Kepala Desa Kawela, Kecamatan Wota Ulumado, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Kristo Noe begitu tercengang mendengar dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran NTT tahun 2010 senilai Rp 12,2 triliun.
Dia tercengang karena nilai daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) terus melambung. Sebaliknya, sejumlah proposal untuk mengatasi berbagai masalah pedesaan tidak dipenuhi, bahkan masalah seolah tetap dibiarkan menemani masyarakat.
Sebagai contoh, permohonan pembangunan ruas jalan di kampungnya yang menghubungkan Kawela-Mewet (5 km) sejak 2004 tidak pernah dikerjakan tuntas. Hanya ada janji dan janji dari pemerintah, sementara jaringan jalan tetap berupa jalan tanah.
”Kami juga mengajukan proposal ke Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTT tahun 2009 untuk membangun 400 unit pusat listrik tenaga surya atau PLTS di desa kami, tetapi tidak pernah ditanggapi. Padahal, tahun 2009 NTT mendapat DIPA senilai Rp 12,1 triliun. Ke mana sajakah dana sebesar itu,” tanya Noe.
Desa Kawela tak memiliki jaringan jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat. Juga tak ada penerangan listrik. Hanya ada sumber air sehingga bisa mengurangi derita masyarakat.
Noe mengaku, ia bersama 20 tokoh masyarakat Kawela, Kamis (7/1), pergi ke Larantuka, kota Kabupaten Flores Timur, dengan perahu motor. Mereka menanyakan janji pemerintah setempat membangun ruas jalan Kawela–Baniona, setelah ia membaca koran lokal Pos Kupang mengenai DIPA NTT 2010 senilai Rp 12,2 triliun.
Sambil menggelengkan kepala, Noe menunjukkan berita media itu kepada rekan tokoh masyarakat lainnya. ”Saya langsung bertanya kepada teman-teman dari desa, mengapa selama ini kita minta bantuan selalu dijawab tidak ada dana. Lalu, ke mana saja dana sebanyak itu?”
Masyarakat berjuang sendiri dengan kemiskinan, busung lapar, kesulitan air bersih, dan infrastruktur terbatas. Pejabat sesekali turun dan sekali lagi umbar janji. Bantuan diberikan, tetapi ala kadarnya saja. Pejabat daerah umumnya hanya mau menyenangkan parpol, tim sukses, rekanan pengusaha, serta membagi-bagi kekuasaan, jabatan, dan proyek.
Agnes Sasi, anggota Badan Permusyawaratan Desa, Desa Nenas, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), mengatakan, setiap tahun pemerintah minta data dan masukan melalui musyawarah rencana pembangunan desa, tetapi usulan dan masukan dari desa tak pernah terealisasi.
”Kepada bupati, gubernur, dan DPRD selama 2008 dan 2009, kami dari Desa Nenas minta pembangunan air bersih, penempatan tenaga medis di puskesmas pembantu, dan tenaga penyuluh pertanian, tetapi tidak pernah dipenuhi. Anehnya, dalam setiap kunjungan ke desa, mereka selalu mengatakan desa itu ujung tombak pembangunan,” kata Sasi.
Hampir semua desa di TTS kesulitan air bersih. Saat kemarau, ratusan anak di kabupaten itu diare sampai tingkat keadaan luar biasa (KLB) akibat kesulitan air bersih. Namun, masalah air bersih tak pernah diatasi tuntas, di tengah angka DIPA NTT yang terus meningkat.
Tahun 2007, DIPA NTT Rp 6 triliun, tahun 2008 (Rp 10,7 triliun), 2009 (Rp 12,1 triliun), dan 2010 (Rp 12,2 triliun). Jumlah DIPA meningkat, tetapi angka kemiskinan, busung lapar, dan gizi buruk pun bertambah.
Alex Benu (49), petani dari Desa Nune, Kecamatan Kot’olin, TTS, mengatakan, jika dana Rp 12,2 triliun itu dibagi kepada 4,3 juta penduduk di NTT, setiap penduduk mendapat Rp 2,8 juta per orang per tahun. Cara ini, menurut Alex, lebih adil meski pembangunan fisik juga diabaikan seperti saat ini. (KORNELIS KEWA AMA)
Dia tercengang karena nilai daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) terus melambung. Sebaliknya, sejumlah proposal untuk mengatasi berbagai masalah pedesaan tidak dipenuhi, bahkan masalah seolah tetap dibiarkan menemani masyarakat.
Sebagai contoh, permohonan pembangunan ruas jalan di kampungnya yang menghubungkan Kawela-Mewet (5 km) sejak 2004 tidak pernah dikerjakan tuntas. Hanya ada janji dan janji dari pemerintah, sementara jaringan jalan tetap berupa jalan tanah.
”Kami juga mengajukan proposal ke Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTT tahun 2009 untuk membangun 400 unit pusat listrik tenaga surya atau PLTS di desa kami, tetapi tidak pernah ditanggapi. Padahal, tahun 2009 NTT mendapat DIPA senilai Rp 12,1 triliun. Ke mana sajakah dana sebesar itu,” tanya Noe.
Desa Kawela tak memiliki jaringan jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat. Juga tak ada penerangan listrik. Hanya ada sumber air sehingga bisa mengurangi derita masyarakat.
Noe mengaku, ia bersama 20 tokoh masyarakat Kawela, Kamis (7/1), pergi ke Larantuka, kota Kabupaten Flores Timur, dengan perahu motor. Mereka menanyakan janji pemerintah setempat membangun ruas jalan Kawela–Baniona, setelah ia membaca koran lokal Pos Kupang mengenai DIPA NTT 2010 senilai Rp 12,2 triliun.
Sambil menggelengkan kepala, Noe menunjukkan berita media itu kepada rekan tokoh masyarakat lainnya. ”Saya langsung bertanya kepada teman-teman dari desa, mengapa selama ini kita minta bantuan selalu dijawab tidak ada dana. Lalu, ke mana saja dana sebanyak itu?”
Masyarakat berjuang sendiri dengan kemiskinan, busung lapar, kesulitan air bersih, dan infrastruktur terbatas. Pejabat sesekali turun dan sekali lagi umbar janji. Bantuan diberikan, tetapi ala kadarnya saja. Pejabat daerah umumnya hanya mau menyenangkan parpol, tim sukses, rekanan pengusaha, serta membagi-bagi kekuasaan, jabatan, dan proyek.
Agnes Sasi, anggota Badan Permusyawaratan Desa, Desa Nenas, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), mengatakan, setiap tahun pemerintah minta data dan masukan melalui musyawarah rencana pembangunan desa, tetapi usulan dan masukan dari desa tak pernah terealisasi.
”Kepada bupati, gubernur, dan DPRD selama 2008 dan 2009, kami dari Desa Nenas minta pembangunan air bersih, penempatan tenaga medis di puskesmas pembantu, dan tenaga penyuluh pertanian, tetapi tidak pernah dipenuhi. Anehnya, dalam setiap kunjungan ke desa, mereka selalu mengatakan desa itu ujung tombak pembangunan,” kata Sasi.
Hampir semua desa di TTS kesulitan air bersih. Saat kemarau, ratusan anak di kabupaten itu diare sampai tingkat keadaan luar biasa (KLB) akibat kesulitan air bersih. Namun, masalah air bersih tak pernah diatasi tuntas, di tengah angka DIPA NTT yang terus meningkat.
Tahun 2007, DIPA NTT Rp 6 triliun, tahun 2008 (Rp 10,7 triliun), 2009 (Rp 12,1 triliun), dan 2010 (Rp 12,2 triliun). Jumlah DIPA meningkat, tetapi angka kemiskinan, busung lapar, dan gizi buruk pun bertambah.
Alex Benu (49), petani dari Desa Nune, Kecamatan Kot’olin, TTS, mengatakan, jika dana Rp 12,2 triliun itu dibagi kepada 4,3 juta penduduk di NTT, setiap penduduk mendapat Rp 2,8 juta per orang per tahun. Cara ini, menurut Alex, lebih adil meski pembangunan fisik juga diabaikan seperti saat ini. (KORNELIS KEWA AMA)
Sumber: KOMPAS, 11/1 2010
Satu keluarga rumah tangga miskin di Desa Kakan, Kecamatan Kuan Fatu berpose di depan sebuah dapur. Mereka sedang melakukan pengasapan kopra. Foto: dok. www.nusataniterpadu.wordpress.com
Satu keluarga rumah tangga miskin di Desa Kakan, Kecamatan Kuan Fatu berpose di depan sebuah dapur. Mereka sedang melakukan pengasapan kopra. Foto: dok. www.nusataniterpadu.wordpress.com
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!