Headlines News :
Home » » Mendiskusikan NTT dengan Empati

Mendiskusikan NTT dengan Empati

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 23, 2010 | 11:10 AM

Oleh Steph Tupeng Witin
alumnus magister teologi STFK Ledalero

IGINAS K Lidjang menulis sebuah opini bertajuk "Kegaduhan Sekitar Masalah Tambang" (Pos Kupang 12/8/2010) yang sesungguhnya hanya mengumpulkan kembali remah-remah gagasan yang selama ini jatuh dari meja perdebatan intelektual dengan kesungguhan dan empati mendalam terhadap lingkungan NTT. Gagasannya ini sebenarnya sudah kadaluwarsa, kasarnya, sudah basi, dan sangat layak untuk menjadi penghuni kotak sampah. Namun dengan keahliannya sebagai seorang peneliti pertanian (yang pantas diragukan!), gagasan-gagasan itu coba didaur ulang dengan 'sedikit' kepakaran dalam bidang pertanian yang bila dicermati dalam keseluruhan artikel ini, hanya menggambarkan bahwa peneliti di institusi BPTP NTT Naibonat ini sedang merasa tersesat dalam dunia dan lingkungan kerja.

Hal yang menarik adalah bahwa seorang peneliti pertanian tidak berbicara secara akademik-ilmiah (tentu sesuai penelitian dan data) tentang bagaimana mengembangkan pertanian di NTT - bidang yang selama ini ia geluti yang tentunya dibiayai oleh uang rakyat - tetapi justru menganjurkan pertambangan: monster yang terkenal dengan energi penghancur lingkungan yang dahsyat.

Tulisan ini merupakan sebuah ungkapan kekecewaan terhadap peneliti pertanian ini yang tiba-tiba muncul dalam medan perdebatan intelektual terkait pertambangan di NTT lalu berlagak sebagai moderator yang menyimpulkan percaturan gagasan selama ini dalam anjuran yang hanya membahasakan kegagalan, kegelisahan dan ketidakmampuannya sebagai peneliti pertanian. Publik sesungguhnya merindukan gagasan brilian dari seorang peneliti pertanian yang dibiayai negara untuk berpikir, menggagas dan mendiskusikan bagaimana NTT dibangun dari sisi pertanian, perikanan dan kelautan.

Lidjang memakai kata 'kegaduhan' untuk membahasakan perdebatan selama ini di ruang media publik. 'Kegaduhan' perdebatan selama ini dimaknai dalam ruang empati mendalam terhadap kelestarian lingkungan dan keberlanjutan generasi di NTT. Sementara 'kegaduhan belakangan' Lidjang ini miskin pencerahan malah semakin mengaburkan eksistensinya sebagai peneliti pertanian ditambah kutipan kitab suci tanpa konteks yang jelas (asal gaduh) dan ditutup dengan kuliah singkat tentang pasal 33 UUD 1945 yang secara sempurna menghantar pembaca memasuki haribaan ranjang malam.

Beberapa butir gagasan dan pertanyaan berikut ini untuk kita renungkan bersama terkait keberadaan NTT yang terdiri dari gugusan kepulauan yang memiliki potensi yang menjanjikan asalkan kita tidak cepat putus asa dan menghilangkan mental cari gampang lalu berlagak sok-sokan dengan mencap 'naif' (menurut kamus: bodoh, tidak masuk akal) setiap individu atau kelompok yang memiliki komitmen tulus untuk memikirkan tanah NTT. Jangan-jangan, gagasan kita sendiri tanpa kita sadari mengungkapkan bahwa kitalah yang na'f (bodoh dan tidak logis).

Pertama, Lidjang mengawali tulisannya dengan 'visi kemakmuran', tapi bila kita cermat, gagasan itu sama sekali jauh dari pandangan masa depan. Dia hanya mengutip Pembukaan UUD 45 dengan sedikit penjelasan, tanpa pasal, lalu melarikan diri ke ayat kitab suci. Justru pasal 33 UUD 45 itu yang selama ini dipakai oleh pemerintah untuk menindas dan merepresi hak-hak rakyat. Apalagi kutipan ayat kitab suci itu tanpa konteks yang jelas, asal bunyi dan sering dipakai oleh beberapa bupati di NTT untuk melegitimasi kegagapan pertanggungjawaban kebijakan pertambangan yang dilawan rakyat. Maka ini bukan gagasan baru, bahkan setan pun bisa mengutip ayat kitab suci. Maka, sesungguhnya yang hadir bukan 'visi kemakmuran', melainkan 'visi materi represi'. Tentu harus ada visi kemakmuran tetapi janganlan mempromosikan suatu visi kemakmuran yang ugal-ugalan. Tampaknya, Lidjang memiliki pandangan yang antroposentris (manusia sebagai pusat), suatu pandangan yang dalam konteks krisis ekologi dewasa ini sudah makin jauh ditinggalkan.

Kedua, terbaca keputusasaan Lidjang terkait eksistensi ruang pertanian di NTT. Hal yang mengejutkan sekaligus mengherankan adalah bahwa justru orang-orang kecil, petani dan nelayan di NTT sudah berabad-abad lahir, hidup dan mati di atas tanah pertanian dan laut yang saat ini sedang digelisahin oleh seorang peneliti pertanian. Mungkin inilah kerja seorang peneliti: menghadirkan kegelisahan dan keputusasaan. Bahwa rakyat hidup di NTT, sederhana, apa adanya, merupakan bukti bahwa ada optimisme dan semangat bertarung hidup. Lalu Lidjang bernostalgia tentang NTT masa lalu: Cendana yang memudar keharumannya, apel SoE yang perlahan punah, peternakan sapi yang menjadi kebanggaan; semua tinggal memori. Pertanyaan: apakah para peneliti sudah menemukan akar dari musnahnya potensi-potensi yang tinggal nostalgia ini? Kalau akar soal sudah ditemukan, apa solusinya agar potensi-potensi itu kembali mengharumkan NTT? Kita butuh data dan fakta dari Naibonat, bukan keluhan, bukan kegagapan lalu memancangkan solusi yang gebyar yaitu tambang untuk kembali mengharumkan NTT. Siapa tahu, BPTP NTT Naibonat ketiban proyek baru!

Apa yang bisa terbaca? Seorang peneliti di bidang pertanian, yang dibayar oleh negara setiap bulan untuk mengembangkan pertanian di NTT malah menjadi orang yang menganjurkan pertambangan di lahan-lahan pertanian warga yang sudah minim. Ini adalah pengakuan sangat jujur dari seorang aparat pemerintah tentang kegagalan mengembangkan pertanian di NTT yang cocok dengan ekologi-fisik NTT. Ini juga merupakan olok-olokan sangat serius terhadap proyek pengembangan pertanian yang sedang dijalankan oleh Gubernur NTT, termasuk rencana pengembangan jagung yang gencar dikampanyekan tetapi miskin implementasi konkret tersebut. Bila ditarik lebih jauh, bisa juga dibaca bahwa ini adalah pengakuan seorang aparat pemerintah bahwa dinas pertanian, BPTP NTT di Naibonat itu tidak ada guna, pemborosan dan sia-sia. Seorang teman dari Flores Timur menganjurkan agar fakultas-fakultas pertanian dan peternakan di universitas dan IPB Bogor diganti menjadi fakultas pertambangan, BPTP NTT di Naibonat diubah menjadi balai pelatihan dan pengembangan pertambangan, gedung-gedungnya menjadi gudang mangan dan pegawai-pegawainya menjadi satpam.

Ketiga, apakah gereja sudah mengembangkan ekonomi umat? Menarik bahwa pertanyaan ini muncul dari aparat pemerintah yang dibayar untuk mengembangkan pertanian/ekonomi rakyat. Tentu saja gereja mempunyai andil yang tidak kecil dalam pengembangan sosial ekonomi umat di NTT, jauh sebelum NKRI ini terbentuk, lebih jauh lagi sebelum BPTP NTT Naibonat didirikan. Seandainya Lidjang terbuka matanya, dia akan melihat betapa para misionaris yang berkarya jauh sebelum Lidjang lahir telah berandil dalam mengembangkan kehidupan sosial ekonomi tanpa dibayar sepeser pun oleh negara. Hingga saat ini karya sosial karitatif ini terus berlangsung di dalam tubuh gereja tanpa pernah mengeluh di ruang publik seperti Lidjang ini, yang mestinya dituntut tanggung jawabnya karena digaji negara. Bila Lidjang cukup punya waktu, bacalah disertasi dari RAF Paul Webb, Palms and the Cross: Socio-Economic Development in Nusatenggara 1930-1975 (James Cook University, 1986).

Tentu masih banyak dokumen lain. Meski dengan keterbatasan resources hasilnya tidak sangat memuaskan. Tapi pertanyaan tadi sebetulnya pertama-tama mesti diajukan kepada pemerintah sendiri, yang menagih pajak dari rakyat yang dihasilkan dari tanah yang sedang digadaikan kepada pertambangan, yang membuat pinjaman uang dari luar negeri dalam jumlah yang hampir tak bisa dibayar lagi atas nama pembangunan, termasuk pembangunan di bidang pertanian yang menjadi bidang kajian Lidjang dan puluhan (ratusan?) pegawai dan peneliti di BPTP NTT Naibonat yang tiba-tiba kerasukan mangan lalu lupa bicara tentang pengembangan pertanian di NTT. Terkait keterlibatan gereja dalam masalah pertambangan di NTT, ini bagian dari karya kenabian dan sejalan dengan etika global: memelihara, merawat dan menjaga keutuhan hidup.

Keterlibatan ini menjadi inspirasi agar kita tidak hanya berpikir pragmatis-egoistik tetapi lebih melihat jauh ke depan, terutama keberlanjutan generasi. Saya tidak mengerti bahwa Lidjang menganjurkan pertambangan karena menurutnya masalah kelestarian lingkungan bisa dicari solusi sosial, ekonomi, hukum/aturan terutama iptek. Kita tunggu hasil penelitian solutif dari BPTP NTT Naibonat!

Keempat, saya kutip kalimat terakhir Lidjang: "Manusia jangan sombong, alam lebih kuat dari yang kita perkirakan terutama dalam memulihkan dirinya sendiri." Mengejutkan bahwa kalimat seperti ini muncul dari seorang peneliti pertanian sementara para ahli lingkungan hidup tidak sanggup mengembalikan kedigdayaan hutan di Kalimantan dan Bangka Belitung yang hancur oleh pertambangan dan pembalakan liar. Kalimat ini bermakna: lakukan pertambangan sebesar-besarnya karena toh nanti alam akan memulihkan dirinya sendiri. Bakar saja padang dan hutan, toh alam akan memulihkan dirinya sendiri. Buang saja sampah-sampah ke sungai, toh alam akan memulihkan dirinya sendiri. Dengan kata lain: Hai perusahaan tambang, datanglah dan hancurkan tanah NTT dengan pertambangan karena BPTP NTT Naibonat akan membantu alam untuk pulih kembali. Mari kita berpikir bersama untuk membangun NTT tercinta penuh empati.
Sumber: Pos Kupang, 23 Agustus 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger