Oleh Max Regus
alumnus Pasca Sarjana Sosiologi UI,
Koordinator Parrhesia Institute Jakarta
alumnus Pasca Sarjana Sosiologi UI,
Koordinator Parrhesia Institute Jakarta
DEMOKRASI adalah kemewahan. Begitulah yang secara kasat mata dialami publik (rakyat) berhadapan dengan mekanisme demokratisasi politik selama satu dekade terakhir ini.
Alih-alih ingin membangun demokrasi dewasa, sehat, matang dan beradab, justru kejahatan korupsi seolah menjadi capaian tunggal; seperti gelombang yang memukul kehidupan rakyat. Publik terdiam di sudut ketidakberdayaan; kemiskinan; kesengsaraan.
Pilkada (pemilihan kepala daerah) merupakan ungkapan demokratisasi politik di level lokal. Sesuatu yang amat dekat dengan rakyat. Yang sebagian besar masih harus berbaris dalam antrean menunggu perbaikan nasib. Tak beranjak dari kemiskinan dan kemelaratan. Demokrasi tidak koheren dengan kesejahteraan. Ini sebagian dari kecemasan yang terus menumpuk tentang hasil akhir dari segenap perhelatan pilkada. Dua di antaranya akan dilaksanakan di ujung Pulau Flores, pada tahun 2010 ini.
Ada kebutuhan penyelenggaraan pilkada berkualitas. Bukan saja proses, tetapi hasil yang akan muncul dari perhelatan ini. Para pemimpin yang menjadi bagian dari kecemasan publik.
Diandaikan para pelaku pilkada mengerti dengan jujur bahwa sesi politik ini hanya 'batu loncatan' menuju perwujudan tanggung jawab untuk membangun kehidupan daerah menyentuh kemakmuran sosial. Semua pihak, baik rakyat, namun terutama para elite politik lokal, mesti menyadari persoalan mendasar ini.
Kritis
"APBD Demi Menangi Pilkada", demikian salah satu judul berita Kompas dalam kolom Politik dan Hukum, untuk memberikan awasan terhadap penyelenggaraan pilkada (Kompas 12/12/2009). Penyusunan anggaran pemerintah daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah perlu diawasi secara ketat menjelang pilkada. Lanjut Kompas, biasanya dana hibah dan bantuan sosial akan meningkat menjelang pilkada.
ICW dalam kerja sama dengan Universitas Murdoch melakukan sebuah penelitian untuk melihat hubungan pengelolaan kepentingan politik dalam penggunaan anggaran belanja daerah. Ini tidak dapat ditampik mengingat pilkada masih mengandalkan 'popularitas' kandidat. Mereka membutuhkan banyak uang untuk membangun citra politik dan membeli dukungan politik. Sinyalemen ini mirip apa yang diungkapan Arif Nur Alam, Direktur Indonesia Budget Center (IBC), seputar persoalan kaitan antara hibah sosial dan kepentingan politik kandidat Bupati (Kompas 2/1/2010). Bantuan sosial yang diberikan kepada ormas dan kelompok sosial bisa dipergunakan sebagai 'mesiu' ampuh meraih dukungan politik.
Pemikiran kritis ini amat penting untuk diperhatikan publik dan jejaring demokrasi lokal. Ini akan membunuh kesadaran politik warga. Terutama, mematikan kontrol elemen masyarakat sipil terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Biasanya, bantuan sosial ini diberikan kepada institusi-institusi utama di tingkat lokal; entah kelompok agama maupun kelompok kuat lainnya.
Tindakan ini bisa meraup dua keuntungan: kemenangan politik dan kuncian terhadap fungsi kritis publik.
Terutama, ini berhubungan dengan para kandidat yang bersentuhan langsung dengan budget pembangunan daerah. Mereka yang mengatur keuangan daerah. Di sini, dalam perspektif pembacaan dua pertimbangan kritis di atas, calon 'incumbent' (yang sedang berkuasa) dan kandidat lain yang mempunyai posisi kuat di level birokrasi cenderung memiliki keuntungan khusus. Kasarnya, anggaran pembangunan daerah akan dipergunakan sebagai 'bensin' kendaraan politik. Pilkada, dengan ini, menjadi saat kritis pembenahan demokrasi dan kemakmuran lokal.
Investasi
Bukan perkara gampang mendapatkan legitimasi awal untuk meraih tiket pertarungan pilkada. Seorang calon yang merasa tidak memiliki basis massa akan berusaha merebut dukungan parpol. Mereka harus bisa; terutama mesti merayu para petinggi parpol. Mulai dari kampung hingga ke pusat. Rayuannya bukan tanpa biaya. Butuh uang yang tidak sedikit jumlahnya.
Sama halnya para kandidat yang menempuh jalur independen. Biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Mereka berjalan tanpa mesin partai politik. Mereka berusaha meraih dukungan langsung massa. Mereka harus merebut simpati publik. Para calon independen ini akan bersaing dengan kandidat yang memiliki jaringan ke dalam sejumlah partai politik; juga mesin birokrasi.
Dengan atau tanpa dukungan partai politik, rasanya melalui jalur mana pun untuk meraih kemenangan, para kandidat niscaya membutuhkan uang. Ironisnya, mendapatkan uang di daerah miskin bukan pekerjaan mudah. Namun, jika para kandidat memiliki uang untuk merebut kemenangan politik, tentu ini merupakan 'berkah' untuk segenap kandidat. Namun, mungkin akan menjadi awal 'kiamat' untuk publik. Pilkada akan menjadi semacam 'investasi' ekonomi semua pihak yang menggerakkan sirkuit pilkada.
Di hadapan publik, terus terang, pilkada cenderung memunculkan para dermawan politik selama dua hingga lima bulan. Mereka akan menampilkan diri sebagai 'juru selamat' politik dengan janji pembebasan rakyat dari kemiskinan. Yang punya uang akan membagikan uang kepada rakyat. Alhasil, begitu berada di puncak kekuasaan, para elite kekuasaan dengan segera berubah menjadi kerumunan pialang politik dan ekonomi yang rakus. Mereka mengutamakan konco politik. Termasuk, para pemilik modal yang mendukung (membeli) kandidat terpilih. Investasi politik yang menyesatkan publik.
Akumulasi
Jean-Pascal Daloz, pendiri French Research Institute (IFRA) Nigeria Branch dan Direktur Southern African Branch menulis artikel yang bagus - Big Menöin Sub-Saharan Africa: How elites Accumulate Position and Resources (2003) - untuk menggambarkan bagaimana elite politik membangun kekuatan politik. Para elite menyusun portofolio politik dengan pijakan pada posisi yang sedang mereka genggam, sekaligus sumber daya politik dan ekonomi yang mereka raup dari posisi kekuasaan.
Ini menjadi menarik untuk menggambarkan bagaimana para elite politik lokal mengorganisasikan kekuatan untuk mencapai pusat kekuasaan. Dengan bahasa yang terang, para kandidat dari level birokrasi akan menggunakan posisi kekuasaan membentuk kekuatan yang tidak bisa ditandingi. Terutama, karena mereka mempunyai kekuatan finansial. Mereka yang sedang berkuasa akan memanfaatkan kedudukan itu untuk mengakumulasikan kekuatan politik.
Uang menjadi sumber daya politik yang sangat dibutuhkan meskipun tidak penting. Seorang bupati yang sedang berkuasa lalu berambisi mempertahankan kekuasaan membutuhkan dukungan (uang). Dalam terang analisis Jean-Pascal Daloz, pada keadaan semacam ini, dia mempunyai keuntungan 'lebih' dengan memainkan anggaran daerah untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan. Minimal menciptakan citra politik populis di hadapan rakyat. Sebaliknya, kandidat yang tidak berkuasa tergoda menerima 'bantuan' para pemilik modal untuk membereskan biaya politik.
Para elite yang hanya sibuk mengakumulasi posisi dan sumber daya politik untuk kemenangan kekuasaan akan membuat semakin parah keadaan sosial. Di kemudian hari, mungkin ada hasil yang menggelikan, kecenderungan para kandidat terpilih selekasnya menjadi sombong. Memperlakukan diri sebagai dewa yang harus disembah. Kelompok intelektual yang mencoba 'peruntungan' pada lingkaran kekuasaan akan menjadi kerumunan elite yang kehilangan pertimbangan rasional dalam akhlak dan perilaku politik.
Lembaga sosial (civil society) yang terlanjur menerima 'hibah' sosial dari kandidat terpilih akan ikut-ikutan 'mendiamkan' kemungkinan penyelewengan dana pembangunan. Yang terjadi adalah akumulasi kejahatan dalam sudut pandang demokratisasi lokal. Begitulah, kemungkinan, harga pilkada kita!
Alih-alih ingin membangun demokrasi dewasa, sehat, matang dan beradab, justru kejahatan korupsi seolah menjadi capaian tunggal; seperti gelombang yang memukul kehidupan rakyat. Publik terdiam di sudut ketidakberdayaan; kemiskinan; kesengsaraan.
Pilkada (pemilihan kepala daerah) merupakan ungkapan demokratisasi politik di level lokal. Sesuatu yang amat dekat dengan rakyat. Yang sebagian besar masih harus berbaris dalam antrean menunggu perbaikan nasib. Tak beranjak dari kemiskinan dan kemelaratan. Demokrasi tidak koheren dengan kesejahteraan. Ini sebagian dari kecemasan yang terus menumpuk tentang hasil akhir dari segenap perhelatan pilkada. Dua di antaranya akan dilaksanakan di ujung Pulau Flores, pada tahun 2010 ini.
Ada kebutuhan penyelenggaraan pilkada berkualitas. Bukan saja proses, tetapi hasil yang akan muncul dari perhelatan ini. Para pemimpin yang menjadi bagian dari kecemasan publik.
Diandaikan para pelaku pilkada mengerti dengan jujur bahwa sesi politik ini hanya 'batu loncatan' menuju perwujudan tanggung jawab untuk membangun kehidupan daerah menyentuh kemakmuran sosial. Semua pihak, baik rakyat, namun terutama para elite politik lokal, mesti menyadari persoalan mendasar ini.
Kritis
"APBD Demi Menangi Pilkada", demikian salah satu judul berita Kompas dalam kolom Politik dan Hukum, untuk memberikan awasan terhadap penyelenggaraan pilkada (Kompas 12/12/2009). Penyusunan anggaran pemerintah daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah perlu diawasi secara ketat menjelang pilkada. Lanjut Kompas, biasanya dana hibah dan bantuan sosial akan meningkat menjelang pilkada.
ICW dalam kerja sama dengan Universitas Murdoch melakukan sebuah penelitian untuk melihat hubungan pengelolaan kepentingan politik dalam penggunaan anggaran belanja daerah. Ini tidak dapat ditampik mengingat pilkada masih mengandalkan 'popularitas' kandidat. Mereka membutuhkan banyak uang untuk membangun citra politik dan membeli dukungan politik. Sinyalemen ini mirip apa yang diungkapan Arif Nur Alam, Direktur Indonesia Budget Center (IBC), seputar persoalan kaitan antara hibah sosial dan kepentingan politik kandidat Bupati (Kompas 2/1/2010). Bantuan sosial yang diberikan kepada ormas dan kelompok sosial bisa dipergunakan sebagai 'mesiu' ampuh meraih dukungan politik.
Pemikiran kritis ini amat penting untuk diperhatikan publik dan jejaring demokrasi lokal. Ini akan membunuh kesadaran politik warga. Terutama, mematikan kontrol elemen masyarakat sipil terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Biasanya, bantuan sosial ini diberikan kepada institusi-institusi utama di tingkat lokal; entah kelompok agama maupun kelompok kuat lainnya.
Tindakan ini bisa meraup dua keuntungan: kemenangan politik dan kuncian terhadap fungsi kritis publik.
Terutama, ini berhubungan dengan para kandidat yang bersentuhan langsung dengan budget pembangunan daerah. Mereka yang mengatur keuangan daerah. Di sini, dalam perspektif pembacaan dua pertimbangan kritis di atas, calon 'incumbent' (yang sedang berkuasa) dan kandidat lain yang mempunyai posisi kuat di level birokrasi cenderung memiliki keuntungan khusus. Kasarnya, anggaran pembangunan daerah akan dipergunakan sebagai 'bensin' kendaraan politik. Pilkada, dengan ini, menjadi saat kritis pembenahan demokrasi dan kemakmuran lokal.
Investasi
Bukan perkara gampang mendapatkan legitimasi awal untuk meraih tiket pertarungan pilkada. Seorang calon yang merasa tidak memiliki basis massa akan berusaha merebut dukungan parpol. Mereka harus bisa; terutama mesti merayu para petinggi parpol. Mulai dari kampung hingga ke pusat. Rayuannya bukan tanpa biaya. Butuh uang yang tidak sedikit jumlahnya.
Sama halnya para kandidat yang menempuh jalur independen. Biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Mereka berjalan tanpa mesin partai politik. Mereka berusaha meraih dukungan langsung massa. Mereka harus merebut simpati publik. Para calon independen ini akan bersaing dengan kandidat yang memiliki jaringan ke dalam sejumlah partai politik; juga mesin birokrasi.
Dengan atau tanpa dukungan partai politik, rasanya melalui jalur mana pun untuk meraih kemenangan, para kandidat niscaya membutuhkan uang. Ironisnya, mendapatkan uang di daerah miskin bukan pekerjaan mudah. Namun, jika para kandidat memiliki uang untuk merebut kemenangan politik, tentu ini merupakan 'berkah' untuk segenap kandidat. Namun, mungkin akan menjadi awal 'kiamat' untuk publik. Pilkada akan menjadi semacam 'investasi' ekonomi semua pihak yang menggerakkan sirkuit pilkada.
Di hadapan publik, terus terang, pilkada cenderung memunculkan para dermawan politik selama dua hingga lima bulan. Mereka akan menampilkan diri sebagai 'juru selamat' politik dengan janji pembebasan rakyat dari kemiskinan. Yang punya uang akan membagikan uang kepada rakyat. Alhasil, begitu berada di puncak kekuasaan, para elite kekuasaan dengan segera berubah menjadi kerumunan pialang politik dan ekonomi yang rakus. Mereka mengutamakan konco politik. Termasuk, para pemilik modal yang mendukung (membeli) kandidat terpilih. Investasi politik yang menyesatkan publik.
Akumulasi
Jean-Pascal Daloz, pendiri French Research Institute (IFRA) Nigeria Branch dan Direktur Southern African Branch menulis artikel yang bagus - Big Menöin Sub-Saharan Africa: How elites Accumulate Position and Resources (2003) - untuk menggambarkan bagaimana elite politik membangun kekuatan politik. Para elite menyusun portofolio politik dengan pijakan pada posisi yang sedang mereka genggam, sekaligus sumber daya politik dan ekonomi yang mereka raup dari posisi kekuasaan.
Ini menjadi menarik untuk menggambarkan bagaimana para elite politik lokal mengorganisasikan kekuatan untuk mencapai pusat kekuasaan. Dengan bahasa yang terang, para kandidat dari level birokrasi akan menggunakan posisi kekuasaan membentuk kekuatan yang tidak bisa ditandingi. Terutama, karena mereka mempunyai kekuatan finansial. Mereka yang sedang berkuasa akan memanfaatkan kedudukan itu untuk mengakumulasikan kekuatan politik.
Uang menjadi sumber daya politik yang sangat dibutuhkan meskipun tidak penting. Seorang bupati yang sedang berkuasa lalu berambisi mempertahankan kekuasaan membutuhkan dukungan (uang). Dalam terang analisis Jean-Pascal Daloz, pada keadaan semacam ini, dia mempunyai keuntungan 'lebih' dengan memainkan anggaran daerah untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan. Minimal menciptakan citra politik populis di hadapan rakyat. Sebaliknya, kandidat yang tidak berkuasa tergoda menerima 'bantuan' para pemilik modal untuk membereskan biaya politik.
Para elite yang hanya sibuk mengakumulasi posisi dan sumber daya politik untuk kemenangan kekuasaan akan membuat semakin parah keadaan sosial. Di kemudian hari, mungkin ada hasil yang menggelikan, kecenderungan para kandidat terpilih selekasnya menjadi sombong. Memperlakukan diri sebagai dewa yang harus disembah. Kelompok intelektual yang mencoba 'peruntungan' pada lingkaran kekuasaan akan menjadi kerumunan elite yang kehilangan pertimbangan rasional dalam akhlak dan perilaku politik.
Lembaga sosial (civil society) yang terlanjur menerima 'hibah' sosial dari kandidat terpilih akan ikut-ikutan 'mendiamkan' kemungkinan penyelewengan dana pembangunan. Yang terjadi adalah akumulasi kejahatan dalam sudut pandang demokratisasi lokal. Begitulah, kemungkinan, harga pilkada kita!
Sumber: Pos Kupang, 8 Januari 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!