Headlines News :
Home » » Menggugat Kebijakan Pembelian Mobil DPRD NTT

Menggugat Kebijakan Pembelian Mobil DPRD NTT

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, June 02, 2010 | 4:12 PM

Oleh Umbu TW Pariangu
Dosen Undana, sedang belajar kebijakan publik pada Pascasarjana Fisipol UGM, Yogyakarta

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT kembali berulah. Dana Rp 7,6 miliar dihabiskan untuk membeli mobil bagi 38 dari 55 anggota Dewan terhormat. Ini sungguh sebuah elegi terdahsyat yang berusaha menopengi kebijakan tragis dengan alasan klasik untuk efektivitas pelayanan.

John Locke mengatakan bahwa negara adalah lembaga yang dibangun oleh banyak individu untuk melindungi dan mempertahankan hak-hak dasar mereka. Karena itulah dalam negara ada pemerintah dan wakil rakyat yang memiliki 'otoritas' mengatur sekaligus memperjuangkan perikehidupan rakyat dalam mempertahankan hak serta melakukan kewajiban melalui regulasi yang disepakati bersama.

Jeremy Bentham (1789) menyebut peran utama pemerintah adalah menciptakan suatu lingkungan di mana orang bisa menikmati hasil kerja mereka dengan melindungi hasil-hasil tersebut melalui hukum. Sedangkan wakil rakyat berusaha mewakili dan memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan, harapan dan cita-cita rakyat.

Definisi peran pemerintah ini selaras UUD 1945 'sebagai sumber hukum tertinggi-yang memosisikan pemerintah sebagai organ 'sakral' dalam menjamin perwujudan kemaslahatan rakyat lewat implementasi kebijakan-kebijakan yang bersifat pemenuhan (Frederickson, 1971:314). Sayangnya, kebijakan penguasa sejauh ini selalu disorientasi. Ia lebih merupakan proses sedimentasi dari berbagai kepentingan bias nilai, sehingga out comes kebijakan tidak berdampak nyata bagi rakyat atau tidak sesuai yang seperti direncanakan, bahkan melawan arus utama kepentingan rakyat seperti kebijakan pembelian mobil Dewan ini.

Ada tiga hal yang bisa dilihat di sini. Pertama, kebijakan pemerintah dan Dewan yang diambil dengan prinsip rasionalitas (rational choice) yang kaku. Pembuat kebijakan dituntut menjadi aktor rasional yang mesti mengondisikan alasan-alasan kebijakan bisa diterima masyarakat. Tapi letak persoalannya bukan rasional atau tidak rasionalnya sebuah kebijakan.

Rencana pembangunan gedung DPR-RI baru senilai Rp 1,8 triliun jelas akan melukai rasa keadilan rakyat ketika di sisi lain rakyat sedang bergumul dengan kesulitan hidup/kelaparan. Benar, pembangunan gedung DPR itu menyangkut keselamatan nyawa manusia karena pertimbangan konstruksinya sudah rapuh, tapi biaya sebesar itu jelas tidak mencerminkan moral kebijakan (policy is moral right) yang berupaya melindungi kepentingan lebih luas. Serasional apa pun kebijakan itu, ia harus dilegitimasi secara moral pada suasana umum kebatinan rakyat yang merupakan right holders.

Atas dasar itu juga kita memandang legalisasi kebijakan pembelian mobil untuk Dewan NTT merupakan sebuah pengkhianatan moral saat rakyat NTT sedang dihadang oleh bencana kelaparan. Kita masih ingat ketika beberapa desa di Sumba Timur kelaparan, pemerintah setempat mengeluh karena pemerintah pusat dan propinsi lamban mendistribusikan beras kepada warga yang lapar. Anehnya, uang Rp 7,6 miliar begitu mudah dihamburkan oleh pemerintah hanya untuk membeli 38 mobil yang nikmatnya cuma dirasakan oleh segelintir elite.

Padahal mereka adalah orang terhormat yang dipercayakan rakyat untuk menyuarakan jeritan hatinya. Ini sungguh sebuah opsi edan yang melukai rakyat.

Kedua, kebijakan yang miskin diskursus. Sebuah kebijakan yang efektif tidak dibuat di dalam ruangan tertutup. Ia harus dikomunikasikan dalam aras 'perdebatan' konstruktif untuk menemukan gagasan yang mendukung bagi tingkat penerimaannya di masyarakat. Kasus Century adalah contoh bagaimana kebijakan diambil tanpa melibatkan pihak di luar teknokratik kebijakan (technicrat's driven).

Eksklusi pembuatan kebijakan yang demikian hanya mengakumulasi nilai-nilai inkrematalik-elitis, dirancang oleh segelintir elite yang memiliki public affair tertentu sambil menjustifikasi kebijakan itu sudah benar. Ini beda dengan demokrasi ala Athena dulu yang amat mengenal budaya perdebatan dalam membahas suatu persoalan tentang kepentingan publik.

Kebijakan pembelian mobil Dewan mestinya juga dirundingkan dengan berbagai unsur kelompok di masyarakat untuk memperoleh sebuah keakuratan legitimasi perihal substansial tidaknya kebijakan itu memberi impak bagi rakyat. Bukan seenak udel menguras uang rakyat untuk membumper peningkatan kinerja sebagai alasan kebijakan yang sama sekali tidak populis.

Ketiga, karena kebijakan yang elitis, ia mudah sekali terjebak dalam traktabilitas, membuat kebijakan yang mudah dikerjakan menurut pertimbangan subyektif-parokial. Ketika kelaparan memberangus warga Sumba Timur, pemerintah seperti sudah bertindak sebagai save guard dengan mendistribusikan beras (raskin) ke warga seolah kemiskinan selalu berindikasikan mutlak ketiadaan pangan. Pemerintah lupa bahwa kemiskinan juga terkait kemampuan mengakses layanan publik (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) yang amat rendah.

Ketika para buruh menuntut kesejahteraan mereka diperhatikan, pemerintah seolah masa bodoh, tapi ketika ada tuntutan gaji Dewan, pejabat, harus dinaikkan pemerintah ramai-ramai mengetok palu persetujuan.

Contoh lain, kebijakan 'main gusur' terhadap PKL, penghuni pemukiman kumuh, para pengemis, gelandangan dengan alasan menggganggu keindahan dan kenyamanan kota. Budaya gusur-menggusur tanpa mencarikan alternatif solusi yang efektif merupakan instrumen pemaksaan yang bersifat cari gampang. Inilah mentalitas kebijakan kita yang belum sepenuhnya disadari. Semua persoalan ini sampai sekarang gagal ditangani oleh wakil rakyat kita sebagai agen rakyat.

Membeli mobil bagi 38 wakil rakyat jelas bukan suatu kebijakan yang rasional, melainkan emosional. Sebab korelasi antara ketercukupan fasilitas dan kinerja wakil rakyat sampai saat ini selalu dimentahkan oleh mental transaksionalitas kepentingan yang bercokol baik di Dewan maupun di eksekutif. Adakah yang bisa memastikan ketika setiap anggota Dewan dilengkapi mobil, mereka bisa meningkatkan kinerjanya? Lalu bagaimana kita menempatkan realitas bahwa rakyat NTT sudah bertahun-tahun tetap miskin, lemah mengakses pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, lapangan kerja) atau tingkat persentase lulusan siswa kita terus yang tertinggi dari propinsi lain yang semakin membuat kita terpuruk sebagai propinsi yang ber-Tuhan? Tentu realitas ini merupakan hipotesis mutlak bahwa fasilitas yang megah tak selamanya menjamin peningkatan performans.

NTT harus diberikan perlakuan khusus, karena kondisi rakyatnya sangat terbelakang, bahkan melarat. Perlakuan khusus ini bukan dalam soal wacana pada saat kita berkampanye atau melobi anggaran ke pusat, namun mutlak dikonkretkan dalam kebijakan anggaran yang berpihak pada rakyat (miskin). Kenapa uang senilai itu tidak diinvestasikan saja untuk memperbaiki mutu dan harapan hidup rakyat seperti membangun fasilitas pendidikan, kesehatan, membuka lapangan kerja atau diberikan untuk memfasilitasi peningkatkan kinerja para street level bureaucrat, yang tugasnya berhubungan langsung dengan kepentingan rakyat seperti tenaga kesehatan, bidan, penyuluh, guru-guru, dan lain-lain?

Institusi Dewan bukanlah tempat hedonisasi, bekerja mencari uang. Bukan sebagai tempat tawar menawar kepentingan, apalagi sebagai sarana mengembalikan modal. Kalau ini yang terjadi betapa kerdil dan hancurnya martabat institusi Dewan kita. Ujung-ujungnya rakyatlah yang menderita. Dan penderitaan rakyat NTT akan kian sempurna karena akar penyebabnya justeru datang dari sekelompok politisi yang pernah bersumpah mengabdikan dirinya bagi kepentingan rakyat. Benar, mereka telah silau oleh uang dan kekayaan sambil mengatakan go t o hell with your aid pada rakyat yang sejatinya sebagai anak kandungnya sendiri yang berlindung pada nurani.

Bung Hatta pernah mengatakan, ...segala hukum (recht), peraturan/kebijakan harus bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat banyak (Hatta, 1932). Tanpa itu, hukum atau kebijakan kita hanya sebagai komoditas konflik dalam masyarakat.

Untuk itu rakyat NTT perlu menekan pada pemerintah dan Dewan agar kebijakan pembelian mobil bagi DPRD NTT ini dibatalkan saja. Rakyat tak mesti takut dinilai sebagai pembangkang atau pengeluh. Bahkan Miewald dan Comer (1986:486) menyatakan mengeluh merupakan bentuk hubungan langsung antara rakyat dan pemerintah terhadap sebuah situasi dan kondisi yang dirasakan menyimpang dari kehendak dan cita-cita pelayanan publik. Karena itu pengeluhan maupun pembangkangan rakyat rakyat mestinya direspons sebagai masukan berharga sekaligus alat kemudi pemerintah dan Dewan untuk menerjemahkan apa maunya rakyat bukan maunya para borjuis lokal yang arogan dan bebal sekaligus menyebalkan.
Sumber: Pos Kupang, 29 Mei 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger