Pengajar Ilmu Politik FISIP UI;
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
Secara aklamasi, Aburizal Bakrie terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar di Pekanbaru, Riau.
Ia meraih 296 dari 537 suara (55,12 persen), meninggalkan Surya Paloh yang mendapat 239 suara (44,88 persen). Sementara Hutomo Mandala Putra dan Yuddy Chrisnandi nihil.
Pemilihan itu penting dibahas karena musyawarah nasional ini adalah titik determinasi masa depan Golkar dan politik Indonesia lima tahun ke depan. Sosok ketua umum akan menentukan sekaligus arah politik Golkar yang pasti berdampak pada konstelasi politik nasional dan menentukan panjang atau pendek umur bekas mesin politik Orde Baru ini.
Ada pertanyaan ganda yang perlu dijawab. Mengapa Ical menang? Apa implikasinya? Ihwal kemenangan, ada tiga sebab. Pertama, modal politik yang memadai. Sebagai orang terkaya Indonesia (Forbes Asia, 2007), Ical tentu tak sulit menghadapi proses politik dalam demokrasi prosedural yang ditentukan uang. Namun, jika uang adalah segalanya, Surya Paloh dan Tommy juga bisa menang.
Kedua, ketokohan Akbar Tandjung. Jika uang tak mengistimewakan, sosok Akbar mungkin kelebihannya. Sepanjang era pasca- Soeharto, di tubuh Golkar belum ada tokoh yang bisa diparalelkan dengan Akbar. Komunikasi politik dan kuatnya ikatan emosional dengan kader adalah ”senjata” Akbar yang memberi arti kemenangan Ical. Karena itu, tak berlebihan jika kemenangan Ical adalah kemenangan Akbar.
Ketiga, faktor ”intervensi” kekuasaan. Masyarakat sudah tahu, Cikeas membutuhkan Ical terkait agenda koalisi Demokrat-Golkar lima tahun ke depan. Secara psikologis, ikatan ini memberi rasa aman kepada kader partai untuk memilih Ical ketimbang calon lain. Dengan begitu, kita bisa meneliti kekalahan Surya Paloh.
Pertarungan baru
Dukungan Jusuf Kalla seolah mempertegas pertarungan babak baru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Preseden itu sudah terbaca saat SBY menanggapi serius pernyataan Kalla tentang perlunya Golkar beroposisi terhadap kekuasaan (saat ini).
Selain itu, aura SBY di tim Ical dan JK di tim Surya Paloh terlihat jelas. Postur tim sukses Surya Paloh juga konform dengan konstelasi tim Kalla dalam pilpres 8 Juli lalu. Sebaliknya, tim Ical terdiri dari Agung Laksono, Muladi, dan kawan-kawan yang menjelang pilpres bersuara kencang mendukung koalisi dengan Demokrat bahkan menolak pencalonan JK sebelum akhirnya ditetapkan melalui musyawarah partai.
Bagi Cikeas, Golkar adalah penyangga dan dukungannya masih berpengaruh atas konfigurasi politik lima tahun ke depan. Setidaknya, berkoalisi dengan Golkar mempersempit ruang oposisi bagi SBY-Boediono. Maka, masuk akal jika kader Golkar yang namanya masuk bursa menteri (2009-2014) bekerja keras di Pekanbaru. Namun, apakah kemenangan Ical adalah kemenangan Golkar? Pertanyaan ini mensinyalir ambiguitas serius yang dihadapi kader Golkar. Memilih Ical sama dengan memilih kekuasaan karena posisi Ical di lingkaran SBY. Sebaliknya, memilih Surya Paloh berarti memilih oposisi.
Berkuasa memang pilihan paling menarik. Namun, apakah kekuasaan harus selalu dipandang dari perspektif pemenang?
Untuk kematangan politik, kekuasaan perlu ditinjau dari sudut kekalahan sebab kalah bukan akhir segalanya. Di titik ini, kekalahan Golkar tahun 2009 seharusnya dijadikan pelajaran untuk pembenahan partai. Jusuf Kalla telah memberi pelajaran berharga. Jatuh pada pilihan untuk berkuasa, saat Golkar membutuhkan konsolidasi internal dan reposisi serius, adalah tindakan bunuh diri.
Kita telah melihat semuanya. Golkar-nya Wapres Jusuf Kalla dikalahkan Demokrat-nya Presiden Yudhoyono yang pertama kali ikut Pemilu 2004. Orang mudah bingung dengan kemenangan sebuah partai berusia muda, lupa bertanya kelalaian partai tua yang kurang bijaksana dalam manajemen risiko.
Poin yang mau dikatakan, Golkar ada di persimpangan sejarah, melingkar atau lurus. Pertama, asumsi sejarah bergerak melingkar. Artinya, berkoalisi dengan Demokrat adalah pilihan strategis untuk bangkit kembali pada Pemilu 2014. Golkar akan mendominasi Demokrat dalam kinerja dan pencitraan publik sehingga bisa mengembalikan kejayaan. Mungkinkah itu? Sulit membayangkan para menteri Golkar bisa mengalahkan keunggulan Demokrat (baca: SBY), terutama dalam hal pencitraan.
Kedua, asumsi sejarah bergerak lurus. Artinya, Golkar akan terus terperosok, bahkan lebih buruk dari Pemilu 2009. Krisis komitmen mungkin menjadi lonceng kematian partai tua yang sudah ikut pemilu sejak 1971. Pratanda kematian Golkar kian kuat jika partai ini tak mampu membedakan ”menumpang kekuasaan” dan ”memiliki kekuasaan”. Menumpang pada kekuasaan bisa sepanjang sejarah, tetapi memiliki kekuasaan, dalam demokrasi, ada masanya. Partai politik berjuang untuk mengisi dan menjadi tuan atas masa itu, bukan selamanya menumpang.
Sumber: Kompas, 13 Oktober 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!