Headlines News :
Home » » Rekonstruksi Budaya Politik Baru

Rekonstruksi Budaya Politik Baru

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, May 31, 2010 | 4:23 PM

Oleh Viktus Murin
Tim Asistensi Kemenpora RI

Gemuruh demokrasi berskala lokal menandai perjalanan tahun 2010 ini di seantero negeri. Sebanyak 244 daerah di sebaran wilayah 32 propinsi, termasuk NTT, akan melangsungkan pemilihan kepala daerah (pemilu kada) pada tahun ini, terdiri dari 237 daerah kabupaten/kota untuk memilih bupati-wakil bupati dan walikota-wakil walikota, selebihnya tujuh propinsi melaksanakan pilkada gubernur dan wakil gubernur. Jumlah pilkada sebanyak ini tentu saja memberikan resonansi politik yang cukup bergemuruh, namun tidak otomatis menjadi indikator keberhasilan proses pelembagaan demokrasi di negeri ini.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India, Indonesia masih perlu menata lakon berdemokrasi menuju budaya demokrasi yang lebih bermartabat. Pilkada langsung yang untuk pertama kalinya digelar pada tahun 2005, harus diakui merupakan loncatan dalam sistem demokrasi Indonesia sebagai buah dari reformasi (Lihat buku Geliat Demokrasi di Kampung Halaman; Kado 10 Tahun Otonomi Lembata; Viktus Murin; 2009; halaman 20).

Seiring dengan semakin banyaknya pemekaran daerah propinsi dan kabupaten/kota, maka bertambah semarak pula penyelenggaraan pemilu kada, kendati muara dari pemilu kada itu belum mampu menghantar rakyat memasuki gerbang kesejahteraan. Otonomi daerah yang diikuti pemilu kada langsung, dalam banyak contoh kasus justru muncul sebagai hal yang ironis, mengingat kesejahteraan rakyat tidak beranjak naik. Di banyak daerah, lebih-lebih di kawasan timur Indonesia, pemerintahan hasil pemilu kada justru tampak asyik melayani dirinya sendiri, terbukti dengan alokasi anggaran yang timpang di mana anggaran belanja pemerintah jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja publik.

Kendati gemuruh pilkada terus terdengar di seantero negeri ini, namun dari perspektif demokrasi substansi, praksis pemilu kada di negeri ini belum benar-benar merepresentasikan kemajuan budaya berdemokrasi. Ironisnya, yang justru lahir dari sebagian besar pemilu kada adalah kecenderungan munculnya raja-raja kecil di daerah, perkoncoan penguasa dengan pelaku bisnis berbau kronisme, politisasi sentimen wilayah berbasis sub-sub etnik, oligarki partai politik, dan tingkah pola elite penguasa yang bertentangan dengan akal sehat publik. Hal ini tentu saja ironis lantaran bertentangan dengan tekstur politik demokratis yang menjadi cita-cita reformasi.

Ironi yang tidak kalah 'hebatnya' adalah fenomena mengguritanya rezim keluarga atau dinasti politik kekuasan berbau nepotis. Hari-hari ini kita mendapati berbagai fenomena rezim keluarga yang agak menggelikan terkait dengan gawean pemilu kada di sejumlah daerah. Ada bupati yang sudah dua periode menjabat, mulai pasang ancang-ancang untuk 'turun kelas' menjadi wakil bupati demi menghantar anaknya menjadi bupati. Ada istri bupati petahana (incumbent) yang maju menjadi lawan tanding suaminya. Ada istri bupati yang maju melawan istri lainnya dari sang bupati yang sama. Ada kakak-beradik maju ke arena pemilu kada sebagai lawan tanding. Ada anak maju berhadapan dengan ibundanya demi meraih kekuasaan bergengsi sebagai kepala daerah (Kompas, 19 April 2010; Rezim Keluarga di Pilkada).

Hari-hari ini, kita pun mendapati fenomena artis yang mengandalkan popularitas tanpa kompetensi. Sejumlah artis, termasuk artis yang suka tampil 'panas' di panggung hiburan ikut meramaikan bursa pemilu kada. Tren artis yang menyeberang ke politik memang tidak terhindarkan di era reformasi sekarang ini, karena euforia membuat siapa pun merasa bisa menjadi apa saja. Benarlah bahwa setiap warga negara, termasuk artis, memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Namun, apakah artis yang tidak punya kompetensi di bidang pemerintahan, katakanlah kompetensi berorganisasi, secara serta-merta berhak menjadi kontestan pemilu kada? Kemunculan artis 'panas' di panggung pemilu kada membuat Mendagri Gamawan Fauzi harus mewacanakan aspek moral sebagai salah satu syarat bagi kontestan pemilu kada, mengikuti syarat kompetensi di bidang pemerintahan (Kompas, 17 April 2010 halaman 3; "Calon Kepala Daerah Tidak Cacat Moral").

Kiranya dipahami bahwa setiap jabatan publik yang disandang selalu mengandung konsekuensi pertanggungjawaban total kepada publik. Hal mana demi menegakkan akuntabilitas publik, mengingat dana publik yang telah digunakan negara untuk membayar gaji setiap pejabat publik. Untuk itu, seorang artis yang sudah menjadi pejabat publik harus total melakoni tugas-tugas publiknya sesuai periodisasi jabatan yang melekat pada jabatannya. Dengan demikian, ia harus rela melepaskan job-job keartisannya di panggung hiburan. Ketidakpatuhan artis pada panggilannya sebagai pejabat publik, tentunya akan merusak kewibawaan lembaga publik yang sedang menaunginya. Publik akan memandang sinis artis yang sudah menjadi pejabat publik tetapi masih nyambi di panggung hiburan, karena seolah-olah gaji yang diperoleh dari negara tidaklah cukup sebagai penghasilan.

Bertalian dengan fenomena artis yang muncul dadakan di pentas politik, kita patut menggugat pola kaderisasi di tubuh partai politik. Kebiasaan partai-partai yang cuma mengandalkan popularitas artis merupakan perjudian politik yang amat berisiko. Popularitas memang diperlukan dalam kompetisi politik, namun popularitas tanpa kompetensi adalah kenaifan. Mengobral ketokohan artis sambil berasumsi bahwa hal itu akan mendongkrak perolehan suara, tidak hanya telah merusak sistem kaderisasi partai, tetapi telah mengerdilkan partai sebagai infrastruktur politik yang bertugas merekrut calon-calon pemimpin bangsa.

Krisis etika

Sejak reformasi bergulir, muncul gejala masif yang menghantui perilaku kehidupan bangsa Indonesia, yakni gejala krisis etika. Euforia yang muncul akibat terbukanya kotak pandora reformasi membuat bangsa ini terjebak dalam situasi benang kusut penegakan etika, sehingga nyaris tak tahu dari mana lagi harus mengurai benang kusut yang membelit pranata etika itu. Dalam buku Etika Politik; Pandangan Seorang Politisi Islam; Faizal Baasir, Sinar Harapan 2003, pada kolom pengantar, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA menulis: "Hampir tidak ragu lagi, kemerosotan etika politik merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia sejak bermulanya masa 'reformasi' menyusul jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998. Kemerosotan etika politik pada masa reformasi itu bisa dilihat dalam berbagai kecenderungan dan indikasi, mulai dari semakin meluasnya tindakan-tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), money politics, sampai demonstrasi-demonstrasi massa yang tidak mempedulikan etika politik, yang kemudian bukan tidak sering out of control berubah menjadi anarkhi.

Semua gejala ini tambah memrihatinkan ketika suara-suara yang mengimbau penegakan kembali etika politik 'seperti batu jatuh ke lubuk', hilang tanpa bekas." Ada pun krisis etika dalam konteks politik kekuasaan itu lazim tergambar dalam wujud pragmatisme politik. Sosiolog, Ignas Kleden, pun menulis demikian: "Pragmatisme politik terjadi ketika politik kekuasaan mencari kesibukannya sendiri, sambil tidak mengindahkan pada tujuan perkembangan masyarakat yang berdasarkan pada nilai-nilai yang bersifat azasi. Pada saat seperti inilah politik menjadi pragmatis" (Lihat buku Masyarakat Indonesia Abad XXI, Peringatan 36 Tahun Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia; Editor A.Muhaimin Iskandar; 1996, Halaman 41).

Di tengah era modernitas yang terus bergerak, para politisi dituntut selalu mengedepankan rasionalitas politik berbasis etika. Artinya, etika harus melandasi setiap tindakan politisi di ruang publik guna menginternalisasi pendidikan politik dan pencerahan demokrasi, bukan hanya untuk masyarakat, tetapi sekaligus untuk para politisi sendiri. Di tengah masyarakat moderen yang mensyaratkan pranata kehidupan yang lebih rasional, tertib, dinamis, dan elegan, tidak boleh ada lagi lahan bagi praktek politik machiavelian, yakni politik yang menghalalkan segala cara alias tujuan menghalalkan cara.

Money politics

Penghayatan terhadap etika politik seharusnya merupakan hal prinsip bagi setiap pelakon demokrasi, tidak terkecuali bagi para kontestan pemilu kada. Pertarungan politik dalam pemilu kada hendaknya dilihat sebagai kompetisi demokrasi yang wajar, normal, dan biasa-biasa saja (Lihat buku Geliat Demokrasi di Kampung Halaman; Kado 10 Tahun Otonomi Lembata; halaman 6). Dalam pada itu, pemilu kada hendaknya tidak dilakoni sebagai pertarungan politik yang bersifat habis-habisan guna menggapai puncak kekuasaan, melainkan sebagai pintu masuk pengabdian total kepada rakyat.

Keruntuhan etika politik sebagaimana dirasakan sejak awal reformasi hingga sekarang ini, mengharuskan kita untuk kembali berjuang untuk melakukan rekontruksi (membangun kembali) budaya politik baru, dengan mencontohi budaya politik yang telah ditumbuhsuburkan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers), pada era generasinya Bung Karno-Bung Hatta, yang selalu menjunjung tinggi prinsip keimanan (religiositas), patriotisme, sikap moderat, toleran pada perbedaan, kecerdasan ide, kebesaran jiwa dalam bermusyawarah, dan memegang teguh prinsip kearifan-kearifan lokal di nusantara.

Seiring munculnya politisi-politisi muda usia dari generasi baru, akankah lahir pula budaya politik baru sebagai antitesa budaya politik lama yang konservatif, feodal, dan hegemonik sebagaimana diperankan politisi-politisi tua dari generasi lama? Kehendak kolektif untuk melahirkan budaya politik baru, sudah seharusnya tumbuh dari kesadaran kolektif para politisi muda, yang eksistensinya tidak tersangkut langsung dengan budaya politik lama yang kontraproduktif. Politik, baik itu politik kekuasaan maupun kondisi sosial politik bukanlah sesuatu yang berada dalam ruang hampa sosial. Oleh sebab itu, setiap pelakon politik seharusnya menyadari bahwa politik selalu berkorelasi dengan suatu keseluruhan (totalite), bahkan bersenyawa dengan denyut kehidupan kolektif masyarakat.

Sehubungan dengan penyelenggaraan pemilu kada di 244 daerah sepanjang tahun 2010 ini, masyarakat tentu berharap agar seluruh proses pemilu kada dapat berlangsung secara bermartabat dalam koridor budaya politik baru. Dalam konteks inilah, pemartabatan pemilu kada itu dapat diejawantahkan oleh setiap kontestan pemilu kada melalui sikap-sikap berikut. Pertama, menghargai hak setiap orang untuk maju mengikuti kompetisi pemilu kada sebagai penjelmaan hak untuk memilih dan dipilih yang dimiliki oleh semua warga negara tanpa kecuali. Kedua, mematuhi seluruh persyaratan dan tahapan resmi pemilu kada dengan cara tidak melakukan kampanye dini atau mencuri start, apalagi dengan menyalahgunakan fasilitas pemerintahan atau kedinasan. Ketiga, menjauhkan diri dari model persaingan yang tidak sehat seperti melakukan kampanye hitam (black campaign) dan pembunuhan karakter (character assassination) terhadap kompetitor atau lawan tanding. Keempat, menolak politik uang (money politics) karena tindakan tersebut tidak hanya mencederai substansi demokrasi, tetapi justru telah merendahkan martabat rakyat mengingat kedaulatan rakyat seolah-olah bisa dibeli seharga lembaran-lembaran uang. Kelima, memaknai bahwa kekuasaan adalah sarana untuk mengabdi pada kepentingan publik, dan bukannya menjadi tujuan untuk penikmatan kekuasaan itu sendiri.
Sabtu, 29 Mei 2010 | 20:43 WIB

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger