Headlines News :
Home » » Lech Walesa: Saya Jadi Politikus Karena Benci Kebohongan

Lech Walesa: Saya Jadi Politikus Karena Benci Kebohongan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, May 18, 2010 | 11:12 AM

Di panggung perayaan hari raya nasional Polandia di Jakarta, pekan lalu, "bintang tua" itu melangkah ke atas podium. Di hadapan ratusan tamu terhormat -para pejabat tinggi negara, anggota korps diplomat asing, akademisi, wartawan, dan berbagai kalangan lain- Lech Walesa, sang bintang berumur 66 tahun, berpidato dengan suara yang masih digdaya.

Sembilan tahun silam, di Gdansk -kota bersejarah tempat Walesa memimpin Gerakan Solidarnos yang meruntuhkan hegemoni panjang komunisme negerinya- Walesa menerima Tempo untuk sebuah wawancara, yang penuh bara semangat, meledak-ledak, diselingi humor di sana-sini. Sembilan tahun lewat, dan bara itu belum padam dalam diri presiden pertama Polandia pascakomunisme ini. Didampingi Duta Besar Polandia untuk Indonesia, Tomasz Lukaszuk, serta seorang penerjemah, Walesa -yang berbicara dalam bahasa ibunya- berbicara tentang demokrasi dan kemanusiaan, antara lain.

Dia pantas berbicara tentang dua isu itu, karena dunia menyaksikan betapa peraih Nobel Perdamaian 1983 ini membawa kembali demokrasi ke negerinya setelah bertahun-tahun kata itu dibahas dengan suara berbisik di seantero Polandia. Dia menyihir jutaan warga yang mengantarnya ke puncak kekuasaan pada 1990. Lima tahun kemudian kekuasaannya berakhir: Walesa dipandang tak mampu membawa perubahan ekonomi yang signifikan.

Toh, pamornya sebagai pejuang demokrasi terus berkibar. Kini, dia aktif berkeliling dunia memberikan ceramah melalui bendera Lech Walesa Institute. Sepanjang pekan lalu, Walesa berada di Indonesia. Dia memberikan serangkaian kuliah umum dan ceramah di Bekasi, Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Bagaimana Jakarta dalam pandangannya? "Terlalu banyak macet," ujarnya dengan lugas.

Kamis pekan lalu, Walesa menerima wartawan Tempo Nugroho Dewanto, Yopiandhi, Sadika Hamid al-Hadad, Yandi M. Rofiyandi, Andree Priyanto, Irfan Budiman, serta fotografer Suryo Wibowo di ruang VIP Bandar Udara Soekarno-Hatta. Terlihat rileks dan segar dengan kemeja batik cokelat lengan panjang, dia bercerita soal prinsip demokrasi, termasuk di Indonesia, sebelum terbang ke Yogyakarta. Secangkir teh panas dan segelas anggur menemaninya selama wawancara. Bicaranya blak-blakan, diselingi humor segar dan tawa berderai di sana-sini. "Oh, ini wine mantap betul. Tepatnya, mantap karena hanya minum sedikit ha-ha-ha...," ujarnya seraya tergelak.

Apa yang membuat Anda datang ke Indonesia?
Saya belum pernah diundang ke Indonesia. Jadi, begitu saya menerima undangan, saya putuskan datang. Saya harap bisa datang lagi lain waktu karena saya menemukan banyak hal di sini. Beberapa orang menyukai kehadiran saya, meski ada juga yang tidak.

Tampaknya Anda selalu memimpikan terwujudnya masyarakat demokratis-seperti banyak Anda sampaikan selama di Indonesia. Kapan pertama kali impian itu muncul?
Sepanjang hidup saya memimpikan hal itu. Tapi tak pernah terlintas sedikit pun saya akan menjadi politikus dan memimpin banyak orang. Saya membenci politikus, karena mereka bukan orang serius. Mereka membosankan. Saya tak ingin seperti itu. Saya lebih senang saat memimpin kaum buruh karena bertemu dengan orang-orang sederhana dan jujur. Ketika menjadi presiden, banyak orang datang menipu saya. Saya pun tak menyangka bisa menjadi politikus. Namun, perlu diingat, saya menjadi politikus karena benci kebohongan.

Siapa mengajari Anda membenci kebohongan?
Saya dibesarkan dan dididik dengan cara amat sederhana dan jujur, diajari memilah yang baik dan buruk. Ketika saya ke luar desa, saya menyadari semuanya berbeda dengan apa yang saya pikirkan. Semakin lama hidup, saya melihat banyak yang bertolak belakang dengan apa yang diajarkan di rumah. Saya berusaha terus-menerus menemukan kebenaran. Dalam perjalanan itu, saya terlibat dalam politik dan menolak negara komunis. Saya beberapa kali dipenjara. Tapi, semakin saya ditampar, semakin saya bertekad balas dendam.

Anda memutuskan tak terjun lagi ke politik setelah 2001. Ada alasan khusus?
Ketika menjadi presiden, saya harus membuat keputusan. Saya harus mengarahkan ke mana Polandia akan dibawa. Saya sudah merintis sesuatu dengan benar dan sekarang hal itu sedang berjalan di Polandia. Karena itu, saya memutuskan tak akan mengambil peran lagi dalam politik di dalam negeri.

Kami dengar sejumlah pemimpin Polandia masih meminta nasihat Anda. Apa yang Anda katakan kepada mereka?
Saya selalu bicara apa adanya. Tak berkelok seperti diplomasi. Saya selalu bicara sesuai dengan apa yang ada di pikiran dan yang saya lihat. Itulah mengapa orang datang minta nasihat. Mungkin saja saya berubah, tapi saya selalu berharap akan tetap seperti ini hingga akhir kelak. Anda dapat membunuh saya, tapi tak dapat mengalahkan saya. Kecuali orang lain membuktikan poin yang lebih baik dan meyakinkan, baru saya menyerah.

Ceritakan kepada kami, pandangan Anda tentang demokrasi....
Saya tak bisa berlama-lama bicara soal demokrasi. Di parlemen juga paling setengah jam. Saya lebih memilih main komputer, laptop, atau teka-teki silang daripada mendengarkan debat. Barangkali orang mengira saya tak sopan dengan perilaku seperti ini. Tapi sesungguhnya inilah demokrasi. Semua orang memperlihatkan pandangan mereka. Semua orang bisa bicara sesuai dengan keinginan mereka. Saya setuju demokrasi harus seperti itu, tapi saya tak mau berpartisipasi lagi.

Menurut Anda, bagaimana mewujudkan demokrasi?
Saya ingin semua orang tahu bahwa banyak jalan bisa ditempuh untuk demokrasi. Saya percaya bahwa mewujudkan demokrasi perlu lebih banyak kerja dari politik domestik. Saya mendukung globalisasi. Globalisasi telah membawa saya ke Indonesia. Itu antara lain alasan saya datang. Saya bertemu dengan banyak orang dan ada yang tak menerima konsep globalisasi. Saya pikir perlu lebih sering ke sini.

Apa mimpi Anda sesungguhnya tentang Polandia?
Kami ingin menjadi keluarga bangsa. Kami ingin semua bangsa memiliki rasa solidaritas. Kami ingin keadilan ada di semua bangsa. Kami ingin semua orang memiliki perasaan sama. Jutawan dan pengemis sama-sama manusia. Kita harus membangun sistem yang memungkinkan semua orang menikmati hidup, menemukan dunia yang lebih adil. Kita dapat mencapai dunia yang adil walau banyak ketidakadilan.

Anda pernah menjadi pemimpin serikat buruh sehingga tahu selalu ada pertentangan antara pengusaha dan buruh. Bisakah kedua "kelas" ini berpadu?
Saya melihat masih akan ada ketegangan dan sedikit kekacauan selama tiga puluh tahun ke depan karena pertentangan pengusaha dan buruh. Setelah itu, semuanya akan tertata dengan lebih baik. Kita bisa membangun hubungan antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja dalam pertemuan segitiga. Kita melakukan pertemuan segitiga ini pada tingkat berbeda, yakni lokal, provinsional, dan nasional.

Bagaimana hubungan personal Anda dengan Gdansk-kota yang amat bersejarah dalam hidup Anda?
Tingkat pengangguran di sana cukup tinggi. Tapi, bila Anda hendak mencari karyawan di sana, Anda tak akan menemukannya. Kebanyakan orang di Gdansk mencari uang sendiri dan bekerja di sektor nonformal. Tapi mereka mengklaim tunjangan pengangguran dari negara.

Anda seorang buruh sebelum menjadi tokoh nomor satu di Polandia. Apa yang bisa Anda petik dari dua pengalaman ini?
Saya adalah buruh listrik selama 25 tahun di galangan kapal. Selama di galangan, saya mengorganisasi buruh dan memimpin serikat buruh. Saya selalu berusaha menjadi yang terbaik. Jadi, ketika menjadi pekerja, saya ingin menjadi pekerja yang baik. Bukan dengan cara tak adil, tapi kerja keras.

Apa ide besar yang ingin Anda sampaikan dari berceramah keliling dunia?
Saya sedang mencoba menunjukkan pengalaman bangsa saya. Kita perlu kebenaran dan kejujuran. Saya mencoba membuktikan bahwa nilai kebenaran lebih kuat daripada lengan. Semangat, nilai, dan Tuhan jauh lebih kuat daripada tank dan senjata. Saya juga ingin menunjukkan bahwa Tuhan sama pada semua agama.

Bagaimana cara Anda berceramah di negara dengan kultur berbeda-beda?
Bergantung pada publik. Saya bicara dengan gaya berbeda kepada buruh dan politikus. Jadi, meski mengirim pesan sama, harus disesuaikan dengan publik. Di Amerika Serikat orang menikmati lelucon, bersenang-senang, dan tertawa. Jepang jauh lebih serius. Saya ingin memberikan pesan serius dengan cara ringan dan menyenangkan. Orang bisa tertawa meskipun membahas masalah serius atau politik yang sulit dicerna.

Dalam ceramah-ceramah di Indonesia, apa yang paling ingin Anda kemukakan?
Banyak hal dan Anda mungkin lebih tahu. Tapi saya mencoba menyemangati semua orang untuk memberantas korupsi. Memperbaiki mekanisme pemilihan, verifikasi politikus, serta demiliterisasi. Saya tak ingin lebih jauh masuk dalam politik domestik di sini. Saya tak ingin terlalu keras. Kalau terlalu keras, mereka biasanya tak mau melihat saya lagi, misalnya di Venezuela, Kuba, dan Cina. Saya terlalu keras mengkritik.

Boleh kami tahu isi pembicaraan Anda dengan Presiden Yudhoyono?
Saya berbicara tentang apa yang dilakukan Eropa sekarang. Kami mendirikan negara tunggal, Uni Eropa. Saya juga mendorong presiden Anda untuk melihat globalisasi. Saya bertemu dengan beberapa orang yang skeptis tentang globalisasi padahal kita tak punya pilihan lain kecuali globalisasi. Indonesia adalah negara besar, tapi menjadi jauh lebih kecil dibanding Uni Eropa. Belum lagi kalau Eropa bergabung dengan Amerika Serikat. Kita perlu menciptakan benua yang terintegrasi.

Ada pendapat bahwa globalisasi membuat bangsa kehilangan identitas?
Kita seharusnya tak berpikir bahwa globalisasi buruk. Beberapa orang di Indonesia memang ada yang berpikiran seperti itu. Mereka mengatakan globalisasi akan membuat Indonesia kehilangan identitas. Globalisasi itu bukan soal baik atau buruk. Tergantung muatan di dalamnya. Kita pasti tak mampu menghambat dan menghentikan kemajuan. Globalisasi itu kesetaraan kesempatan bagi semua orang. Kita jangan seperti Kuba. Tuhan memberi Kuba sinar matahari dan pemandangan indah. Namun, karena Castro, kita tak bisa menikmati Kuba.

Bagaimana hubungan Indonesia dan Polandia di mata Anda?
Saya kira hubungan kedua negara belum cukup maksimal. Kami memiliki kelebihan produksi manufaktur setelah kami mengalahkan sistem komunisme. Kami kehilangan hampir 70 persen potensi ekonomi setelah lepas dari Uni Soviet. Tapi kami memiliki banyak tambang batu bara. Kami memiliki potensi besar dalam pembuatan kapal. Jadi saya berpikir Indonesia bisa mengambil keuntungan lebih besar. Saya mendengar ada delegasi Polandia yang akan ke sini dan akan ada pembicaraan bilateral.

Oh ya, David Gilmore dari Pink Floyd pernah Anda undang untuk konser di galangan kapal di Gdansk. Anda menyukai jenis musik ini?
Saya suka berbagai jenis musik. Ketika mengundang grup musik ini, saya berkonsultasi dengan sejumlah orang. Saya mengundang mereka dengan persetujuan banyak orang.

Apa jenis musik yang paling Anda sukai?
Saya bisa istirahat dengan mendengarkan musik. Saya bisa bersantai ketika ada cahaya dan musik lembut. Kadang saya suka menonton gadis cantik bernyanyi, sehingga sulit mengatakan jenis musik yang disukai. Saya bisa memilih musik yang berbeda sesuai dengan usia. Tak ada satu jenis musik yang saya nikmati sepanjang waktu. Telinga saya masih cukup baik sehingga bisa mendengar banyak hal.

Lech Walesa

Tempat dan tanggal lahir: Popowo, Polandia, 29 September 1943

Karier:
Teknisi listrik di galangan kapal Gdansk, 1966-1967
Pemimpin serikat buruh Solidarnosch, 1984-1989
Presiden Polandia, 1990-1995
Lech Walesa Institute, 1996-sekarang

Penghargaan:
Man of the Year majalah Time (1981), The Financial Times (1980), dan The Observer (1980)
International Democracy Award 1982
Nobel Perdamaian 1983
International Freedom Award 1999
Champions of World Democracy 2008
Gelar doktor kehormatan dari 30 universitas di seluruh dunia
Sumber: Tempo, edisi 17–23 Mei 2010

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger