Headlines News :
Home » » Mengenang Pater Daniel Kiti

Mengenang Pater Daniel Kiti

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, May 25, 2010 | 3:42 PM

Oleh Leo Kleden
Rektor Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Maumere

Sesudah lama sekali terbaring di tempat tidur, hari itu dia tampak lebih sehat, kuat dan segar sehingga dia berani naik kursi roda sendiri keliling Biara Simeon (Rumah Jompo di Seminari Tinggi Ledalero). Pukul 18.00 Wita ketika seorang karyawan menyalakan lampu di kamarnya, P. Dan memandangnya dengan senyum ramah. Tapi setengah jam kemudian ketika karyawati menghantar makanan untuk santap malam, beliau sudah berpulang, terbaring dengan wajah yang teduh sekali. Tuhan memanggil hambaNya kembali di saat ia sendirian, dalam satu keheningan kudus.

Kepergian Pater Dan Kiti bertepatan dengan Hari Raya Pentekosta. Pada hari Pentekosta, ketika Roh Kudus turun dalam deru badai dan api membaharui semesta ciptaan, P. Dan dihantar ke tempat peristirahatan terakhir. Saya ingin menafsir hidup dan karya perutusan P. Dan dalam cahaya Pentekosta.

Pada hari Pentekosta Roh Tuhan membaharui umat Allah dalam tiga tanda. Pertama, deru angin badai. Itulah lambang Nafas Ilahi yang menghembuskan musim baru ke tengah semesta. Roh itu adalah nafas hidup yang sama yang dihembus Yesus atas murid-muridNya sesudah kebangkitan ketika Ia berkata: "Terimalah Roh Kudus." Menurut St. Arnold Janssen, Roh Kudus adalah musim semi abadi yang senantiasa melahirkan hidup baru, tunas-tunas hijau dan kuntum yang bermekaran di tengah alam ciptaan yang sebelumnya nampak mati dan gersang. Roh inilah yang melahirkan kita sebagai putra-putri Allah, dan mengubah para Rasul menjadi pewarta Firman yang berani dan setia.

Tanda kedua ialah nyala api, yang menerangi dan menghangatkan, tapi sekaligus membakar kepalsuan dan kedosaan kita seperti emas dimurnikan dalam tanur api.

Ketiga, umat beriman dari pelbagai bangsa yang berkumpul di Yerusalem mendengar Kabar Gembira dalam bahasa mereka masing-masing dan sanggup memahami inti warta yang sama tentang Kasih Allah yang menyelamatkan. Inilah antitesis peristiwa candi Babel ketika bahasa manusia dikacaubalau oleh keangkuhan manusia yang menjulang ke langit. Kini Roh Kudus menyatukan kita kembali dalam kasih untuk saling memahami sambil tetap menghormati keanekaragaman bahasa dan budaya. Satu hati aneka wajah, satu warta aneka bahasa.

Inilah mukjizat Pentekosta yang hadir dalam hidup dan perutusan P. Dan. P Dan dan teman-temannya belajar teologi di Ledalero ketika Konsili Vatikan II sedang berlangsung di Roma dan mereka ditahbiskan imam pada tahun 1967, dua tahun sesudah Konsili. Konsili Vatikan II dianggap sebagai Pentekosta baru, ketika badai Roh Kudus berhembus ke tengah gereja, merontokkan dahan-dahan tua yang telah lapuk dan kering, lalu menjelmakan Kabar Gembira yang satu dalam kuntum-kuntum segar yang bermekaran dengan indahnya di tengah segala bangsa dan kebudayaan. Untuk pertama kali sesudah Vatikan II dibuat eksperimen dalam liturgi dengan doa, nyanyian dan tarian dalam pelbagai kebudayaan. Kitab Suci diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lokal. Umat beriman disadarkan kembali bahwa kita adalah gereja dan menerima tanggung jawab aktif sebagai anggota umat Allah, putra-putri bapa yang satu.

Dalam konteks post-konsili P. Dan melihat bahwa musik memainkan peranan penting dalam kebudayaan suku-suku di kepulauan Nusa Tenggara ini. Sebagai pastor paroki maupun pengajar di seminari beliau sangat yakin bahwa musik dapat menjadi sarana pewartaan firman yang luar biasa. Karena itulah dia memutuskan untuk mendalami studi musik terutama di bidang komposisi. Sesudahnya ia juga membuat penelitian yang mendalam untuk memahami keindahan dan keunikan melodi lagu-lagu tradisional Flores, khususnya di wilayah Sikka, Tanaai, dan Lembata. Atas dasar penelitian itu beliau kemudian berhasil menciptakan lagu-lagu rohani yang kaya dan indah sekali.

Kalau kita simak dengan teliti lagu-lagu P. Dan ini, kita dengar deru gelombang laut Sawu yang diarungi nelayan-nelayan Lamalera, kita dengar getir derita dan gempitanya perjuangan umat Lembata, sukacita dan kepedihan petani-petani ladang jagung Tanaai dan Sikka. Melalui semuanya ini kita merasakan hembusan Roh Pentekosta: Satu warta aneka budaya, satu hati aneka wajah.

Melalui musik P. Dan menyebarkan nyala firman dan api roh cintakasih. Untuk beliau, menciptakan lagu-lagu adalah sebuah ibadah. Lagu-lagu P. Dan bukanlah harmoni dalam komposisi sederhana: sol mi do, sol mi do, fa re si, la fa do, melainkan rajutan yang kompleks dari harmoni dan disonansi, konkordansi dan diskordansi yang melambangkan pertarungan antara kegairahan hidup yang bernyala-nyala dan kelemahan, kegelisahan dan derita anak manusia. Ketika P. Dupon meninggal di Lewoleba, Dan Kiti membuat sebuah komposisi lagu ratap dari motif lagu rakyat Lembata yang luar biasa. Lagu itu dibuat sekian sehingga waktu misa ada dua koor yang nyanyi bersamaan: Yang satu menyanyikan Halleluya Haendel dan yang lain menyanyikan lagu ratap komposisi Daniel Kiti. Keduanya mengalir bersamaan untuk menunjukkan bahwa duka yang paling dalam dan kegembiraan yang paling meriah keluar dari sumur misteri kehidupan yang sama, dan bahwa kematian dalam pandangan iman Kristiani adalah perpisahan dan kehilangan tapi sekaligus kemenangan dan perayaan hidup baru.

Di hari Pentekosta Roh Tuhan mempersatukan kita dari segala bangsa dan budaya menjadi umat Allah yang satu. Menurut St. Yosef Freinademetz, bahasa satu-satunya yang dimengerti semua orang dari segala bangsa adalah bahasa cinta. Menurut Dan Kiti, musik adalah bahasa yang dimengerti semua orang dari segala bangsa. Kalau saya boleh menggabungkan pandangan kedua imam misionaris ini, saya ingin mengatakan: Sejatinya, musik dalam bentuknya yang terbaik adalah cinta yang dijelmakan dalam nada. Sebaliknya apa yang disebut cinta hanyalah alunan nada musik roh semesta yang terjelma dalam getar hati dan tindakan nyata manusia.

P Dan telah mencipta dengan sungguh-sungguh dan menjadikan hidupnya sebuah madah pujian untuk Tuhan karena dia sadar: "Vita brevis, ars longa." Hidup singkat, seni abadi.
Sumber: Pos Kupang, 26 Mei 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

1 comment:

  1. Turut berduka,rasa kehilangan tapi terlebih adalah rasa bahagia karena Tuhan telah memberi yang terindah buat Pater Daniel selama hidup,dan kerana itulah Tuhan menjemputnya kembali dalam keindahan keheningan.Kami sekeluarga Daniel Tukan di Blitar.nama saya diberi orangtuaku sebagai rasa hormat terhadap Pater Daniel Kiti,teringat dahulu masih kecil selalu dipanggil sebagai Daniel Kiti oleh keluarga.Selamat jalan pater selamat bahagia di rumah Bapa di surga.

    ReplyDelete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger