Headlines News :
Home » » Resensi: Bagi Tuhan dan Tanah Air karya Anton Enga Tifaona

Resensi: Bagi Tuhan dan Tanah Air karya Anton Enga Tifaona

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, December 07, 2009 | 5:24 PM

Brapa puluh tahun laluBeta masih kacil eBeta ingat tempo itu
Sio mama gendong, gendong beta e…
La sampai besar begini, beta tra lupa mama e.

Lagu Sio Mama ciptaan Melky Goeslaw itu mengalun indah siang itu (28/11/09) di Libra Room, Hotel Sultan, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Lagu-lagu Ambon mengalun dengan riang, seperti Waktu Hutan Sore-sore, Sio Mama, Bawa Lari Bini, Pangkuan Ibu, Habis Dansa Pulang Tidur. Disusul sejumlah lagu pop Barat. Adakah hajatan orang Maluku di situ? Ternyata tidak.

Suara merdu yang melantunkan sejumlah tembang manis itu datang dari mantan Kapolda Maluku (1985-1986) Brigjen Pol (Purn) Drs. Antonius S.E. Tifaona bersama istri, Veronika Wilhelmina Nyo seusai acara Diskusi dan Bedah Buku, Bagi Tuhan dan Tanah Air (Pro Deo et Patria)-Jejak Karir dan Pengabdian karya Brigjen Pol (Purn) Antonius S.E. Tifaona.

Hari itu Pak Anton Tifaona dan Mama Onny, begitu istrinya biasa disapa, menampilkan sebuah duet yang kompak dan menghibur. Mereka terlihat serasi dan akrab. Satu demi satu undangan dan kenalan disapa mereka dengan penuh keakraban. Kegembiraan itu semakin lengkap dengan kehadiran anak-anak dan cucu-cucu.

Buku Bagi Tuhan dan Tanah Air ini diluncurkan berkenaan dengan peringatan 75 tahun usia Pak Anton dan 45 tahun usia perkawinannya dengan sang istri tercinta. Bedah buku itu dihadiri sejumlah mantan petinggi Polri, kenalan, dan pemuka masyarakat Flores. Di dalam buku ini Anton menuangkan semua pengalaman hidupnya, terutama selama berkarir sebagai anggota Polri.

Anton Tifaona termasuk sedikit dari putra Flores yang meniti karir di kepolisian RI dan mencapai pangkat Brigadir Jenderal. Walau demikian, selama berkarir, Anton telah mengukir banyak prestasi, antara lain Kapolda Maluku (1985-1986), Kapolda Sulutteng (1986-1988) dan Wakapolda Jawa Barat (1988-1989). Dikenal sebagai pribadi yang jujur, memasuki masa pensiun Anton hidup sederhana. Ia masih prihatin dengan keadaan NTT yang belum keluar dari kemiskinan, sebagaimana ikut disentil oleh Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun sebagai moderator pada acara itu.

Kehendak Tuhan

Kisah cinta Anton dan Onny memang unik. Sebelum melamar Onny, Anton sudah jadi Danres Ngada. Tentu saja ada banyak gadis yang melirik pada pria yang jagoan sepak bola itu. Akhirnya hati Anton jatuh kepada Nona Onny Nyo. Uniknya, tulis Pak Anton, pernikahan mereka dimeriahkan dengan pertandingan sepak bola usai pemberkatan nikah di gereja. Mempelai pria yang masih lengkap dengan pakaian pengantin dipersilahkan melakukan “tendangan bola pertama” untuk membuka pertandingan secara resmi. Pesta pernikahan berlangsung beberapa hari. Juga karena yang menikah adalah seorang Danres, maka seluruh sekolah diliburkan agar bisa ikut bergembira pada saat itu.

Pak Anton lahir di Imulolo, Lembata, Flores Timur, pada 21 Agustus 1934 dan menerima Sakramen Perkawinan pada 1964 di Bajawa. Saat itu Anton sudah jadi Danres Ngada. Pasutri taat beragama ini dikarunia 9 anak, yang kini sudah memberi sejumlah cucu kepada Pak Anton dan Mama Onny Nyo.

Pak Anton pun menulis, “Pada saat menulis otobiografi ini, ada hal yang berkesan dalam hidup dan perjalanan karir saya. Terutama dalam usia yang semakin lanjut, adalah keluarga saya yang menjadi inspirator, motivator, dan stimulator utama yang harus saya kedepankan. Saya mempunyai istri yang sangat setia, sangat rela berkorban untuk suami, anak-anak dan cucu-cucunya. Seorang pendamping suami yang tidak banyak menuntut, tetapi senantiasa mensyukuri pemberian Tuhan yang ada. Seorang ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya, dan selalu rela berkorban untuk mereka. Ibu yang menuntun, mengarahkan, membimbing anak-anak dalam mengenal diri mereka, dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama.

Istri saya adalah seorang ibu rumah tangga panutan, yang sangat tekun berdoa, berkorban, dan mengabdi. Terima kasih Mama (baca: Mama Onny Nyo, Red.). Mama telah mendampingi saya untuk hidup jujur, terbuka, saling menerima apa adanya, saling menghormati, saling mengampuni dan saling menasehati sehingga kita bisa hidup seperti adanya kita sekarang. Tuhan memberkati Mama.”(hal.236).

Pasutri Anton dan Onny Nyo Tifaona dikaruniai Tuhan sepuluh anak. Sayang, anak ke-10, yakni Fransiskus Igo Tifaona (Frangky) meninggal sesaat setelah dilahirkan. Kini ke-9 anak mereka sudah memberikan cucu-cucu yang lucu, yang menghibur hati Pak Anton dan Mama Onny setiap hari. Sembilan anak tersebut adalah Thomas Simon Petrus Tifaona (Tommy), Rosa Susana Somi Tifaona (Ina), Alexander Benedictus Bala Tifaona (Leksi), Daniel Boli Hironimus Tifanona (Denny), Bernardus Paskalis Geroda Tifaona (Bernard), Margaretha Yuliana Kelosum Tifaona (Sandra), Sophia Barek Tifaona (Sofi), Theresia Carolina Budi Tifaona (Thres), dan Josephina Kewa Tifaona (Joice).

Perjalanan hidup berkeluarga selama 45 tahun bukanlah tanpa kerikil tajam dan tebing terjal. Namun, yang pasti segala suka dan duka itu mereka serahkan kepada Tuhan Mahakuasa. Sebagai anggota polisi, Pak Anton harus bersikap tegas dalam menjalankan tugas. Sementara Mama Onny tetap setia, tabah dan sabar mendampinginya. Sebagai orang beriman Katolik, Mama Onny tak pernah lepas dari kekuatan doa kepada Tuhan.

“Ketika memimpin, Bapak memang sangat tegas, tapi dalam hidup keseharian, Bapak itu orangnya sangat baik hati termasuk dalam mendidik anak-anaknya,” tutur Mama Onny (hal.259). Mama Onny bercerita, suatu ketika di Surabaya, keempat anak lelakinya (Tommy, Leksi, Daniel, dan Bernard) membawa mobil dinas sang bapak untuk acara bersama teman-teman mereka. Saat pulang tengah malam, ternyata Pak Anton sudah menunggu. Keempat anak lelaki itu dimarahi habis-habisan dan disuruh mencuci mobil hingga bersih. Akibatnya mereka baru tidur pada pukul 05.00. “Itu bukan mobil Bapak. Itu mobil dinas Kapolda dan hanya Kapolda yang bisa naik. Kapolda itu tidak punya anak. Hanya kamu anaknya Anton Tifaona. Harus bisa disiplin, sadar, dan tahu diri.” Begitu nasehat Pak Anton pada mereka.

Tommy yang mengaku mewarisi hampir semua hobi Bapak Anton mengatakan, walau mendapat didikan keras dari sang ayah, namun ia bahagia. Apalagi ia punya ibu yang sangat lembut dan penuh perhatian. “Waktu Papa masih dinas, kami tidak merasa sebagai anak pejabat. Papa tidak mengajarkan kami untuk bersikap sombong atau tinggi hati karena menjadi anak pejabat,” kenang Sofi, Thres dan Joice.

Anak-anak itu sangat merasakan perhatian dan kasih kedua orangtua mereka. Di mana saja Pak Anton berada karena tugas, ia selalu menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Kata Mama Onny, selain mereka punya sembilan anak, tapi masih ada tiga keponakan yang ikut tinggal dengan mereka hingga selesai kuliah.

Jalan mulus

Sempat dibina di Seminari Menengah Mataloko selama empat tahun, Anton kemudian memilih keluar dan melanjutkan sekolah di SMA Syuradikara di Ende. Tahun 1957 ia memasuki pendidikan kepolisian (Sekolah Pendidikan Polisi, SPN) di Sukabumi, Jawa Barat, dan menjadi lulusan terbaik saat itu. Sejak itu perjalanan karir Anton seakan tampak mulus dan diberkati Tuhan: Danres (Kapolres) Ngada (1963-1965), Sekpri Pangandak, Kalimantan (1967), Komandan Polisi Airud Wilayah II Kalimantan (1968-1976), Dantarres Khusus Timtim (1977-1978), PABAN IV, Asisten Operasi Kapolri (1979-1983), Asisten Operasi Sapu Jagat di Jakarta (1981), Asisten Operasi di Polda Jawa Timur (1983-1985), Irpolda Jawa Timur (1985), Kapolda Maluku (1985-1986), Kapolda Sulutteng (1986-1988), Wakapolda Jawa Barat (1988-1989), Dewan Hankamnas (1990-1996), Komisaris utama pada salah satu anak perusahaan Yayasan Bharata Bhakti Polri, Yayasan Kejuangan Jenderal Sudirman, Ketua Bidang Administrasi Personil Badan Penyelenggara UPN Veteran (1996-2000). Ini sebuah perjalanan yang panjang, yang diwarnai dengan suka dan duka. Banyak hal sudah dibuat kepada masyarakat yang dilayaninya, hanya karena ia sungguh mengimani Yesus Kristus. Cinta kepada Tuhan ia wujudkan dalam cinta kepada sesama.

Syukur kepada Tuhan

Pada karir yang begitu panjang, terselip sebuah spiritualitas dari pasangan suami istri Katolik ini: doa. Doa menjadi kekuatan Pak Anton dalam menjalankan tugas-tugas penting di kepolisian yang dipercayakan kepadanya. Kepada bawahannya ia meminta agar mereka selalu memulai tugas kerja dengan berdoa. Kebiasaan berdoa sebelum dan sesudah kerja yang ia terapkan di Kapolda Sulutteng itu ternyata diadopsi oleh Mabes Polri dan diberlakukan secara nasional. Sekarang bisa disaksikan, kalau saat apel pagi dan saat pulang kantor, di Kepolisian selalu ada doa. Selain berdoa, Pak Anton juga dikenal sebagai pelopor kebijakan memakai helm dan kebijakan “buka-tutup” di jalur Puncak, Bogor.

Perjalanan panjang dharma baktinya sebagai anggota Bhayangkara berakhir pada 1 September 1989. Tapi satu hal yang membanggakan Pak Anton ialah bisa beraudiensi dengan Paus Yohanes Paulus II di Roma, dalam kunjungan kerja sebagai anggota Dewan Hankamnas ke Vatikan. Pak Anton dan Mama Onny amat bahagia beraudiensi, apalagi setelah itu mereka mendapat berkat apostolik dari Paus Yohanes Paulus II.

Menjalani hari-hari di masa tua ini, di luar kegiatan sosial, sehari-hari Pak Anton menyibukkan diri dengan membuat Rosario (Kontas) di rumahnya sembari bersenda gurau dengan cucu-cucunya. Semua ini sangat menyenangkan dan membahagiakan pasutri Katolik ini. Maka, sesungguhnya, apa yang mau dikatakan Pak Anton dalam bukunya ini, tak lain adalah “Syukur kepada Allah.” (Stef Tokan)
Sumber teks: Majalah HATI BARU Jakarta
Ket foto: Buku Bagi Tuhan dan Tanah Air karya Anton Tifaona.
Foto: dok. Ansel Deri
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger