PELUNCURAN dan bedah buku Geliat Demokrasi di kampung Halaman, sebuah kado 10 tahun otonomi Lembata) karya Viktus Murin di aula Koperasi Ankara, Selasa 14/10, mendapat perhatian serius dari para peserta. Hal ini terlihat dari antusiasme para peserta dalam memberikan masukan dan kritikan serta pernyataan-pernyataan yang dilontarkan saat sesi diskusi.
Peluncuran dan bedah buku dengan menghadirkan empat pembahas yakni Paulus Doni Ruing, yang membedah buku tersebut dari perspektif ekonomi, Urbanus Ola Hurek dari sisi ilmu politik, Ina Bibiana Rianghepat dari sisi gender dan Fredrikus Wilhelmus Wahon yang membedah buku tersebut dari regukasi publik. Peluncuran dan bedah buku ini merupakan hasil kerja kerjasama LAP Timoris dengan Lembaga Kajian Kebangsaan.
Viktus Murin, dalam sambutannya, mengatakan diksi atau pilihan kata “geliat” sengaja digunakan semata-mata untuk menegaskan bahwa praksis demokrasi di Lembata memang masih menggeliat, masih mencari bentuk,masih mengalami fase jatuh bangun. Demokrasi di Lembata adalah sebuah proses yang menjadi. Kita tetap optimis pada pertumbuhan demokrasi di Lembata. Tidak perlu rasa pesimis, apalagi apatis.
Viktus Murin mengatakan selama ini hampir di seantero nusantara dan mungkin saja di Lembata, rasa-rasanya kita sedang terjebak di antara dua pusaran politik yang ekstrem, yakni kegaduhan elit yang congkak di satu sisi dan euphoria massa yang pongah.
Buku “Geliat Demokrasi di kampong halaman” kata Viktus Murin, hadir dengan satu obsesi yang sederhana yakni mengajak kita untuk melihat ke dalam diri terlebih dahulu,mengambil waktu barang sejenak guna memasuki medan permenungan untuk akhirnya mampu menemukan kembali keluhuran nilai-nilai lokal di Lembata demi pencapaian cipta rasa dan karsa menuju masa depan Lembata yang lebih bermartabat.
Petrus Kopong Sira, mewakil direktur Lap Timoris, dalam sambutannya mengatakan, peluncuran buku ini untuk memperingati HUT Otonomi Lembata yang ke 10. Dengan buku ini, Viktus Murin mengetuk hati kita semua untuk menghargai dan memelihara demokrasi yang tengah berjalan saat ini.
Dalam membedah buku ini, baik keempat pembahas maupun para peserta “keluar dari esensi bedah buku itu sendiri”. Mereka lebih cenderung membedah kasus atau permasalahan yang tejadi selama ini di Lembata. Lukas Onek Narek mengatakan, forum ini tidak membedah buku ini, tapi hanya membedah kasus atau permasalahan yang terjadi selama 10 tahun di Lembata, yakni semenjak menjadi sebuah kabupaten.
Paulus Doni Ruing mengatakan, pembangunan di Lembata selama ini terjadi pemborosan. Ia melihat, pendekatan ekonomi kurang mendapat perhatian yang serius. Karena itu, diharapkan perlu ada kolabarosi dari berbagai pendekatan seperti pendekatan ekonomi, politik, sosial budaya dan lain sebagainya. “Perlu ada kolaborasi, tidak perlu jalan sendiri-sendiri. Kita perlu kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama”
Ina Bibiana Rianghepat mengatakan, yang paling ditekankan dalam buku geliat demokrasi di kampong halaman” itu adalah soal kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan spirit atau roh untuk membangun Lembata. Buku ini juga sebuah refleksi bagi kita.
Fredy Wahon mengatakan, undang-undang di Indonesia setiap saat berubah, yang menjadi korban adalah daerah-daerah. Di daerah, kata anggota dewan ini, belum melaksanakan undang-undang yang satu, pemerintah pusat sudah mencabut dan keluarkan undang-undangan baru. Ia mengatakan, demokrasi tanpa wacana tidak akan berhasil. Karena itu, katanya, wacana demokrasi perlu dilakukan terus untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat.
Urbanus Ola Hurek yang membedah buku ini dari perspektif politik mengatakan, ada tiga pilar utama penopang demokrasi yakni Negara, pelaku usaha dan masyarakat. Di Lembata, katanya, para pelaku bisnis di Lembata lemah dalam menopang demokrasi karena para pelaku bisnis ini hanya mengharapkan proyek dari pemrintah.
Ia juga mengatakan, masyarakat yang otonom, yang tergabung dalam partai politik dan LSM. Sekarang ini ada perkumpulan semua yang tergabung dalam partai politik ketika ada hajatan politik seperti pilkada, pilpres dan lain sebagainya dan setelah itu bubar.
”Jangan mengajak masyarakat saat Pilkada dengan cara-cara “kebaikan” seperti bunuh hewan kurban atau kebaikan-kebaikan semu lainnya” Begitu juga yang terlihat saat ini di mana sering terjadi konflik antarara pemerintah dan LSM sehingga sulit untuk mengkomunikasi dengan baik kepada masyarakat. (Maxi Gantung)
Peluncuran dan bedah buku dengan menghadirkan empat pembahas yakni Paulus Doni Ruing, yang membedah buku tersebut dari perspektif ekonomi, Urbanus Ola Hurek dari sisi ilmu politik, Ina Bibiana Rianghepat dari sisi gender dan Fredrikus Wilhelmus Wahon yang membedah buku tersebut dari regukasi publik. Peluncuran dan bedah buku ini merupakan hasil kerja kerjasama LAP Timoris dengan Lembaga Kajian Kebangsaan.
Viktus Murin, dalam sambutannya, mengatakan diksi atau pilihan kata “geliat” sengaja digunakan semata-mata untuk menegaskan bahwa praksis demokrasi di Lembata memang masih menggeliat, masih mencari bentuk,masih mengalami fase jatuh bangun. Demokrasi di Lembata adalah sebuah proses yang menjadi. Kita tetap optimis pada pertumbuhan demokrasi di Lembata. Tidak perlu rasa pesimis, apalagi apatis.
Viktus Murin mengatakan selama ini hampir di seantero nusantara dan mungkin saja di Lembata, rasa-rasanya kita sedang terjebak di antara dua pusaran politik yang ekstrem, yakni kegaduhan elit yang congkak di satu sisi dan euphoria massa yang pongah.
Buku “Geliat Demokrasi di kampong halaman” kata Viktus Murin, hadir dengan satu obsesi yang sederhana yakni mengajak kita untuk melihat ke dalam diri terlebih dahulu,mengambil waktu barang sejenak guna memasuki medan permenungan untuk akhirnya mampu menemukan kembali keluhuran nilai-nilai lokal di Lembata demi pencapaian cipta rasa dan karsa menuju masa depan Lembata yang lebih bermartabat.
Petrus Kopong Sira, mewakil direktur Lap Timoris, dalam sambutannya mengatakan, peluncuran buku ini untuk memperingati HUT Otonomi Lembata yang ke 10. Dengan buku ini, Viktus Murin mengetuk hati kita semua untuk menghargai dan memelihara demokrasi yang tengah berjalan saat ini.
Dalam membedah buku ini, baik keempat pembahas maupun para peserta “keluar dari esensi bedah buku itu sendiri”. Mereka lebih cenderung membedah kasus atau permasalahan yang tejadi selama ini di Lembata. Lukas Onek Narek mengatakan, forum ini tidak membedah buku ini, tapi hanya membedah kasus atau permasalahan yang terjadi selama 10 tahun di Lembata, yakni semenjak menjadi sebuah kabupaten.
Paulus Doni Ruing mengatakan, pembangunan di Lembata selama ini terjadi pemborosan. Ia melihat, pendekatan ekonomi kurang mendapat perhatian yang serius. Karena itu, diharapkan perlu ada kolabarosi dari berbagai pendekatan seperti pendekatan ekonomi, politik, sosial budaya dan lain sebagainya. “Perlu ada kolaborasi, tidak perlu jalan sendiri-sendiri. Kita perlu kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama”
Ina Bibiana Rianghepat mengatakan, yang paling ditekankan dalam buku geliat demokrasi di kampong halaman” itu adalah soal kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan spirit atau roh untuk membangun Lembata. Buku ini juga sebuah refleksi bagi kita.
Fredy Wahon mengatakan, undang-undang di Indonesia setiap saat berubah, yang menjadi korban adalah daerah-daerah. Di daerah, kata anggota dewan ini, belum melaksanakan undang-undang yang satu, pemerintah pusat sudah mencabut dan keluarkan undang-undangan baru. Ia mengatakan, demokrasi tanpa wacana tidak akan berhasil. Karena itu, katanya, wacana demokrasi perlu dilakukan terus untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat.
Urbanus Ola Hurek yang membedah buku ini dari perspektif politik mengatakan, ada tiga pilar utama penopang demokrasi yakni Negara, pelaku usaha dan masyarakat. Di Lembata, katanya, para pelaku bisnis di Lembata lemah dalam menopang demokrasi karena para pelaku bisnis ini hanya mengharapkan proyek dari pemrintah.
Ia juga mengatakan, masyarakat yang otonom, yang tergabung dalam partai politik dan LSM. Sekarang ini ada perkumpulan semua yang tergabung dalam partai politik ketika ada hajatan politik seperti pilkada, pilpres dan lain sebagainya dan setelah itu bubar.
”Jangan mengajak masyarakat saat Pilkada dengan cara-cara “kebaikan” seperti bunuh hewan kurban atau kebaikan-kebaikan semu lainnya” Begitu juga yang terlihat saat ini di mana sering terjadi konflik antarara pemerintah dan LSM sehingga sulit untuk mengkomunikasi dengan baik kepada masyarakat. (Maxi Gantung)
Sumber: Flores Pos, 14 Oktober 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!