Max Regus
Direktur Parrhesia Institute Jakarta;
Direktur Parrhesia Institute Jakarta;
Menulis Buku Demokrasi Profetik (Agustus 2009)
Di bawah judul ”Pengemis dan Konstitusi”, harian Kompas (3/9/2009) mengulas kontroversi penangkapan 12 warga Jakarta yang memberi sedekah kepada pengemis.
Tindakan memberi sedekah kepada pengemis itu dinilai melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Argumentasinya, kehadiran pengemis merupakan akibat dari warga yang masih memberi sedekah kepada mereka.
Logika semacam ini dengan mudah dapat dianggap sebagai sebuah kesesatan berpikir. Yang kelihatan jelas adalah kegamangan mengukur variabel paling dominan yang memperkuat arus pengemis di tengah keindahan kota. Apakah hanya karena masih ada warga yang membagi sepeser rezeki? Ulasan Kompas sebenarnya ingin mengatakan, pengemis adalah ”cerita kecil” tentang pandemi kemiskinan yang masih mengurung kehidupan kita.
Pertanyaan fundamentalnya, benarkah para pengemis yang masih merayap di keramaian kota dan warga yang mengulurkan tangan memberi recehan rezeki adalah representasi ”kejahatan” in se yang sudah sepantasnya mendapat hukuman dari negara.
Partikularisme
Menyebut perlindungan konstitusi terhadap warga miskin merupakan hal paling penting dari ulasan itu. Ini merujuk keberanian politik mempertahankan kebijakan pembangunan yang membela kelompok yang tidak pernah beruntung.
Jalanan yang masih dipadati pengemis, tentu hal yang tidak diinginkan. Namun, akan lebih berguna jika kita memanfaatkan kenyataan semacam ini sebagai laboratorium paling jujur untuk menguji klaim negara atas kesejahteraan dan kemakmuran semua warga.
Hal ini penting dikerjakan sebab politik sering tidak pernah adil untuk semua orang, tidak pernah bersahabat untuk rakyat miskin. Konstitusi yang menegaskan perlindungan bagi rakyat terjerembap dalam praktik politik partikularistik. Pola politik yang sedemikian sistemik hanya memihak dan melindungi kepentingan sebagian orang, kelompok ”atas”.
Maka, para pengemis yang terus memadati jalan-jalan kota merupakan salah satu problem konstitusional paling serius. Dengan begitu, sebenarnya bukan hanya tindakan mengemis yang mengganggu, tetapi terutama kemiskinan yang menjadi basis paling dalam dari tindakan itu.
Negosiasi
Kemiskinan yang terus membelenggu akan mengirim semakin banyak warga ke jalan sebagai pengemis. Struktur politik, sosial, dan ekonomi yang terus mengabadikan ketidakadilan akan memperkuat kenyataan ini.
Kerumunan pengemis di jalanan, di satu pihak dan warga yang memberi sedekah di pihak lain, merupakan sebentuk ”protes” terbuka pada ketiadaan perlindungan negara kepada warganya. Mereka sedang menegosiasikan posisi politiknya sebagai bagian yang sah dari negara ini. Mereka menagih jatah hasil pembangunan.
Mengemis adalah satu bentuk negosiasi yang sedang ditunjukkan warga sah negara ini, sementara memberi sedekah merupakan kritik atas ketidakberdayaan negara menerjemahkan mimpi besar konstitusi.
Yang pertama kali diperlukan untuk memusnahkan pengemis bukan dengan menertibkan warga pemberi sedekah, tetapi menyusun program pembangunan yang bisa memberi penghidupan kepada semua warga. Sebuah keberanian untuk membongkar struktur pembangunan yang telah menimbulkan jarak yang kian lebar antara kelompok yang kaya dan miskin.
Daniel M Hausman dan Michael S McPherson dalam Economic Analysis, Moral Philosophy and Public Policy (2006) menyebutnya sebagai konstruksi kebijakan publik dengan moralitas sosial yang berangkat dari refleksi atas kemiskinan sosial ekonomi warga.
Akses
Kesejahteraan dan kemiskinan niscaya mendefinisikan seberapa dekat atau jauh akses warga (miskin) negara terhadap ”madu pembangunan”. Kemiskinan menggambarkan hilangnya ”keterhubungan” hajat hidup dengan hasil-hasil terbaik pembangunan. Sementara, kesejahteraan merupakan apresiasi atas prinsip kesetaraan dan keadilan yang dinikmati semua orang.
Ini yang persis ditegaskan Alan H Peters dan Peter S Fisher dalam State Enterprise Zone Programs (2002) bahwa negara harus memberi penegasan sekaligus perlindungan akses yang adil bagi semua warga dalam program pembangunan. Negara harus memiliki pandangan yang menyeluruh, lengkap, dan integral terhadap persoalan dan kebutuhan warganya.
Manakala bangsa ini berani dan mau meluputkan keluhuran konstitusi terhadap mekanisme partikularisme politik yang kejam, kita akhirnya tidak perlu menyusun aturan untuk menangkap sesama warga yang mempunyai dorongan moral untuk membantu sesama yang belum beruntung secara ekonomis.
Kita juga tidak akan menyaksikan sebagian dari keluarga bangsa ini harus menahan terik dan pengap di jalanan demi recehan yang tumpah sebagai remah kemewahan kota.
Tindakan memberi sedekah kepada pengemis itu dinilai melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Argumentasinya, kehadiran pengemis merupakan akibat dari warga yang masih memberi sedekah kepada mereka.
Logika semacam ini dengan mudah dapat dianggap sebagai sebuah kesesatan berpikir. Yang kelihatan jelas adalah kegamangan mengukur variabel paling dominan yang memperkuat arus pengemis di tengah keindahan kota. Apakah hanya karena masih ada warga yang membagi sepeser rezeki? Ulasan Kompas sebenarnya ingin mengatakan, pengemis adalah ”cerita kecil” tentang pandemi kemiskinan yang masih mengurung kehidupan kita.
Pertanyaan fundamentalnya, benarkah para pengemis yang masih merayap di keramaian kota dan warga yang mengulurkan tangan memberi recehan rezeki adalah representasi ”kejahatan” in se yang sudah sepantasnya mendapat hukuman dari negara.
Partikularisme
Menyebut perlindungan konstitusi terhadap warga miskin merupakan hal paling penting dari ulasan itu. Ini merujuk keberanian politik mempertahankan kebijakan pembangunan yang membela kelompok yang tidak pernah beruntung.
Jalanan yang masih dipadati pengemis, tentu hal yang tidak diinginkan. Namun, akan lebih berguna jika kita memanfaatkan kenyataan semacam ini sebagai laboratorium paling jujur untuk menguji klaim negara atas kesejahteraan dan kemakmuran semua warga.
Hal ini penting dikerjakan sebab politik sering tidak pernah adil untuk semua orang, tidak pernah bersahabat untuk rakyat miskin. Konstitusi yang menegaskan perlindungan bagi rakyat terjerembap dalam praktik politik partikularistik. Pola politik yang sedemikian sistemik hanya memihak dan melindungi kepentingan sebagian orang, kelompok ”atas”.
Maka, para pengemis yang terus memadati jalan-jalan kota merupakan salah satu problem konstitusional paling serius. Dengan begitu, sebenarnya bukan hanya tindakan mengemis yang mengganggu, tetapi terutama kemiskinan yang menjadi basis paling dalam dari tindakan itu.
Negosiasi
Kemiskinan yang terus membelenggu akan mengirim semakin banyak warga ke jalan sebagai pengemis. Struktur politik, sosial, dan ekonomi yang terus mengabadikan ketidakadilan akan memperkuat kenyataan ini.
Kerumunan pengemis di jalanan, di satu pihak dan warga yang memberi sedekah di pihak lain, merupakan sebentuk ”protes” terbuka pada ketiadaan perlindungan negara kepada warganya. Mereka sedang menegosiasikan posisi politiknya sebagai bagian yang sah dari negara ini. Mereka menagih jatah hasil pembangunan.
Mengemis adalah satu bentuk negosiasi yang sedang ditunjukkan warga sah negara ini, sementara memberi sedekah merupakan kritik atas ketidakberdayaan negara menerjemahkan mimpi besar konstitusi.
Yang pertama kali diperlukan untuk memusnahkan pengemis bukan dengan menertibkan warga pemberi sedekah, tetapi menyusun program pembangunan yang bisa memberi penghidupan kepada semua warga. Sebuah keberanian untuk membongkar struktur pembangunan yang telah menimbulkan jarak yang kian lebar antara kelompok yang kaya dan miskin.
Daniel M Hausman dan Michael S McPherson dalam Economic Analysis, Moral Philosophy and Public Policy (2006) menyebutnya sebagai konstruksi kebijakan publik dengan moralitas sosial yang berangkat dari refleksi atas kemiskinan sosial ekonomi warga.
Akses
Kesejahteraan dan kemiskinan niscaya mendefinisikan seberapa dekat atau jauh akses warga (miskin) negara terhadap ”madu pembangunan”. Kemiskinan menggambarkan hilangnya ”keterhubungan” hajat hidup dengan hasil-hasil terbaik pembangunan. Sementara, kesejahteraan merupakan apresiasi atas prinsip kesetaraan dan keadilan yang dinikmati semua orang.
Ini yang persis ditegaskan Alan H Peters dan Peter S Fisher dalam State Enterprise Zone Programs (2002) bahwa negara harus memberi penegasan sekaligus perlindungan akses yang adil bagi semua warga dalam program pembangunan. Negara harus memiliki pandangan yang menyeluruh, lengkap, dan integral terhadap persoalan dan kebutuhan warganya.
Manakala bangsa ini berani dan mau meluputkan keluhuran konstitusi terhadap mekanisme partikularisme politik yang kejam, kita akhirnya tidak perlu menyusun aturan untuk menangkap sesama warga yang mempunyai dorongan moral untuk membantu sesama yang belum beruntung secara ekonomis.
Kita juga tidak akan menyaksikan sebagian dari keluarga bangsa ini harus menahan terik dan pengap di jalanan demi recehan yang tumpah sebagai remah kemewahan kota.
Sumber: Kompas, 8 September 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!