Isabela Diaz Gonzales (83), dulunya terkenal keras, disiplin, kasih sayang, cinta tanpa batas dan berdedikasi tinggi melayani sesama menderita.
Usia membuatnya tak setegar dulu lagi. Pengorbanan luar biasa, ia memberi diri seutuhnya kepada sesama. Merawat orang kusta, makan dan minum bersama mereka. Pengorbanan mencontoh Santo Damian, Bapak Penderita di Molokai, Kepulauan Hawai.
Hampir 11 tahun, Isabela yang lebih akrab disapa Mama Is, bukan lagi sosok yang tegar. Di tahun 1959 datang pertama ke Lewoleba, Mama Is keluar masuk kampung, kebun dan padang mencari penderita kusta bersembunyi karena diusir dari kampungnya. Kebanyakan orang takut penyakit ini menular. Namun, ia berani mengumpulkan mereka dan merawatnya penuh kasih sayang mendapatkan kesembuhan. Pengabdian itu dilakoninya sampai tahun 1992, ketika ia menyerahkan penanganan penderita lepra kepada para suster SSpS di RS Santo Damian.
Sosok yang tegar itu telah lemah dan tua.Penyakit stroke menyerangnya 11 tahun silam, selang beberapa hari setelah perayaan 40 tahun RS Lepra Damian Lewoleba, mengantarnya ke kursi roda sampai kini. Matanya juga tak bisa melihat lagi. Seorang wanita dan anak-anak angkatnya setia merawatnya, mendorongnya di kursi roda keluar dari dalam kamar tidur, Kamis pagi (7/1) sekitar pukul 09.15 Wita di kediamannya yang dipenuhi pohon mangga dan bunga di bilangan Walakeam, Kelurahan Lewoleba, Kecamatan Nubatukan.
Pada hari Rabu (6/1/2010) petang sekitar pukul 17.00 Wita, Pos Kupang menjambangi rumahnya. Namun, anak-anak angkatnya menyatakan, hari terlalu sore. Mama Is hanya bisa menerima tamu pada pukul 10.00 dan pukul 16.00 Wita, setelah jam tersebut ia harus istirahat, karena kondisi kesehatannya.
Pertemuan yang dinanti terjadi.Usia sudah uzur, tampilnya masih rapi. Rambutnya yang telah banyak uban dipotong setengah bahu. Mengenakan baju rumah warna hijau muda dan putih, ditutup kain lipa (sarung) kotak-kotak warna coklat. Seutas rosario berada di dalam genggamannya.
Dalam wawancara sekitar satu jam lebih, jalan pikiran dan ingatannya masih sangat kuat. Ia masih ingat benar, apa yang dilakukannya sejak masih kecil hidup bersama ayah dan ibunya di kampung di Pohon Sirih, menjadi anak angkat dokter Jerman di Larantuka, perjalanan ke Bali, Jakarta, Roma, Jerman, India, pengadian di tanah Lomblen (Lembata) sampai usia uzurnya.
Dari suara dan nada bicaranya, tampak tegar sikap dan pendiriannya. Ia jarang tertawa dan melucu. Namun ketika menuturkan kisah-kisah perjalanan yang pasang surut, suka cita dan sembayangnya selalu didengar Bunda Maria, suaranya parau. Air benih mengalir dari sudut matanya. Salah satu anak angkatnya, Ina Diaz, menuturkan mamanya sering menangis di tengah pembicaraan, bila menyentuh kenangan lama. Berikut petikan perbincangannya dengan Pos Kupang.
Kenapa Mama Is mau mengurus penderit kusta?
Karena keinginan orangtua saya. Bapak saya (Aloysius), hanya juru mudi kapal Arnoldus milik misi. Dia selalu rajin berdoa rosario. (Mama Is terdiam, suaranya parau dan air bening meluncur dari matanya).
Sejak kapan Mama Is tertarik mengurus mereka?
Saya sejak kecil, usia saya sekitar 12 atau 13 tahun, saya kelas III sekolah rakyat.Mama menyuruh saya dan saudara saya, Klara Diaz, membeli sayur di rumah nenek Lina. Kami bawa uang dua benggol dan 50 sen. Ketika bicara dengan Nenek Lina, ada suara memanggil minta tolong diberikan air. Suaranya terdengar tak jauh dari rumah Nenek Lina. Dia bilang jangan dekat, orang itu sakit, nanti jangkit ke kamu.Nenek Lina berjalan petik sayur, saya gunakan kesempatan masuk ke pondok, tempat suara berasal. Laki-laki bernama Kakek Lesu.
Ia dijaga seorang wanita tua yang juga sakit.Wajahnya luka,lehernya bengkok dan tubuhnya dikerumuni lalat. Bonsu Bela (bungsu Bela), tolong beri air se. Tapi jangan minta ke Nenek Lina karena dia amat kikir. Orang nagi bilang, genggam air te (tidak) tiris. Kakek Lesu mengeluh. Lewat belakang, ketika nenek Lina memetik sayur saya mencuri airnya. Saya bawa air dalam tempayan besar. Saya mendekat dia melarang.
Kenapa sejak kecil Mama Is mau mengurus orang sakit lepra yang diungsikan ke kebun dan hutan?
Tuhan yang menyuruh saya, dia sudah memberi saya kesehatan. Saya harus mengurus mereka. Saya tidak takut terkena penyakit ini karena Tuhan berada bersama dengan saya.
Mulai kapan dan di mana Mama Is mengenal cara mengobati penderita lepra yang sebenarnya?
Saya diutus oleh organisasi lepra sedunia ke India. Saya menjalani praktek lapangan di sana selama tujuh bulan. Saya belajar tentang penanangan kusta pada dr. Van Stein, ahli kusta untuk India. Di India ada ribuan orang kusta. Pada saat itu masyarakat miskin dan kelaparan sangat hebat. Dari India, saya terbang ke Jakarta.
Kenangan apa dari India yang masih tersimpan sampai sekarang?
Saya membawa dua baju India. Ketika masih sehat, saya sering mengenakan baju-baju itu pada saat acara ulang tahun. Yang terakhir pada perayaan 40 tahun saya berkarya di lepra. Itu kali terakhir saya pakai baju India, setelah itu saya tidak mengenakan lagi baju-baju tersebut. Semuanya masih tersimpan rapi di rumah ini.
(Isabela mementingkan pengabdian menjadi perawat penderita kusta sampai enggan memikirkan hal-hal pribadi, pacaran dan berkeluarga. Kalau dia mau, banyak pria bule menaruh hati kepadanya. Ia membujang sampai usia tuanya kini).
Apakah tidak tertarik dengan laki-laki?
Ada banyak orang di Jerman menaruh hati tetapi saya tolak semua. Satu pria dari Belanda namanya Meneer Warnas. Dia pasien (penyakit lain) yang rawat di Jerman. Setiap hari mamanya datang menjenguknya. Saya tolak dia, saya katakan itu ego, tidak baik. Engkau hanya memikirkan diri sendiri. (Mama Is tertawa mengenang Meneer Warnas). Saya mati rawat engkau tidak apa-apa. Di tempat praktek maupun di kampus, saya hitam coklat sendirian. Teman-teman yang tinggi putih gemuk-gemuk. Saya yang paling kecil dan menjadi barang tontonan seperti di kampung-kampung anak-anak menonton turis.
(Tujuh bulan praktek di India, Mama Is kembali ke Indonesia. Hanya dua malam di rumah orangtuanya di Larantuka, ia bersama Uskup Larantuka, Mgr. Gabriel Manek (Alm) berangkat ke Lembata (Lomblen kala itu). Mereka mencari lokasi mendirikan BKIA).
Kenapa Pulau Lomblen dipilih mendirikan rumah sakit lepra, padahal Mgr.Gabriel Manek meninginkan RS lepra dibangun di Lambunga, Pulau Adonara, karena di sana sudah banyak orang kusta?
Kalau di Adonara, orangnya keras-keras. Mulut saya cerewet sekali..Jo kejo jo. Tidak bisa rawat orang ka. Maka dipilih Lomblen mendirikan RS Lepra. Tanggal 5 Juni 1959 kami tiba di Lomblen. Tanggal 6 Juni, kami jalan keliling mencari lokasi rumah tinggal yang bisa menampung banyak. Kami menemukan rumah Bapak Bernadus Weka. Kami buat kontrak dan Bapak Uskup menandatangani surat kontrak. Bangunan pertama untuk BKIA (Balai kesehatan ibu dan anak). Atap bangunan dari daun dan dinding bambu berhasil didirikan. Banyak warga yang mulai datang berobat.
Siapakah pasien pertama lepra asal Lomblen?
Suatu hari saya bersama Pater Ben Berbander (Deken Lembata saat itu) datang ke Tanjung dengan sepeda motor roda tiga. Di suatu tempat di padang, saya lihat kenapa ada rumput yang bergerak-gerak. Saya pikir ada babi hutan. Ternyata ada seorang kakek tua. Daun telinganya lebar sampai menyentuh ke bahunya dan rambutnya juga gondrong. Bentuk hidungnya tidak tertatur, luka-luka di seluruh anggota tubuhnya. Saya kasih tahu kepada Pater Berbander, "Ini orang yang saya cari." Saya Tanya Pater Ben, apakah dia boleh ikut? Pater menyatakan da harus dibawa. Saya membersihkan luka-lukanya sampai kering.
Saya balut rapi dengan kain putih. Dia bisa berbahasa Indonesia. Namanya Napa Bunga asal dari Atawatung. Kami naikkan ke motor roda tiga. Kami pulang ke Lewoleba. Tiba di Lewoleba, saya minta rumah kosong kepada Bruder Patris, SVD. Dia baik hati memberinya dengan satu tempat tidur besi. Saya mandikan kakek Napa dan luka-lukanya saya balut lagi. Telinganya saya operasi lagi sampai bentuknya normal. Pater Lamber Padji, SVD memangkas rambutnya. Sekitar seminggu kemudian, dia sudah bersih.
Dari Kakek Napa, tersiar cerita ada satu perawat yang bisa mengobat orang kusta. Saya juga datang ke kampung-kampung memberi penerangan kusta , pemeriksaan dini anak-anak, ibu hamil. Saya lakukan sampai di Flores, Pulau Babi, Adonara, Solor, Kojadoi, dan Palue. Saya katakan kalau ada pasien bawa ke Lomblen atau saya jemput. Setelah itu makin banyak pasien yang datang. Jumlah tambah banyak. Jumlahnya sampai 60 orang, ada 14 perempuan dan 46 wanita.
Bagaimana kehidupan penderita lepra saat itu?
Mereka semua ada di dalam satu rumah, karena kita harus dibangun tambah satu rumah. Mereka ada mulai jatuh cinta. Saya katakan, jangan sampai ada yang hamil. Saya ini cerewet, saya marah mereka. Saya katakan kita ini hidup dari bantuan orang lain. Mereka semua tunduk. Malu. Mereka pahami apa yang saya katakan. Tidak ada yang hamil waktu itu. Biar tinggal di rumah bambu, semua sangat gembira. Untuk makan dan minum kami membuka kebun di misi.Obat-obatan dibantu dari organisasi lepra di Jerman.
Tidak khawatir terjangkit kusta?
Saya tidak takut. Kami masak, makan dan minum bersama mereka. Saya minta kepada Bunda Maria, berikan saya kesehatan supaya saya bisa urus mereka. Mengurus banyak orang saya harus tegas dan keras. Saya teriak-teriak dan bentak-bentak karena ada pasien yang keras kepala. Saya temukan banyak mujizat mengurus orang kusta. Ketika tak punya makanan, ada yang datang membantu. Suatu waktu di tahun 1963 tak pernah dibayangkan, rekan saya di sekolah perawat di Jerman, Gizela Barowka, yang biasa dipanggil `Mama Putih' oleh para penderita kusta datang membantu. Kontraknya hanya tiga tahun, namun ia tinggal selama 24 tahun di Lomblen. Tahun 1987, ia tinggalkan Lomblen dan berangkat ke Kalabahi dan menetap dan mengurus panti asuhan di sana sampai kini. Tahun 1966, organisasi kusta di Jerman membantu seluruh bahan bangunan membangun RS Lepra dan mengirim Ir. Walfred Jakl. Dua tahun kemudian, bangunan selesai dan digunakan. Semua penderita kusta pindah dari rumah bambu ke rumah besi. Orang Lembata menyebutnya rumah bintang.
Apakah kecewa dengan pengabdian yang diberikan?
Saya tidak kecewa. Saya tidak dapat gaji. Tuhan dan Bunda Maria selalu menolong saya. Penyakit stroke saya terima dengan senang hati. Penyakit itu sebagai pemberian Tuhan. Orang lain menderita penyakit yang lebih berat dari saya. (eugenius moa)
Riwayat Hidup:
Nama: Isabela Diaz Gonzales.
Tempat/tanggal Lahir: Larantuka, 13 Januari 1927.
Ayah: Aloysius Diaz Gonzales
Mama: Agnes Agata de Rosari
Riwayat Pendidikan:
Tahun 1934-1940 : SR di Balela Larantuka.
Tahun 1947-1950 : Sekolah Perawat Pemberantasan Penyakit Lepra di Jakarta.
Tahun 1953-1956: Sekolah Perawat di Wurzburg-Jerman
Tahun 1956-1958: Diploma Kebidanan di Wurzburg-Jerman
Tahun 1958-1959:Praktek kebidanan dan Perawatan Kusta di India
Tahun1959: Kembali ke Indonesia.
Tanggal 5 Juni 1959: Kembali ke Larantuka
Tanggal 9 Juni 1959: Menetap di Lewoleba, Lembata, mulai mendirikan BKIA dan poliklinik
Tahun 1959-1980: Memimpin RS Lepra Damian Lewoleba.
Tahun 1980-1992: Melayani sebagai perawat bersama suster di RS Damian.
Tahun 1992: bebas tugas dari RS Damian.
Tanda Penghargaan:
Tahun 1970: Penghargaan Badan Internasional Penanggulan Kusta di Wurzburg-Jerman.
Tahun 1972: Penghargaan dari Pemerintah Pusat.
Tahun 1985: Penghargaan dari Pemerintah Flores Timur melalui Pembantu Wilayah Flotim di Lewoleba.
Tahun 2000: Sidomuncul Award di Semarang -Jawa Tengah
Sumber: Pos Kupang, 11 Januari 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!