Headlines News :
Home » » Petaka di Laut Timor

Petaka di Laut Timor

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, March 24, 2010 | 1:52 PM

Sudah beberapa bulan ini para petani gagal memanen rumput laut di Kabupaten Sabu Raijua (Sarai), Nusa Tenggara Timur. Bukan karena ada serangan penyakit. Bukan pula lantaran terjadi kesalahan musim.

"Petani rumput laut di Sabu Raijua mengalami gagal panen karena adanya pencemaran laut," kata Penjabat Bupati Sabu Raijua, Thobias Uly, gundah dua pekan lalu.

Laut tercemar oleh tumpahan minyak mentah yang diduga keras berasal dari instalasi pengeboran minyak The Montara Well Head Platform milik Australia di Blok West Atlas yang terbakar pada 21 Agustus 2009. Lokasi rig Montara itu sekitar 690 kilometer di sebelah barat Darwin dan 250 kilometer di barat laut Truscott, Australia Barat.

Setelah terjadi kebakaran, 500 ribu liter minyak mengalir ke laut setiap hari dari ladang minyak yang dioperasikan PTT Exploration and Production (PTTEP) Australasia itu. PTTEP Australasia adalah perusahaan asal Thailand yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra.

Meski sudah ditangani, tumpahan minyak telanjur mengalir ke Laut Timor yang masuk dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dampak pencemaran Laut Timor paling dirasakan di Kabupaten Rote Ndao yang berbatasan langsung dengan perairan Australia, Kabupaten Sabu Raijua, Kupang, Alor, dan Timor Tengah Selatan.

Penduduk daerah pesisir Pulau Sabu yang mengandalkan mata pencaharian bertani rumput laut pun terancam kehilangan pekerjaan. Tumpahan minyak diduga keras merusak rumput laut secara masif. "Saya heran semua rumput laut yang dihasilkan hancur dan berair," kata Bupati Thobias.

Pengusaha rumput laut, Yakob Lodo, bercerita bahwa hasil panen rumput laut petani di daerah Timor Barat anjlok drastis. Jika situasi normal, dalam setahun petani rumput laut dapat menghasilkan 4.000 ton. Sekarang diprediksi turun jadi 200 ton saja. Rumput lautnya pun sebenarnya belum cukup umur untuk dipanen sehingga harga jualnya anjlok. "Kami merasa prihatin dengan petani, maka kami terpaksa membelinya meski dengan harga murah," kata Thobias. Bukan cuma petani rumput laut yang merugi. Nelayan mengeluhkan berkurangnya tangkapan ikan secara signifikan.

PTTEP selaku operator Montara dan pemerintah Australia sempat tak mengakui tumpahan minyak dari sumurnya telah mencemari perairan Indonesia. Belakangan mereka meralatnya. Melalui juru bicara Kedutaan Besar Australia di Jakarta, pemerintah Australia menyatakan telah dan akan terus memberikan informasi kepada Indonesia tentang perkembangan yang terjadi, termasuk penerapan pengawasan lingkungan hidup yang telah disepakati antara pemerintah Australia dan perusahaan yang bertanggung jawab. "Kami bekerja untuk memastikan bahwa dampak tumpahan ini dapat ditangani secara tepat," kata Jenny Dee, juru bicara Kedutaan Australia.

Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni menyatakan sejak awal dia sudah yakin tumpahan minyak Montara akan mencemari perairan Indonesia. Empat hari setelah ledakan, kata dia, minyak telah masuk ke perairan Indonesia. Cepatnya aliran minyak juga dipicu oleh angin timur tenggara yang tengah bertiup kencang. Arus laut bertambah deras sehingga tumpahan minyak tersebut lebih cepat memasuki Laut Timor yang masuk wilayah perairan Indonesia.

Pada 25 Agustus para nelayan di Pulau Rote sudah menemukan tumpahan minyak itu berada pada jarak 55-70 mil laut dari Pantai Selatan Kolbano. "Beberapa hari kemudian, lempengan-lempengan minyak sudah ditemukan di pantai," kata Ferdi. Lalu ditemukan bangkai beberapa jenis ikan, lumba-lumba, penyu, dan biota laut lainnya serta musnahnya ribuan hektare tanaman rumput laut.

