Sebanyak 417 penderita katarak di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, sulit dioperasi. Bola mata para penderita sudah mencapai stadium hypermature karena terlambat ditangani. Para penderita kebanyakan berusia 30-55 tahun yang tinggal di desa-desa terpencil.
Direktur Rumah Sakit Imanuel Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, dr Dany Christian di Waingapu, Selasa (1/6) mengatakan, ada tiga stadium katarak, yakni immature, mature, dan hypermature. Penderita katarak stadium hypermature tidak bisa dioperasi karena jaringan lensa mata sudah pecah dan merusak bola mata.
”Pasien katarak yang mendaftar ada 267 orang, tapi yang bisa kami operasi hari ini hanya 77 orang, 167 pasien tidak bisa. Bola mata mereka sudah rusak,” kata Dany.
Pada operasi pekan lalu, Senin (24/5), dari 426 pasien katarak yang terdaftar, hanya 88 orang yang bisa dioperasi. Adapun 250 pasien lain tidak bisa ditolong.
Dengan demikian, total ada 417 pasien katarak yang tidak tertolong. Di luar itu, masih banyak pasien di desa-desa terpencil yang sulit transportasi tidak bisa mendaftar.
”Sebagai dokter, kami sangat menyesal karena tidak bisa membantu mereka. Padahal, mereka masih berusia 30-55 tahun, masih sangat produktif. Sosialisasi bahaya katarak belum dilakukan bagi masyarakat di desa-desa terpencil,” kata Dany.
Penderita katarak sesungguhnya tidak hanya di Sumba Timur, tetapi juga tersebar di Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat. Mereka kesulitan biaya dan informasi sehingga membiarkan penyakit itu menimpa mereka.
Penyebab katarak, menurut Dany, antara lain gizi buruk, rokok, debu, paparan sinar matahari berlebihan, trauma, dan penyakit seperti diabetes.
Operasi katarak di Rumah Sakit Imanuel dilakukan secara gratis. Normalnya biaya operasi katarak Rp 5 juta per pasien, belum termasuk obat-obatan, dokter, dan administrasi rumah sakit.
Para dokter yang datang adalah sukarelawan dari Christoffel Blindenmission. Mereka adalah dr Arie SpM dari RSU Balikpapan dan dr Boyke SpM dari RSUD Soe, Timor Tengah Selatan. Mereka tidak dibayar, pihak rumah sakit hanya menanggung akomodasinya.
Belum serius
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah NTT daerah pemilihan Sumba Timur, John Umbu Detta, mengatakan, tidak hanya menyangkut katarak, tetapi hampir seluruh bidang kesehatan di daerah itu belum mendapat perhatian serius pemerintah.
”Kasus gizi buruk, malaria, demam berdarah, gangguan paru dan infeksi saluran pernapasan akut belum tertangani secara baik,” katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Sumba Timur Alex Mbilijora mengatakan, sosialisasi mengenai penyakit mata termasuk katarak sudah dilakukan. Masalahnya, saat ini di Sumba Timur tidak ada dokter spesialis mata yang bisa segera menolong penderita katarak.
”Dokter spesialis yang ada di Sumba Timur hanya kandungan, bedah, dan anak. Dokter spesialis penyakit dalam maupun mata belum ada,” katanya.
Menurut Alex, Pemkab Sumba Timur pada tahun 2005 telah berupaya melakukan kerja sama dengan dua dokter spesialis mata dari Universitas Gadjah Mada. ”Tetapi, mereka minta insentif sebesar Rp 20 juta per bulan. Pemkab tidak mampu membiayai,” katanya.
Saat ini, Pemkab Sumba Timur tengah melakukan negosiasi kerja sama dengan dokter dari Universitas Hasanuddin. Namun, belum mencapai kesepakatan.
Pasrah
Umbu Pagali (42), salah satu pasien katarak dari Desa Hambapraing, Sumba Timur, yang menderita katarak sejak usia 32 tahun hanya bisa pasrah. Tim dokter tidak bisa melakukan operasi katarak karena penyakit Pagali sudah stadium hypermature. ”Pasien katarak yang sulit dioperasi hanya bisa pasrah,” ujarnya. (KOR)
Sumber: Kompas, 2 Juni 2010 Ket foto: Gambar menunjukkan, dua orang penderita katarak di bawah pengawasan para perawat. Foto: dok.www.indonesian.cri.cn
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!