MASYARAKAT Lewoleba, Kabupaten Lembata tersentak kaget begitu mengetahui dari media massa bahwa ada tiga pelayan pub dan karaoke di kota itu yang terinfeksi virus mematikan HIV/AIDS. Kekagetan yang sama juga dialami masyarakat pada beberapa daerah lain di NTT, saat mengetahui ada warga di wilayahnya itu yang sudah terkena virus HIV/AIDS. Hampir setiap daerah di NTT sudah memiliki warga yang tertular HIV/AIDS dan warga yang menggunakan narkotik dan obat-obatan berbahaya (narkoba).
AIDS (acquired immunodeficiency syndrome adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV (human immunodeficiency virus). HIV adalah virus yang memperlemah kekebalan tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
HIV/AIDS bukan hal baru. Dan, pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) pun sudah gencar melakukan sosialisasi mengenai pencegahan terhadap penularan virus ini. Namun hasil yang dicapai belum memuaskan. Siapa yang harus disalahkan? Para pekerja seks, masyarakat yang gemar bergonta-ganti pasangan seks, para pengguna narkoba? Ataukah pemerintah dan seluruh stakeholder, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat dan LSM yang belum maksimal mengambil peran dalam memerangi HIV/AIDS?
Perkembangan dan penularan virus ini pada manusia, dipastikan jauh lebih banyak dan lebih berbahaya dari yang dapat dideteksi dan dilaporkan pihak-pihak yang peduli. Ini karena faktor perilaku seks pada kelompok- kelompok rentan dan penggunaan narkoba sebagai medium penularan HIV/AIDS masih begitu terselubung.
Ditambah kurangnya pengetahuan masyarakat pada HIV/AIDS, termasuk memastikan pasangan seksnya bebas atau tidak dari virus ini, semakin membuat kompleks persoalan penanggulangan penyebaran virus mematikan ini.
Kita bisa memberi contoh. Satu saja wanita pekerja seks di satu lokalisasi prostitusi terjangkit HIV/AIDS bisa menularkan virus itu pada begitu banyak orang. Katakanlah dalam satu hari wanita itu melakukan hubungan seks dengan satu orang, maka sebulan dia menularkan virus itu kepada 30 orang (pria). Ke-30 pria itu kalau dalam satu bulan, katakanlah, mereka berhubungan badan dengan satu orang maka akan ada 30 orang lagi korbannya. Ke-30 korban itu pun menjadi penular yang sangat potensial bagi orang lain. Begitu seterusnya.
Itu baru dari satu orang di satu lokalusasi prostitusi. Begitu banyak lokalisasi prostitusi di Indonesia, di NTT, yang terang-terangan seperti Karang Dempel-nya di Tenau-Kupang, maupun yang "malu-malu kucing" seperti "warung luar dalamnya" di Kalabahi-Alor, sampai praktik prostitusi terselubung melalui usaha pub dan karaoke serta pijat tradisional (pitrad) yang begitu marak di NTT.
Sedemikian bahayanya penyebaran virus ini namun langkah penanggulangan tidak lebih sigap dari ketika terjadi wabah diare, demam berdarah, rabies, atau sakit ngorok yang membunuh ratusan ternak di Nagekeo dan Ende itu.
Benar, imbauan yang gencar dilakukan pemerintah, termasuk safari sosialisasi HIV/AIDS yang kerap kita saksikan, adalah langkah konkrit. Tetapi untuk mengatasi, atau paling tidak memperlambat laju penyebaran virus mematikan itu, tidak cukup hanya melalui imbauan dan sosialisasi.
Butuh langkah yang lebih tegas dan strategis. Peraturan daerah (Perda), adalah salah satu alternatifnya. Dengan aturan daerah itu, pemerintah bisa melokalisir penularan, mengindentifikasi pengidap dan "membatasi" ruang gerak aktivitas prostitusi yang saat ini banyak dikemas dalam beragam bentuk usaha seperti pitrad, pub & karaoke dan lainnya. Kita berharap langkah tegas dan strategis ini dari para wakil wakyat yang baru saja kita pilih dalam Pemilu Legislatif, April 2009 lalu.
AIDS (acquired immunodeficiency syndrome adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV (human immunodeficiency virus). HIV adalah virus yang memperlemah kekebalan tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
HIV/AIDS bukan hal baru. Dan, pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) pun sudah gencar melakukan sosialisasi mengenai pencegahan terhadap penularan virus ini. Namun hasil yang dicapai belum memuaskan. Siapa yang harus disalahkan? Para pekerja seks, masyarakat yang gemar bergonta-ganti pasangan seks, para pengguna narkoba? Ataukah pemerintah dan seluruh stakeholder, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat dan LSM yang belum maksimal mengambil peran dalam memerangi HIV/AIDS?
Perkembangan dan penularan virus ini pada manusia, dipastikan jauh lebih banyak dan lebih berbahaya dari yang dapat dideteksi dan dilaporkan pihak-pihak yang peduli. Ini karena faktor perilaku seks pada kelompok- kelompok rentan dan penggunaan narkoba sebagai medium penularan HIV/AIDS masih begitu terselubung.
Ditambah kurangnya pengetahuan masyarakat pada HIV/AIDS, termasuk memastikan pasangan seksnya bebas atau tidak dari virus ini, semakin membuat kompleks persoalan penanggulangan penyebaran virus mematikan ini.
Kita bisa memberi contoh. Satu saja wanita pekerja seks di satu lokalisasi prostitusi terjangkit HIV/AIDS bisa menularkan virus itu pada begitu banyak orang. Katakanlah dalam satu hari wanita itu melakukan hubungan seks dengan satu orang, maka sebulan dia menularkan virus itu kepada 30 orang (pria). Ke-30 pria itu kalau dalam satu bulan, katakanlah, mereka berhubungan badan dengan satu orang maka akan ada 30 orang lagi korbannya. Ke-30 korban itu pun menjadi penular yang sangat potensial bagi orang lain. Begitu seterusnya.
Itu baru dari satu orang di satu lokalusasi prostitusi. Begitu banyak lokalisasi prostitusi di Indonesia, di NTT, yang terang-terangan seperti Karang Dempel-nya di Tenau-Kupang, maupun yang "malu-malu kucing" seperti "warung luar dalamnya" di Kalabahi-Alor, sampai praktik prostitusi terselubung melalui usaha pub dan karaoke serta pijat tradisional (pitrad) yang begitu marak di NTT.
Sedemikian bahayanya penyebaran virus ini namun langkah penanggulangan tidak lebih sigap dari ketika terjadi wabah diare, demam berdarah, rabies, atau sakit ngorok yang membunuh ratusan ternak di Nagekeo dan Ende itu.
Benar, imbauan yang gencar dilakukan pemerintah, termasuk safari sosialisasi HIV/AIDS yang kerap kita saksikan, adalah langkah konkrit. Tetapi untuk mengatasi, atau paling tidak memperlambat laju penyebaran virus mematikan itu, tidak cukup hanya melalui imbauan dan sosialisasi.
Butuh langkah yang lebih tegas dan strategis. Peraturan daerah (Perda), adalah salah satu alternatifnya. Dengan aturan daerah itu, pemerintah bisa melokalisir penularan, mengindentifikasi pengidap dan "membatasi" ruang gerak aktivitas prostitusi yang saat ini banyak dikemas dalam beragam bentuk usaha seperti pitrad, pub & karaoke dan lainnya. Kita berharap langkah tegas dan strategis ini dari para wakil wakyat yang baru saja kita pilih dalam Pemilu Legislatif, April 2009 lalu.
Ket foto: Kantor Bupati Lembata di Jalan Trans Lembata, Lewoleba, NTT.
Sumber: Pos Kupang, 9 September 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!