Tumpahan minyak Montara yang mencemari perairan Indonesia justru pertama kali dibuktikan berdasarkan hasil analisis sampel minyak dan air dari Laut Timor oleh Leeders Consulting Australia yang meneliti atas permintaan Komisi Penyelidikan Tumpahan Minyak Montara. "Hasilnya, kandungan minyak yang mencemari perairan Indonesia serupa dengan tumpahan minyak yang dimuntahkan dari ladang Montara," kata Ferdi.

Senator dari Partai Hijau di parlemen Australia, Rachel Siewert, juga mengkonfirmasi hal itu. Kepada pers ia menyatakan hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa perairan Indonesia telah tercemar tumpahan minyak Montara. "Tidak ada keraguan, pencemaran yang mempengaruhi perairan wilayah perairan Indonesia di Laut Timor berasal dari Montara," katanya.

Hasil analisis Laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia menunjukkan pencemaran minyak di Laut Timor sudah mencapai 38,15 persen. Kandungan zat timah hitam dan zat berbahaya lainnya juga mencapai lebih dari 100 kali dari kadar normal. Lalu contoh rumput laut mati yang diambil dari pesisir Pulau Rote menunjukkan bahwa tumbuhan itu mati akibat pencemaran minyak mentah. Sejumlah sampel diambil dari wilayah perairan Laut Timor pada 6 Oktober 2009.

Menurut Ferdi, yang pernah menjadi pegawai di bagian imigrasi Kedutaan Besar Australia, meski kebakaran sudah ditangani, ternyata minyak terus mengalir. Hingga saat ini diperkirakan tidak kurang dari 40 juta liter minyak mentah yang tumpah di laut. Gas, kondensat, zat timah hitam, serta zat-zat kimia berbahaya lainnya pun ikut masuk lautan.

Yeti Darmayati, peneliti dari Pusat Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan tumpahan minyak di perairan sangat berbahaya bagi kehidupan biota laut dan manusia. Gumpalan minyak akan mengurangi kandungan oksigen dalam air laut dan secara langsung mempengaruhi satwa yang bergantung pada lautan.

Gas, alkana, aspal, zat aromatik, timbel, nikel, aspal resin, dan lainnya yang terbawa minyak juga berbahaya. Salah satu yang paling berbahaya tapi justru tidak terlalu terlihat adalah polycyclic aromatic hydrocarbon. "Zat ini amat karsinogenik, menyebabkan kanker jika masuk ke tubuh manusia," katanya.

PTTEP Australasia memang telah berupaya mengatasi tumpahan minyak dan mengurangi dampaknya. Mereka menggunakan metode boom dan skimmer untuk melokalisasi dan menyedot minyak mentah. Minyak yang telanjur mengalir disemprot bahan kimia dispersant. Upaya ini dilakukan di bawah pengawasan Otoritas Keselamatan Maritim Australia (AMSA).

Yeti memaparkan metode boom dan skimmer merupakan perlakuan standar saat terjadi tumpahan minyak ke lautan. Minyak mentah dilokalisasi supaya tidak menyebar, kemudian disedot menggunakan skimmer untuk dimasukkan lagi ke tangki atau dibawa ke darat dan dipisahkan antara air dan minyak.

Jika masih tersisa, minyak akan dihilangkan secara kimiawi, yaitu menyemprotnya dengan bahan dispersant. Bahan kimia disemprotkan dengan kapal atau helikopter ke gumpalan minyak. Dalam proses ini, minyak dicacah secara kimiawi sehingga permukaannya mengecil. Dispersant yang mempunyai berat jenis tinggi kemudian mengikat minyak sehingga minyak tenggelam dan menjadi sedimen.

Cara ini, kata Yeti, sebenarnya berbahaya. Minyak tak hilang begitu saja dan justru mengendap sehingga lebih lama terdegradasi. Ini akan membahayakan biota laut dan terumbu karang. "Cara ini memang lebih cepat untuk menghilangkan gumpalan minyak, orang lebih cepat tidak melihat. Tapi dampak tersembunyi muncul belakangan," kata lulusan University of Wales ini.

Menurut Yeti, sebenarnya ada satu metode yang relatif lebih aman, yaitu dengan memanfaatkan bakteri yang ada di perairan. Cara ini disebut bioremediasi, yaitu proses remediasi atau pemulihan lingkungan yang tercemar dengan menggunakan bakteri atau mikroba.

Pada prinsipnya, kata Yeti, alam sanggup memperbaiki diri sendiri. Tumpahan minyak secara alamiah dapat dibersihkan oleh bakteri pengurai, tenaga matahari, dan gerakan air. Namun, jika dalam jumlah yang sangat besar, seperti saat kilang bocor atau terjadi ledakan sumur minyak, bakteri yang tersedia tidak akan cukup untuk mengurai minyak yang berlimpah.

Maka salah satu caranya dengan meningkatkan aktivitas bakteri serta menambah jumlahnya. Mikroba endemik di perairan Indonesia banyak yang bisa dimanfaatkan untuk proses ini, di antaranya Marinobacter, Oceanobacter, Alcanivorax, Thalassospira, Stappia, Bacillus, Novospingobium, Pseudomonas, Spingobium, dan Rhodobacter. Setelah terurai, minyak akan menjadi senyawa CO2 dan H20 yang sudah tidak berbahaya lagi.

Meski lebih murah dan aman, proses itu membutuhkan waktu yang lama. Sejauh ini metode bioremediasi juga baru dilakukan di skala laboratorium di Indonesia. Di luar negeri, metode ini sudah banyak digunakan untuk mengatasi pencemaran akibat minyak di Jepang, Kanada, dan Amerika.

Pemerintah Indonesia juga sebenarnya tidak tinggal diam. Untuk mengatasi pencemaran itu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur membentuk pos komando penanganan pencemaran Laut Timor. Pemerintah pusat juga membentuk Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Laut Timor.

Juru bicara lembaga itu, Wahyu Indraningsih, mengatakan timnya telah melakukan survei guna mengetahui dampak pencemaran minyak di Laut Timor. Tim mengobservasi 10 titik yang diajukan oleh pos komando daerah pencemaran Laut Timor.

Setelah mengkaji dan menganalisis dampak pencemaran, pekan lalu tim itu menyimpulkan sementara potensi kerugian yang dialami nelayan dan masyarakat akibat bencana tersebut Rp 510 miliar. Pemerintah Indonesia juga telah menyampaikan total kerugian itu ke pemerintah Australia dan meminta ganti rugi.

Potensi kerugian tersebut didasarkan atas kerugian di lingkungan perairan untuk tangkapan ikan, wilayah pantai, terumbu karang, dan budi daya rumput laut. "Hitungan ini masih sementara," kata Wahyu pekan lalu. Nantinya akan ada biaya operasional dan potensi kerugian lain yang akan dihitung lewat uji lanjutan.

Ferdi Tanoni yang mengawal kasus pencemaran ini sejak awal mempertanyakan angka kerugian itu. Menurut dia, tim tak pernah meneliti dampak pencemaran minyak secara komprehensif. Tidak diketahui secara gamblang berapa luas Laut Timor yang tercemar minyak dan berapa banyak masyarakat yang terkena dampaknya. "Aneh, saya tidak tahu angka ini didapat dari mana, karena tak pernah ada penyelidikan menyeluruh tentang pencemaran itu," katanya.

Australia menyatakan belum menerima permintaan ganti rugi dari Indonesia. "Jadi kami belum bisa berkomentar tentang klaim terkait dengan potensi kerugian," ujar Dee. (Gunanto E.S., Yohanes Seo)
Sumber: Tempo, 22 – 28 Maret 2010
Ket foto ilustrasi: Pencemaran laut mengakibatkan ikan-ikan mati dan rusaknya biota laut. Foto: dok. google.co.id

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger