Kiai Ali-begitu dia biasa dipanggil-pernah menduduki kursi puncak di Majelis Ulama Indonesia. Dia juga pernah menjadi Rais Am Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Tanah Air. Kiai Ali memutuskan mundur dari NU pada 1991 karena persoalan bantuan dana SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) untuk yayasan melalui NU.
Sekarang Kiai Ali telah melepaskan hampir semua jabatan di organisasi. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Kiai kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, ini hanya sebulan sekali menggelar pengajian di luar rumah. "Saya tahu diri karena sudah tak muda lagi," katanya.
Usia telah membatasi aktivitasnya. Jalan harus dibantu. Dia rutin menjalani suntik insulin karena gula darahnya tinggi. Sehari-hari Kiai Ali hanya makan kentang dan wortel, tanpa nasi. Keluhan di tubuhnya sebagian besar lebih disebabkan oleh faktor usia, sehingga dia diminta dokter untuk bersabar. "Dulu saya menyuruh orang bersabar, sekarang saya disuruh sabar oleh dokter," ujarnya.
Meski lebih banyak di rumah, Kiai Ali tetap mengikuti perkembangan berita terbaru, seperti kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama, kontroversi zakat, serta soal organisasi yang telah membesarkannya, Nahdlatul Ulama. Jumat pekan lalu, Kiai Ali menerima Yandi M. Rofiyandi, Poernomo Gontha Ridho, dan fotografer Suryo Wibowo dari Tempo di rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang.
Mengapa kini kerukunan umat beragama mengalami erosi?
Kita mulai dulu dari semboyan kerukunan hidup antarumat agama yang berbeda. Awalnya muncul gagasan tri-kerukunan yang dicetuskan Pak Alamsjah Ratu Perwiranegara (almarhum) sewaktu menjadi Menteri Agama, 1983-1988. Kerukunan yang dimaksud adalah kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, serta kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.
Anda termasuk yang menyumbang gagasan tri-kerukunan?
Iya. Saya ikut menyumbang gagasan itu. Ketika Pak Alamsjah pertama kali menjabat menteri, saya diajak berkeliling ke seluruh Jawa dan Madura sambil berdiskusi. Gagasan itu berkembang sampai sekarang. Tapi ada orang berbicara sepotong-sepotong, tak utuh, dan berbicara untuk kepentingan masing-masing. Bahkan ada yang mencopot dengan mengatakan kerukunan antaragama. Padahal antaragama itu tak bisa, karena masing-masing punya prinsip.
Gagasan itu diwujudkan dalam bentuk apa?
Gagasan itu merupakan pencerahan kepada seluruh umat beragama. Tidak diundangkan atau dibuat peraturan. Pak Alamsjah tampil dengan gagasannya dan mendapat sambutan dari seluruh umat beragama dan pemerintah.
Bukankah sebelum ada gagasan itu umat beragama di Indonesia sudah rukun?
Dalam prakteknya memang umat kita rukun. Tapi tak ada gagasan yang dirumuskan sedemikian lengkap seperti cara Pak Alamsjah. Di Indonesia belum pernah terjadi perang agama, berarti ada kerukunan. Di zaman penjajahan dulu memang ada kekerasan antarpenganut agama. Misalnya kekerasan Katolik dengan Protestan atau NU dengan Muhammadiyah. Tapi, setelah merdeka, tak ada lagi. Dulu bisa saling lempar batu.
Apakah gagasan itu efektif?
Setelah Pak Alamsjah mengembangkan tri-kerukunan, secara berangsur kerukunan itu terasa. Pengamat dari luar memuji kerukunan umat beragama di Indonesia, dibandingkan dengan Inggris dan Irlandia. Negara yang mirip dengan Indonesia itu Libanon. Di sana ada kekuatan Kristen, Islam, Syiah, dan Sunni, tapi bisa rukun sedemikian rupa sehingga diatur dalam negara. Jadi umat beda agama bisa disatukan untuk membela negara.
Namun faktanya banyak pengikut Ahmadiyah yang menderita di mana-mana....
Ahmadiyah memang tak masuk tri-kerukunan. Kita berbicara tentang Ahmadiyah tanpa kepentingan politik apa pun. Dalam hal ini, tak mungkin ada yang lebih tahu tentang Ahmadiyah dibandingkan dengan negara asalnya, yakni Pakistan. Di sana kelompok Ahmadiyah pernah meminta kursi perwakilan pada waktu awal pemerintahan Ali Jinnah. Akhirnya, diambil keputusan memberikan satu kursi, yaitu kursi minoritas non-Islam.
Jadi, menurut Anda, mereka bukan bagian dari Islam?
Iya, bukan sebagai intern umat Islam. Orang Pakistan lebih tahu daripada kita karena ajaran ini lahir di sana. Kita kan cuma main akal-akalan, tak tahu sejarahnya.
Apakah dibenarkan terjadinya diskriminasi dan penganiayaan terhadap pengikut Ahmadiyah?
Tidak. Ahmadiyah boleh saja hidup kalau menempatkan diri sebagai minoritas non-Islam. Umat Islam bisa bekerja sama dengan non-Islam. Saya sudah mengkaji dan menyaksikannya di Pakistan dan Bangladesh.
Apa yang memicu munculnya kekerasan terhadap Ahmadiyah belakangan ini?
Seharusnya memang tak ada kekerasan, asalkan mereka tahu menempatkan dan membawa diri. Ada satu kaidah pergaulan yang sifatnya universal, yaitu setiap manusia harus tahu diri. Orang tahu diri pasti tahu menempatkan diri. Orang yang menempatkan diri pasti tahu membawa diri. Jangan salah tempat, harus tahu sopan santun dalam pergaulan. Kita sekarang melihat di Indonesia terlalu banyak orang tak tahu diri sehingga banyak kekacauan.
Bukankah sewaktu Anda di Majelis Ulama Indonesia tak ada kekerasan terhadap Ahmadiyah?
Memang tak pernah bermasalah. Saya juga hanya sepintas saja di MUI. Saya cuma menyelesaikan periode Pak Hasan Basri (sebagai Ketua Umum MUI Pusat). Waktu itu semua orang berfokus ke reformasi.
Di masa Orde Baru juga jarang terdengar kekerasan terhadap Ahmadiyah.
Memang tidak ada, karena diatur sedemikian rupa oleh pemerintah. Dengan segala kejelekannya, Orde Baru sangat kuat kendalinya. Setelah reformasi kan kebablasan sehingga tak tahu aturan.
Benarkah anggapan bahwa pemerintah sepertinya tak melindungi pengikut Ahmadiyah?
Mestinya negara punya ketegasan dan campur tangan seperti di Pakistan. Warga Ahmadiyah yang tak mengikuti ketentuan pindah ke London. Menteri luar negeri pertama juga dicopot akibat keputusan tegas di Pakistan itu.
Bagaimana dengan munculnya kelompok yang mengatasnamakan agama untuk melakukan kekerasan?
Itulah sebagian yang disebut tak tahu diri. Jadi seenaknya saja, di samping memanfaatkan kelemahan pemerintah. Kalau pemerintah kuat, tak akan terjadi. Pemerintah kini tak mampu menciptakan apa yang telah dilakukan Orde Baru, meskipun (Orde Baru) banyak kejelekannya.
Muncul pula pengusiran umat kristiani oleh kelompok yang mengatasnamakan Islam.
Itu juga bagian dari kebablasan orang menggunakan kebebasan, dan kelemahan pemerintah untuk mengendalikannya.
Ada yang beranggapan agama itu urusan individu dengan Tuhannya dan peran negara minimal saja....
Itu pendapat usang. Saya selalu mengatakan bahwa agama di Indonesia itu konstitusional. Alasannya, dalam Undang-Undang Dasar itu terdapat pasal 29 dengan judul agama, berarti bagian dari konstitusi. Itu yang perlu diangkat dan disosialisasi. Jadi bukan urusan pribadi. Negara tentu harus tahu diri dalam mengendalikannya.
Apa komentar Anda tentang munculnya fatwa mengkafirkan koruptor?
Saya tak bisa berkomentar karena belum tahu alasannya. Saya ingin melihat dari segi positifnya. NU ingin memberikan sumbangan dalam gerakan antikorupsi dengan cara dan alasannya sendiri.
Apa penilaian Anda tentang NU sekarang?
Sejak saya berpisah dengan Gus Dur awal 1990-an, saya sudah jauh dari wilayah NU. Secara organisasi, saya tak pernah berhubungan.
Benarkah kini organisasi kaum nahdliyin itu lebih maju dibanding dulu?
Saya lihat ada kemajuan bahwa di dalam tubuh NU makin tumbuh kalangan intelektualnya. Namun ada intelektualnya juga yang kebablasan. Artinya terlalu bebas, di luar batas NU.
Bagaimana dengan sikap pengurus NU yang berpegang kembali kepada khitah dan berpisah dari politik praktis?
Seharusnya memang begitu. Tapi prakteknya NU tak bisa dipisahkan dengan Partai Kebangkitan Bangsa. Sebab, yang paling menarik di dunia ini adalah kekuasaan. Seharusnya NU memang lebih menjalankan fungsi sosial, keagamaan, dan pendidikan. Semuanya harus dijalankan dengan sungguh-sungguh dan penuh pengorbanan.
Ada dugaan bahwa kini ada kecenderungan santri yang terlibat terorisme.
Dari dulu, semua pemimpin pesantren NU selalu mengatakan tak mengenal kekerasan. Jadi, kalau ada, tentu ada faktor lain. Gembong kekerasan di Indonesia ini pesantren yang ada di Solo. Itu bukan pesantren NU. Pendapat itu menurut pemerintah. Saya tak begitu tahu persisnya. Wallahualam.
Apa pendapat Anda tentang polemik Undang-Undang Zakat?
Sewaktu saya di MUI, akhir 1990-an, saya dengan beberapa kawan sudah memperjuangkan adanya Undang-Undang Zakat. Waktu itu belum ada Undang-Undang Zakat. Yang ada cuma badan zakat dan kebijakan pemerintah daerah masing-masing. Lalu ada isyarat dari Pak Harto supaya zakat diorganisasi dengan baik. Jadi tiap daerah mengambil inisiatif membuat lembaga zakat dengan kontrol daerah masing-masing.
Anda pernah mengatakan bahwa kunci soal zakat ini adalah amil....
Sekarang ini zakat dikelola pemerintah langsung dan di luar pemerintah melalui lembaga amil zakat dan badan amil zakat. Pengelola di luar pemerintah itu di bawah pengawasan pemerintah. Ternyata sekarang pengawasan dan kendali terhadap lembaga zakat sangat kurang.
Bagaimana pengawasan itu sebaiknya dilakukan?
Mestinya ketat. Sekarang kita lihat, di hampir semua instansi ada amilnya. Bank juga punya amil. Itu tak ada kendali sama sekali, bagaimana mengawasi dan sebagainya. Padahal potensi zakat sangat besar. Kalau diberdayakan, akan punya arti besar, terutama dalam menekan angka kemiskinan. Namanya zakat bukan memelihara kemiskinan dan orang miskin. Zakat itu suatu upaya menjadikan orang miskin sebagai pembayar zakat.
Bagaimana potensi zakat fitrah menjelang Lebaran?
Ada perbedaan antara zakat badan atau fitrah dan zakat harta atau mal. Zakat fitrah itu kecil sekali dibanding zakat mal karena waktunya hanya sekali, setiap akhir puasa. Bisa dikatakan, zakat fitrah hanya satu persen dari keseluruhan. Tapi yang sering ditonjolkan justru yang kecil ini.
Perlukah sanksi bagi yang tak membayar zakat?
Mestinya begitu, tapi harus melalui undang-undang.
Mungkinkah pembayaran zakat bisa untuk mengurangi pajak?
Memang seharusnya seperti itu. Di Malaysia jelas. Kalau orang mau lihat pelaksanaan yang baik, silakan belajar dari Malaysia. Kita lihat, misalnya, pengusaha menengah tumbuh dengan pesat dan menjadi pemasukan besar bagi zakat. Namun pengusaha besar belum digarap sama sekali. Yang gede-gede ini zakatnya masih sukarela.
Profesor KH Ali Yafie
Tempat dan tanggal lahir:
Desa Wani, Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September 1926
Karier:
- Hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar, 1959-1962
- Kepala Inspektorat Peradilan Agama, 1962-1965
- Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang, 1965-1971
- Anggota DPR/MPR 1971-1987
- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, 1990-2000
- Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 1991-1992
Tanda Jasa/Penghargaan:
- Bintang Mahaputra
- Bintang Satya Lencana Pembangunan
Sumber: Tempo edisi 26/39 tanggal 23 Agustus 2010
Ket foto: Profesor KH Ali Yafie (gbr 1) saat peluncuran buku Pengembaraan Batin Orang Jawa Di Lorong Kehidupan (gbr 2).
Foto: dok. google.co.id
Ket foto: Profesor KH Ali Yafie (gbr 1) saat peluncuran buku Pengembaraan Batin Orang Jawa Di Lorong Kehidupan (gbr 2).
Foto: dok. google.co.id
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!