Pada 29-30 Oktober 2009, ketika langit nusantara dijejal berita pertempuran cicak melawan buaya, diam-diam masyarakat Kampung Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, tumpah ruah di Pantai Lamalera.
Mereka merayakan kehidupan sebagai nelayan dengan mengadakan pesta rakyat yang mereka sebut Festival Baleo. Selama dua hari penuh mereka bersama melakoni dan menonton bersama pertunjukan kebolehan menangkap ikan dengan cara tradisionil. Ikan pari, ikan tengah laut lainnya dan terutama pertunjukan penangkapan ikan paus secara tradisionil.
Ini festival atau pesta rakyat pertama kali yang menyandang dan mengangkat nama Baleo sebagai napas dan roh dari perhelatan budaya dan tradisi kehidupan nelayan tradisionil.
Rutinitas Nelayan Kampung Lamalera
Sejauh ini kehidupan masyarakat nelayan desa Lamalera berjalan sangat rutin. Ada masa di mana mereka tidak melaut untuk menangkap ikan besar. Masa ini berlangsung dari akhir November sampai pertengahan bulan Maret.
Walau mereka tidak melaut untuk menangkap ikan besar, kegiatan mereka terbatas pada penangkapan ikan pinggir dengan menggunakan tali pancing dan saat ini sudah banyak yang menggunakan pukat.
Bahkan saat ini pukat sudah dapat mereka labuhkan di lepas pantai untuk menjaring ikan terbang. Dinamakan ikan terbang karena jenis ikan ini bisa berpindah dengan menggunakan sirip yang lebar seperti sayap burung. Masa ini dikenal di masyarakat Lamalera sebagai Nuang Kronne (Musim Hujan).
Sepanjang musim ini angin bertiup dari barat ke timur, dalam kecepatan yang kebanyakan kali sangat tinggi. Angin barat yang basah, yang membawa awan dan hujan, kadang-kadang diiringi pusaran dan puting beliung.
Memasuki akhir Maret dan awal April, ketika jagung sudah menguning di kebun, arah angin mulai berubah. Masa peralihan ditandai dengan arah angin dengan kecepatan sedang.
Pagi hari angin bertiup dari timur dan sore hari angina bertiup dari barat, dengan kecepatan yang santun. Pada saat ini para nelayan tradisionil kampung Lamalera mengambil ancang-ancang untuk memasuki musim leva. Bila angin dan arus mendukung mereka ke laut dengan peledangnya, sekadar melaut karena keadaan arus dan angin mendukung. Ini mereka sebut plae angi (lari angin).
Pertengahan Bulan April baru kegiatan seremonial leva dimulai. Lika Telo (tiga bersaudara), tanah alep (tuan tanah) dan lefa alep (para nelayan) berembuk untuk membicarakan ihwal masa lefa tahun mendatang.
Mereka mulai berembuk (tobu neme fatte), membicarakan ihwal lefa dan semua yang bersangkutan dengan tradisi Olanue (melaut).Semua kegiatan ini nanti memuncak pada tanggal 1 Mei.
Pada hari ini, karena para nelayan kampung Lamalera adalah pemeluk agama katolik, walau dalam praktek di sana-sini masih kental animisme dan dinamismenya, diadakan upacara Misa Lefa di Kapel di pantai. Setelah upacara misa lefa, setiap peledang dari ujung barat ke timur di pantai itu diperciki air berkat oleh Pastor secara katolik.
Tenna Fule (Janji Ketemu di Pasar)
Masyarakat Nelayan Lamalera senantiasa memandang laut sebagai ladangnya. Dalam praktek dan keseharian melaut, mereka juga memahami dan menerima bahwa laut itu ada penghuninya, dan ada pemiliknya.
Siapa penghuninya, siapa pemiliknya bukan persoalan, tetapi karena mereka masuk ke dalam lahan yang menjadi milik pihak lain, mereka tidak menyerbu begitu saja. Mereka harus membuat janji untuk bertemu di pasar, di laut itu. Karena itu setelah upacara misa 1 Mei, hanya satu peledang saja yang melaut.
Peledang itu pun bukan sembarang peledang. Peledang itu harus Lela Sapang atau Praso Sapang dari Suku Lelaona, yang dari sejarah, piawai dan ulung menjadi Atamarang atau negosiator.
Setelah seremonial Tenna Fule, keesokan harinya tanggal 2 Mei barulah dimulai masa lefa, Pasar sudah dibuka….dan jual beli pun berlangsung. Para Nelayan Lamalera datang membawa doa dan pesan dari suku, dari para janda, para yatim dan piatu, atas nama masyarakat orang miskin, agar ditukar dengan ikan apapun dari penghuni laut apakah penghuni yang tidak kelihatan itu berada di dalam perut langit, atau di perut laut, atau di dunia mana pun. Kegiatan Lefa di pantai lefo Lamalera berlangsung hingga akhir Oktober.
Kemana Nelayan Lamalera di Bulan September?
Sepanjang Bulan Mei, angin bertiup dari timur (Australia) ke barat (Asia). Dengan kecepatan lamban. Menginjak bulan Juni dan Juli, angin bertiup dari timur laut (angi leffe’) dengan kecepatan tinggi dibarengi dengan gelombang yang tinggi.Pasir di pantai tergusur sehingga muncul batu wadas pantai.
Semangat lefa mulai pelan-pelan surut, kecuali sekali-sekali bila ikan paus menunjukkan dirinya dengan semburan khas, baru para nelayan Baleo untuk menangkap paus tersebut. Saya mengatakan semburan ikan paus itu khas, karena Nelayan Lamalera mengenal paus yang mereka tangkap dari cara dia menyemburkan air.
Semburan Koteklema yang ditangkap nelayan lamalera menjulang ke depan , sedangkan semburan Klaru yang tidak ditangkap nelayan Lamalera menjulang lurus ke atas dan berserak.
Ketika semangat lefa di laut di depan kampung Lamalera mulai surut, Nelayan Lamalera lalu mengadu peruntungan di dua ladang laut yang lain. Laut itu adalah Selat Lewotobi dan Duli di Pulau Alor. Selama bulan September dan Oktober mereka lefa dan olanue di dua desa tersebut. Lewotobi di selatan Flores bagian timur dan Duli di Pulau Alor.
Lamalera nan Genit Ketika Oktober Tiba
September pun tiba. Di darat para petani mulai membuka lahan untuk berladang, Kelihatan asap mengepul di siang hari sampai ke sore hari, bahkan sampai malam. Bila api menjalar liar, bisa merambah ilalang kering, dan akhirnya menjalar sampai jauh kemana-mana. Dahulu api menjalar membakar Pulau Lembata secara liar, sehingga orang membuat plesetan Lembata menjadi Lembakar. Itu doeloe.
Pepohonan penuh dengan riang-riang. Riang-riang adalah sebangsa rayap. Menurut cerita binatang ini muncul dari dalam tanah. Badannya gendut, sayapnya seperti kertas plastik tipis tembus pandang. Banyak orang yang ogah makan binatang ini, tapi kalau dibakar, gurih rasanya. Binatang ini menempel berderet di dahan pohon. Mereka berbunyi nyaring bersahut-sahutan sepanjang hari seperti orkestra layaknya.
Di tengah meranggasnya pepohonan, Pohon Sakura (Ketto) mulai menguncup. Ikut pula Pohon Bougenvile yang dipelihara masyarakat seadanya sebagai hiasan rumah.
Kamboja kuning yang dikenal di Lamalera dengan Bunga St Antonius (entah dari mana nama ini berasal) yang memenuhi pelataran Desa Lamalera C ikut menguncup. Ada Desa Lamalera A (Atas karena di ketinggian), ada Desa Lamalera B (Bawah karena di bawah) ada Desa Lamalera C (Cemetery…hehehe…).
Ketika bunga Pohon Lontar mulai muncul, para orang tua sudah menentukan hari urusan adat di suku karena kehadiran tuak atau moke merupakan anggur pesta yang mengasyikkan.
Tidak ketinggalan hewan dan tumbuhan laut. Kerang dan ikan mulai bertelur. Semua memuncak di Bulan Oktober. Matahari bergeser ke selatan. Fajar pagi menjadi sangat indah untuk dinikmati.
Siang menjadi lebih panjang. Langit cerah. Siang hari panas membakar. Malam hari dingin menyengat. Angin pagi berhenbus perlahan dari timur, sore hari berbalik arah dari barat. Semuanya bersama menciptakan orkestra alam yang harmonis. Lamalera memang genit…indah ketika Oktober telah kembali ke sana. (Pius Kia Tapoona)
Sumber: www.lamalera-lamalera.blogspot.com
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!