bergerak di sekitar proses politik sekarang ini. Amat jelas bahwa akal sehat dan logika masih menjadi pertanyaan paling penting berhubungan dengan praktik politik, hukum, dan kekuasaan dewasa ini.
Keadilan
Artinya, bukan hanya rakyat yang berurusan dengan pertimbangan dan pilihan politik rasional, melainkan juga terutama segenap institusi politik dan hukum. Sebab dengan sistem demokrasi perwakilan, perilaku para wakil rakyat dalam semua lembaga negara akan menentukan arah kehidupan bersama. Dengan begitu, akal sehat pertama sekali berkaitan dengan tindakan politik dan hukum negara. Negara harus memiliki perilaku rasional.
Yang nampak justru sebaliknya. Sekarang semakin kelihatan betapa proses politik yang dijalankan selama ini bergerak di atas basis sosial, politik, dan budaya yang sudah mengalami pengeroposan. Belum ada yang selesai dikerjakan dengan sebuah kesungguhan. Sekarang ini dapat saja partai politik bisa saling membunuh untuk memuluskan ambisi tanpa memperhitungkan membekunya dendam politik dengan harga mahal yang mungkin akan ditanggung rakyat.
Segenap Institusi vital yang mengawal Pemilu 2009 tidak mampu bertindak elegan karena hukum dan aturan seolah tidak memiliki kewibawaan politik. Itu yang harus jelas berhubungan dengan harga diri politik dan hukum yang sedang diurus lembaga negara seperti KPU dan MA. Semua pihak menuntut keadilan politik. Keadilan memang harus mendapat pengutamaan dalam setiap keputusan politik dan hukum. Namun, kita juga sadar tidak gampang melakukan hal itu.
Keadilan adalah kualitas yang melampaui konteks hukum semata. Keadilan niscaya menjadi persoalan sosiologis berkaitan dengan problem politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Ada dua persoalan utama yang perlu dibangun. Pertama, keadilan harus berhubungan dengan style of law. Praktik hukum semestinya mengidentifikasikan keadilan secara ketat. Tanpa penjunjungan keadilan, pemangku hukum serentak kehilangan pendasarannya. Kedua, keadilan harus menjadi trait of law. Keadilan merupakan aspek paling penting yang menentukan karakter hukum. Keadilan menjadi keberpihakan dan perjuangan institusi hukum. Juga persaksian sosial politik bangsa ini. Bangsa yang tidak membiasakan hidup dalam keadilan akan dengan mudah mengalami ketidakadilan!
Otoritas
Kita butuh otoritas. Bukan hanya hukum, melainkan juga etik. Maka, diperlukan di sini apa yang kita sebut dengan rasionalitas. Akal sehat (rasionalitas) harus mendasari semua pilihan politik dan keputusan hukum. Hal itu akan mendorong kebutuhan paling penting bahwa bangsa ini harus memberikan keadilan kepada rakyat yang sudah terlalu banyak berkurban ini.
Negara tidak boleh hanya menunjukkan otoritas hukum dan politik, tetapi juga kewibawaan moral-etis yang tidak mengacaukan kesadaran publik. Di situ akan muncul keadilan paling asali. Atau, meminjam bahasa Ronald Dworkin dalam Justice in Robe (2006), keadilan tidak boleh hanya mendekam dalam 'jubah' indah para pengurus hukum dan politik. Pengungkapan keadilan tidak akan pernah terjadi dalam situasi, saat negara terlalu egois dengan hanya memikirkan sekian banyak implikasi politik sempit.
Apa yang berkembang beberapa hari terakhir ini membutuhkan 'kearifan' politik dan hukum. Kita tidak hanya membutuhkan kualifikasi personal para penjaga hukum dan politik, tapi juga sebagai bagian dari perilaku warga politik. Amat sulit untuk memutuskan apa yang paling adil dalam situasi penuh kontradiksi, seperti yang diulas John Ferejohn dalam Judicialing Politics, Politicizing Law (2002). Tidak mudah bagi hukum untuk menangani perkara politik, sebaliknya terlalu mudah kekuatan politik untuk menelikung keadilan hukum.
Di sinilah 'rasionalitas' akan diuji keberdayaan dan kejujurannya! Persis, ini yang sedang dialami Indonesia saat ini. Hukum bahkan kesepakatan partikular seperti koalisi antarparpol bisa digusur untuk memuluskan kerakusan politik. Bangsa ini akan terbenam semakin dalam pada ketidaberdayaan politik menghadapi para elite yang semakin kemaruk rakus dan hinaan bangsa lain tatkala para pemangku politik tidak pernah belajar apa yang namanya kesantunan dan kejujuran politik. Lebih jauh, negara tidak akan pernah menggapai kewibawaan otoritatif yang disegani bangsa lain!
Indulgensi
Ini akan menjadi cikal bakal keruntuhan. Dan, ada banyak kesalahan, kegagalan, dan kekurangan yang secara kasat mata menjadi pengalaman bangsa ini. Itu bisa ditemukan dalam segenap institusi politik dan kekuasaan, juga dalam pergaulan sosial setiap hari. Keruntuhan yang dapat memacetkan langkah perbaikan diri bangsa kita. Kita terus saja bermain-main dengan persoalan-persoalan penting yang seharusnya segera dituntaskan.
Manakala hukum tidak bisa menindak setiap kejahatan politik dan sebaliknya politik terbiasa meludahi hukum dengan kenistaan, keadilan makin sulit diraih, luka bangsa akan sulit tersembuhkan. Namun, sepelik apa pun persoalan yang sedang dihadapi, kita sesungguhnya membutuhkan energi yang jauh lebih besar untuk menegakkan kepala menatap masa depan yang lebih baik.
Tanpa penyembuhan politik yang tulus, kita sulit menemukan lorong masa depan dengan kesejahteraan dan kemakmuran konkret. Tentu saja, tidak cukup rasionalitas, kita juga memerlukan 'empati' politik, kedekatan emosional kekuasaan pada keterpurukan warga politik! Para elite politik dan kekuasaan mungkin dapat berkilah bahwa mereka sudah bertindak rasional. Namun, yang kembali menjadi soal adalah apakah persoalan rakyat menjadi 'energi' perjuangan politik. Kalau para elite tidak memiliki keutamaan-keutamaan fundamental seperti ini, kita akan selalu gagal menyelesaikan perkara-perkara penting untuk masa depan bangsa ini.
Konsolidasi dan penyembuhan sosial, politik dan hukum adalah keniscayaan yang harus segera dilakukan. Ini dapat terjadi jika bangsa ini baik para penguasa maupun warganya, berani mengampuni dirinya sendiri untuk semua 'kesalahan' yang telah terlewatkan dari masa lalu hingga sekarang ini. Warga politik harus bersedia menunjukkan 'pengampunan' (Latin: indulgentia, indulgeo) politik yang jujur. Ini akan menjadi 'gerak dari dalam' untuk menyingkap semua kebuntuan, kebohongan, dan kesombongan yang melemparkan bangsa ini pada kebanggaan semu!
Sumber: Media Indonesia, 10 September 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!