Headlines News :
Home » » Otonomi Daerah NTT: Mangan, Berkah atau Bencana bagi NTT? (4)

Otonomi Daerah NTT: Mangan, Berkah atau Bencana bagi NTT? (4)

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, May 29, 2010 | 3:24 PM

”Ho mpoi nai (kamu keluar, sudah),” kata Martinus Tili (32) kepada istrinya, Ida Ketraja Alunpa (29), yang tengah hamil tua. Jumat (23/4) menjelang pukul 15.00, sepasang suami istri warga Kelurahan Mobeli, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, itu tengah menambang batu mangan di lubang galian sedalam 2,5 meter.

Fe taheun ember nat poi oke (Kasih penuh ember dulu baru keluar sama-sama),” kata Alunpa, mengabaikan peringatan sang suami. Ia terus memasukkan bongkahan batu mangan ke ember. Sementara sang suami terus menggali lubang menggunakan linggis.

Belum semenit berlalu, salah satu sisi dinding lubang galian roboh. Dari dalam lubang, suara batu dan tanah yang runtuh itu serasa bergemuruh hebat. Detik itu juga terdengar teriakan melengking Alunpa memanggil suami tercinta. ”Tinuuus!”

Sontak Martinus panik. Pandangan matanya menyapu seluruh sudut lubang galian mencari keberadaan Alunpa. Waktu serasa terhenti saat sorot matanya tertuju pada secarik kain baju Alunpa yang tersembul di antara reruntuhan tanah. Sadar sang istri tertimbun reruntuhan tanah, spontan Martinus berteriak histeris dan menghampiri reruntuhan itu.

Tangis histeris Martinus membahana saat kedua tangannya terus bergerak menyingkirkan tanah yang menimbun tubuh sang istri. Histeria Martinus memuncak kala tahu belahan jiwanya tak lagi mengembuskan napas dan denyut nadinya terhenti. Ia terus mendekap erat tubuh istri yang dikasihinya dengan air mata terurai. Hatinya serasa tercabik, tak rela separuh napasnya pergi selamanya bersama buah hati ketiga yang dikandungnya.

Kisah duka itu adalah cermin kisah tragis sebagian warga NTT yang tengah bergumul dengan kemiskinan. Martinus, yang kesehariannya bekerja sebagai tukang bangunan, mencoba mengadu nasib dengan menambang batu mangan agar bisa membiayai persalinan istrinya. Bukan uang yang didapat, justru istri dan bayinya menjadi korban.

Martinus, yang kini tinggal bersama dua anaknya, Frando Tili (5) dan Gideon Tili (3), di gubuk berlantai tanah milik orang lain, bukanlah satu-satunya korban dari pertambangan mangan yang marak di NTT dalam tiga tahun terakhir. Tak ada pendataan komprehensif jumlah korban tewas tertimbun tanah saat menggali di pertambangan mangan milik rakyat. Meski demikian, berdasarkan pantauan dari pemberitaan media setempat, sudah sekitar 30 orang tewas.

Booming tambang mangan di NTT seolah menjadi jawaban atas kemiskinan warga yang disebabkan kondisi alam yang tandus dan kering. Namun, jika ditelisik lebih jauh, rakyat yang membanting tulang untuk menambang mangan tetap saja tak beranjak dari kemiskinan.

”Hasil galeng (menggali) mangan tidak tentu. Kadang su galeng (sudah menggali) lubang lebih dari 2 meter berhari-hari juga tak ada hasil,” kata Petronela (39), perempuan asal Kampung Oenopu, Desa Teba, Kecamatan Biboki Tanpah, yang ditemui di areal pertambangan rakyat yang berada dalam radius kurang dari 7 kilometer di depan Kantor DPRD Timor Tengah Utara (TTU).

Di lokasi itu, puluhan warga membuat lubang di perbukitan untuk mendapatkan mangan. Mereka tak hanya warga setempat, tetapi juga warga daerah lain yang datang berbekal nekat dan kantong pas-pasan. Di sana mereka tinggal di tenda, tidur di tanah yang beralaskan selembar tikar, dan makan seadanya. Tak jarang di antara mereka jatuh sakit, terutama anak balita, anak-anak, dan kaum perempuan yang ikut menambang.

Di tengah kondisi yang memprihatinkan itu, penambang senantiasa dihantui risiko tertimbun lubang galian. Pasalnya, penambangan yang mereka lakukan sangat tradisional dan tidak memerhatikan aspek keselamatan kerja. Jika mereka sampai tertimbun, tidak ada satu pun yang bisa dimintai tanggung jawab. Tidak seorang pun yang menjadi ”ketua” kelompok penambang ataupun cukong yang membeli hasil tambang mereka. Padahal, cukong dan perusahaan tambang yang membeli mangan itu yang banyak mendapat keuntungan dari tambang di sana.

Hingga sebulan lalu, batu mangan dibeli dari penambang seharga Rp 350-Rp 400 per kilogram. Cukong itu lantas menjualnya ke perusahaan pemilik kuasa pertambangan setempat atau pemodal besar dari luar seharga Rp 1.500-Rp 1.700 per kilogram. Keuntungan luar biasa besar yang diambil di tengah kondisi tragis rakyat yang menambang.

Mutu mangan di NTT sangat baik dengan kandungan 45-50 persen. Hal ini diakui Huang Qing Qiang, investor asal daratan Tiongkok yang lebih dari 10 tahun malang melintang menggeluti usaha perdagangan barang tambang di Indonesia. Ia tinggal di Indonesia.

Saat bertemu di pesawat dalam perjalanan dari Jakarta ke Kupang, Sabtu (8/5), Huang Qing Qiang mengaku, selama ini dirinya menjalin relasi dengan sejumlah pejabat polisi di berbagai daerah saat membeli barang tambang. Kedatangannya ke NTT juga atas rekomendasi pejabat polisi dari daerah lain dan akan bertemu dengan sejumlah polisi yang memiliki tambang mangan di Pulau Timor.

Belum disikapi arif

Potensi tambang mangan di NTT ditengarai memang besar dan tersebar di seluruh kabupaten. Sayangnya, potensi yang demikian besar pada era otonomi daerah disikapi secara tidak arif oleh pemerintah daerah. Sejumlah pemerintah kabupaten seperti berlomba-lomba mengeluarkan izin kuasa pertambangan ataupun pertambangan rakyat tanpa memerhatikan dampak lingkungan serta dampak sosial dan ekonomi bagi warganya.

Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi NTT, hingga Mei 2010, terdapat 319 kuasa pertambangan di provinsi itu. Data tersebut belum final karena tak semua pemerintah kabupaten/kota melaporkannya kepada pemerintah provinsi.

Sebagian pemkab juga terkesan menghalalkan segala cara untuk menarik keuntungan dari penerbitan izin. Bahkan, ada juga yang memanipulasi izin sehingga seolah-olah diterbitkan sebelum kewenangan mengeluarkan izin tambang itu ditarik kembali oleh pemerintah pusat pada 2009. Fenomena ini dijumpai di Kabupaten TTU hingga DPRD setempat berinisiatif membentuk Panitia Khusus untuk Pertambangan Mangan.

”Modusnya, tanggal penerbitan izin dibuat seolah-olah dikeluarkan pada 2008. Padahal, temuan kami, akta pendirian perusahaan baru ada pada 2009. Taruhlah penerbitan izin benar dilakukan tahun 2008, anehnya pendapatan daerah dari penerbitan izin itu tidak ada dalam laporan APBD,” kata Ketua Pansus Hendrikus Frengky Saunoah.

Sejauh ini ada 82 izin pertambangan yang diterbitkan Pemkab TTU. Sebanyak 15 izin berupa kuasa pertambangan rakyat dan sisanya kuasa pertambangan eksplorasi bagi perusahaan. Kesimpulan sementara Pansus, tidak ada satu pun izin yang diterbitkan itu melalui prosedur atau tahapan yang benar. Areal konsesi 82 izin tambang yang mencapai 92.000 hektar itu dipastikan ada yang tumpang tindih dan menyalahi peruntukan pada tata ruang wilayah.

Izin pertambangan juga ada yang dikeluarkan di atas tanah kelola milik masyarakat setempat hingga sering kali menimbulkan konflik. Direktur Eksekutif Yayasan Timur Membangun Marthen Duan menyatakan, hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah setempat abai terhadap kedaulatan komunitas adat.

Seluruh izin yang diterbitkan baru sebatas eksplorasi, tetapi kenyataannya ada pemilik izin yang menampung hasil tambang ilegal di luar areal konsesinya. (C Wahyu Haryo PS/Kornelis Kewa Ama)
Sumber: Kompas, 29 Mei 2010
Ket foto: Kelompok penambang di Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, rentan terkena reruntuhan tebing galian tambang. Risiko itu tidak sebanding dengan hasil yang mereka peroleh. Gambar diambil Selasa (11/5).

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger