Headlines News :
Home » » Otonomi Daerah NTT: Jangan Biarkan NTT Terbelakang (2)

Otonomi Daerah NTT: Jangan Biarkan NTT Terbelakang (2)

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, May 25, 2010 | 3:42 PM

Awal Mei 2010, berita hasil ujian nasional di Nusa Tenggara Timur menghiasi media massa. Sayang, yang muncul bukanlah prestasi, melainkan tingkat kelulusan siswa yang menduduki posisi terendah.

NTT selama ini dikenal dengan predikat sebagai daerah miskin yang mungkin karena alamnya yang gersang dan tandus seperti itu. Tapi, kalau masih harus ditambah dengan predikat menjadi yang terbodoh, apa jadinya masa depan daerah ini,” kata Ketua Yayasan Tunas Muda Indonesia Melkiades Laka Lena yang asli NTT, Senin (24/5).

Hasil kelulusan UN di NTT tahun ini memang sangat memprihatinkan. Di tingkat SMP, dari 72.450 siswa yang mengikuti ujian, terdapat hampir 40 persen yang tidak lulus. Di tingkat SMA, dari 35.201 siswa yang mengikuti ujian, lebih dari 52 persen tidak lulus.

Pemerintah Provinsi NTT dan Kementerian Pendidikan Nasional, seperti diungkapkan Ketua Panitia UN NTT I Nyoman Mertha Yasa, tengah mencari akar persoalan rendahnya tingkat kelulusan itu. ”Masih terus dipetakan akar persoalannya. Jangan sampai penanganannya salah karena tidak menyentuh akar persoalan atau salah dalam menyimpulkan penyebabnya,” kata Nyoman di Kupang.

Hasil memprihatinkan pendidikan di NTT bisa jadi memang disebabkan pengelolaan di bidang pendidikan itu sendiri. ”Kegiatan koordinasi mengumpulkan guru di tingkat provinsi sekolah belum tentu mengirimkan guru untuk datang, apalagi jika yang diundang kepala dinasnya. Minta data-data pendidikan, termasuk sekolah yang rusak, juga sulit,” ujar Kepala Bidang Pendidikan Menengah Herman Umbu L Sagabara.

Belum lagi masalah pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana alokasi khusus (DAK) sektor pendidikan yang sebagian diserahkan langsung kepada sekolah. Banyak proyek fisik di sekolah yang dibebankan kepada guru sehingga memengaruhi tidak optimalnya proses belajar-mengajar. Guru ataupun petugas tata usaha sekolah tak disiapkan mengelola dana ratusan hingga miliaran rupiah. Yang terjadi justru banyak penyimpangan dan korupsi.

Contohnya dana dekonsentrasi pendidikan tahun 2006 yang seharusnya untuk merehabilitasi gedung sekolah, meningkatkan kualitas guru, dan pengadaan buku, sebagian hanya disimpan di rekening bank penyalur.

Infrastruktur minim

Otonomi daerah yang idealnya mampu memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat, kenyataannya belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi ideal itu. Infrastruktur dasar penunjang kehidupan masyarakat agar bisa lebih sejahtera juga belum sepenuhnya tercapai. Baik itu infrastruktur pendidikan, kesehatan, akses air bersih, jalan, maupun listrik.

Contoh kasus kondisi Desa Mbatapuhu di Kecamatan Harharu, Kabupaten Sumba Timur, yang relatif terisolasi. Siswa-siswi SD di desa itu, yang dijumpai pekan lalu, masih harus berjalan kaki sejauh lebih dari 6 kilometer untuk berangkat ataupun pulang sekolah. Berangkat sekolah pagi-pagi benar, pulang hampir sore hari. Itu pun harus naik turun perbukitan di tengah cuaca yang sangat terik.

Namun, menurut Kepala Dusun Praemarada, Desa Mbatapuhu, David Lindu (43), ”Siswa tidak rutin setiap hari berangkat ke sekolah. Kadang seminggu hanya dua-tiga kali masuk karena jarak sekolah yang jauh. Tidak sedikit yang malah putus sekolah.”

Anak-anak di sana rata-rata hanya bersekolah hingga tingkat SD. Untuk melanjutkan ke SMP yang ada di Rambangawu yang berjarak 13 kilometer, mereka harus menginap di tempat kerabat. Apalagi jika harus melanjutkan ke jenjang SMA yang jaraknya mencapai puluhan kilometer.

Kondisi infrastruktur kesehatan juga belum bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Di Desa Mbatapuhu, bidan Suratni sendirian memberikan pelayanan kesehatan di poliklinik desa. ”Penyakit yang banyak dijumpai di sini flu tulang dan malaria. Kalau flu tulang saya beri antalgin. Kalau tidak sembuh, ya, berarti sakitnya malaria dan diberi tambahan obat CTM (chlortrimeton),” katanya.

Warga juga kesulitan mengakses air bersih, terutama saat kondisi kekeringan. Kebutuhan air bersih warga biasanya dipenuhi dari air hujan yang mereka tampung dalam tandon air, bantuan pemerintah, dan lembaga karitas World Vision Indonesia.

Belum lagi persoalan infrastruktur jalan yang juga belum memadai. Untuk memutus rantai keterisolasian, misalnya, warga Dusun Praemarada di Desa Mbatapuhu berinisiatif membuka jalan secara swadaya agar mobil bisa masuk ke sana. Jaringan listrik juga belum menyentuh desa itu.

Buruknya tingkat kelulusan siswa di NTT, seperti disebutkan di atas, bisa jadi merupakan buah dari proses pendidikan yang berlangsung di tengah keterbatasan infrastruktur dan kemiskinan warga NTT.

Menurut mantan Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka Pastor Frans Amanue, kemiskinan dan keterbatasan kondisi masyarakat mengakibatkan mereka tidak berkesempatan mengakses pendidikan yang lebih tinggi, berdampak terhadap kualitas gizi dan kesehatan, hingga akhirnya juga memengaruhi kecerdasan dan tingkat pendidikan yang rendah.

Jangankan berpikir mengenai infrastruktur penunjang kehidupan yang lebih memadai, bahkan untuk makan sehari-hari saja sebagian rakyat NTT susah. Bencana kelaparan sudah di depan mata. Di Kabupaten Sumba Timur saja terdata ada 30.803 keluarga di 153 desa rawan bencana kelaparan akibat kekeringan.

Kondisi memprihatinkan ini mengundang kepedulian sejumlah elemen masyarakat di luar NTT. Salah satunya diwujudkan dengan ”Gerakan Save NTT” yang digalang melalui jejaring pertemanan facebook. Hanya dalam waktu tiga pekan sejak awal Mei lalu, gerakan ini didukung lebih dari 5.000 pengguna facebook.

Koordinator Kampanye Publik dan Penggalangan Dana Indonesia Corruption Watch (ICW) Illian Deta Arthasari, yang mengelola akun tersebut, menyatakan, Gerakan Save NTT berupaya mendorong kesadaran dan kepedulian publik tentang bencana kelaparan yang sudah di depan mata. (C Wahyu Haryo PS/Kornelis Kewa Ama)
Ket foto: Perilaku korup yang mengakar di sebagian birokrasi di Nusa Tenggara Timur menjadi ironi di tengah kemiskinan dan rawan pangan yang membelenggu warga di sana. Sejumlah anak di depan gubuk reyot milik warga miskin di tepi Pantai Lewoleba, Kabupaten Lembata, NTT, Rabu (12/ 5 ).
Sumber: Kompas, 26 Mei 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger