Headlines News :
Home » » Kekerasan di (Freeport) Papua

Kekerasan di (Freeport) Papua

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, December 07, 2009 | 5:15 PM

Oleh Diaz Gwijangge
Aktivis Elsham Papua, kini anggota DPR RI

HARIAN Kompas menurunkan berita penembakan di area kerja PT. Freeport Indonesia. Sebuah kelompok tak dikenal menembak iring-iringan bus yang mengangkut karyawan Freeport menuju tempat kerja saat melintas di Mile 42 dan Mile 43 sekitar pukul 09.30 WIT. Insiden itu melukai dua karyawan Freeport.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Agus Rianto menjelaskan, dua karyawan yang terluka itu adalah pengemudi bus nomor 189 bernama Rudi Palanding dan penumpang bus nomor 203 bernama Kristian. Rudi terluka ringan, tertembak di jari tangan. Kristian memang agak parah.

Rianto memastikan insiden itu tak ada sangkut paut dengan acara pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Teror bersenjata di Papua telah terjadi 15 kali pada tahun 2009, 11 di antaranya terkait Freeport. Frekuensi penembakan meningkat sejak Juli 2009 (Kompas, 21/10 2009).

Kekerasan

Sepintas, ada irasionalitas dalam relasi kehidupan masyarakat (Papua), terutama yang bermukim di sekitar areal perusahaan pertambangan skala besar seperti Freeport. Akal sehat kita segera terkuras. Aneka pertanyaan berkelebat. Apa sesungguhnya makna kekerasan (baca: penembakan) seperti itu? Apakah dalam pikiran pelaku hanya berlaku kata-kata: kekerasan adalah satu-satunya bahasa yang saya pahami?

Ada apa di balik insiden kekerasan Freeport (juga Papua)? Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan —hingga batas tertentu— kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk —kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak —seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.

Teror penembakan di kawasan Freeport, bukan kali ini saja. Bahkan jauh sebelum itu. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mencatat, tindak kekerasan termasuk penembakan sudah terjadi 1977. Freeport, kata Koordinator Elsam Amiruddin Al Rahab, menjadi biang kerok kekerasan. Kehadiran perusahaan tambang raksasa asal AS itu di Tanah Papua mengandung masalah serius, sehingga tak mengherankan tindak kekerasan masih terus berlangsung hingga saat ini (Kompas, 16 Juli 2009).

Biang kerok

Berdasarkan studi Elsam yang banyak mengkaji persoalan Papua, ada dua hal pokok di kawasan tambang emas dan tembaga tersebut sehingga tindak kekerasan masih berlanjut. Pertama, kehadiran Freeport tidak memberikan perbaikan hidup bagi orang asli Papua yang tinggal di sekitar kawasan tersebut. Kedua, sejak Freeport hadir di sana, pola interaksi antarpersonal maupun suku berubah. Hal ini disebabkan migrasi besar-besaran orang luar Papua masuk ke daerah tersebut. Data menunjukkan, 70 persen penduduk kota Timika adalah pendatang.

Hasil studi seperti itu bisa dimaklumi. Kalangan LSM seperti Elsam maupun Elsham Papua maupun Papua Barat tentu selalu mengamati dinamika sosial —termasuk politik - masyarakat di dua wilayah propinsi kepala burung tersebut. Termasuk dalam insiden penembakan yang baru saja terjadi di Mile 42 dan Mile 43. Jika dicermati, insiden penembakan yang kerap terjadi di (Freeport) Papua, muncul karena ada sejumlah hal. Pertama, terkait adanya indikasi persaingan global karena Freeport merupakan perusahaan tambang besar. Kedua, ada kesenjangan (gap) antara perusahaan dengan masyarakat Papua, terutama yang bermukim di sekitarnya. Masyarakat, terutama di lingkar tambang, mungkin tak jauh seperti tamu di rumah sendiri.

Selain itu, hemat saya ada alasan lain. Pertama, pendekatan militer (military approach) yang berlebihan hingga berimbas pada pelanggaran hak-hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap hak-hak ulayat penduduk lokal. Kedua, termarginalka dan terabaikannya konpensasi atau ganti rugi atas tanah ulayat penduduk lokal. Hemat saya, alasan kedua ini yang lebih mengarah pada sebab munculnya aksi kekerasan di (Freeport) Papua. Insiden penembakan seperti itu, tentu menjadi bahan refleksi bagi semua pemangku kepentingan, terutama Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota serta perusahaan-perusahaan yang beroperasi di tanah Papua seperti Freeport.

Persis di titik inilah catatan Steph Tupeng Witin masih relevan dicamkan. Pertama, perhatikan kesejahteraan rakyat Papua. Salah satu akar (penembakan) adalah kesenjangan ekonomi yang terkait dengan kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan mengandaikan kepekaan segenap elemen untuk tidak begitu mudah mengabaikan partisipasi rakyat dalam menikmati kue kesejahteraan itu. Artinya, ada konsensus yang jelas dan tegas terkait dengan proses pembangunan yang tentu saja akan berhubungan dengan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam. Jangan sampai timbul kesan bahwa orang-orang lokal sepertinya "dijajah" secara ekonomis oleh "orang luar". Apalagi "orang luar" merasa superior karena latar belakang pendidikan, pengalaman, dan pengetahuan.

Kedua, kita berharap agar rakyat Papua sendiri terbuka untuk menerima "orang lain". Rakyat Papua (mengutip Rizal Mallarangeng) harus menjadi modern. Jalan menuju modernitas hanya mungkin ketika pintu bagi daerah ini terbuka luas. Konflik dan kompetisi pasti terjadi sebagai pemicu untuk beradaptasi dengan zaman. Bila kenyataan ini ditutupi dengan argumen moral sentimental, kita sebenarnya sedang menggiring warga Papua hidup bagai di 'kebun binatang'. Haruskah mereka terus hidup di gunung dan lembah tanpa perlu tahu dunia bergerak cepat?"

Pendekatan keterbukaan ini dalam kerangka NKRI disertai penghargaan terhadap eksistensi, potensi, dan kearifan. Sudah saatnya tanah Papua tidak lagi dijadikan lahan empuk untuk mengeruk keuntungan sepuas-puasnya. Semoga tanah Papua tidak sekadar menjadi garis pinggir dalam catatan sejarah pembangunan Indonesia (Koran Tempo, 12 Agustus 2009).

Bahkan, Khudori memberikan catatan penting lainnya. Sejak otonomi dan desentralisasi, dana APBN banyak yang mengalir ke daerah-daerah dalam bentuk dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan bagi hasil. Jika dipelototi, hanya 35 persen belanja APBN yang merupakan belanja pemerintah pusat murni. Sisanya adalah belanja pemerintah daerah serta belanja pemerintah pusat di daerah melalui dana dekonsentrasi, tugas perbantuan serta subsidi.

Sayangnya, meskipun 65 persen APBN berputar di daerah, dana tersebut tidak linier dengan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebanyak 18 dari 33 propinsi mengalami peningkatan jumlah warga miskin, di 15 propinsi sisanya jumlah kemiskinan menurun. Korelasi antara transfer per kapita dan presentase penduduk miskin rentang 2006–2007 hanya 0,5, bahkan mendekati nol (Koran Tempo, 26/8 2009). Apakah insiden penembakan di awal tulisan tadi juga terkait dengan pengelolaan anggaran di daerah? Atau semata-mata akibat Freeport yang tak care terhadap masyarakat Papua, terutama yang bermukim di sekitar area perusahaan? Kita bisa menebak, tetapi mungkin hanya Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota, dan masyarakat yang tahu soal ini.
Sumber: Papua Time, 25 Oktober 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger