Headlines News :
Home » » Pertumbuhan di Tengah Infrastruktur Keropos

Pertumbuhan di Tengah Infrastruktur Keropos

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, September 03, 2010 | 11:22 AM

Oleh Ansel Alaman
pengajar character building Unika Atma Jaya dan Binus University

Menarik dicermati lebih lanjut Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus lalu, khususnya perihal pertumbuhan ekonomi dari perspektif politik infrastruktur. Tema RKP tahun 2011 adalah Percepatan pertumbuhan ekonomi berkeadilan, didukung oleh pemantapan tata kelola dan sinergi pusat dan daerah. Tema itu sangat menjanjikan bagi bangsa, sekalipun masih berkubang kondisi laten pemiskinan, yang menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 penduduk miskin Indonesia berjumlah 32,5 juta jiwa (14,15%).

Presiden merinci bahwa dari Rp1.202 triliun belanja negara 2011, Rp395,2 triliun digunakan untuk belanja kementerian dan lembaga pemerintah (LPND). Dari jumlah itu, pemerintah mengalokasikan dana untuk menyukseskan tujuh sasaran utama dan paling atas dari sasaran itu adalah menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi berkualitas, yang didukung pembangunan infrastruktur, termasuk transportasi dan energi. Dari itu, porsi belanja modal dianggarkan Rp121 triliun, digunakan untuk pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana dasar/infrastruktur seperti irigasi, transportasi, perumahan, dan sumber daya air. Persoalannya, bagaimana kondisi infrastruktur kita?

Daya saing rendah

The World Economic Forum (FEW) sejak 2008, seperti dirilis Bappenas tentang posisi daya saing infrastruktur di 134 negara, Indonesia berada di posisi ke-55, di bawah Thailand yang bertengger di posisi ke-34. Posisi itu bisa saja berubah beberapa waktu terakhir. Posisi rendah tersebut jika dirinci di beberapa subsektor, peringkatnya menjadi: infrastruktur umum berada di peringkat 96, kondisi jalan (roads) peringkat 105 di bawah Vietnam (102) dan Thailand jauh di atas Indonesia (32). Infrastruktur kereta api (railroad) di peringkat 58 di bawah Thailand (48), di atas Filipina (85); pelabuhan (port) di peringkat 104, di atas Vietnam (112), tapi jauh di bawah Thailand (48). Infrastruktur perhubungan udara (air transport) peringkat 75, di atas Filipina (89), Vietnam (92), tapi jauh di bawah Thailand (28) bahkan Malaysia (20). Dan peringkat energi (electricity) di urutan ke-82 sama dengan Filipina, di atas Vietnam (104), tetapi jauh di bawah Thailand (43).

Peringkat tersebut pasti saja sudah berubah, tetapi tidak signifikan. Sebab kita terus berkutat dengan masalah pokok (Bappenas Juni 2010), soal hambatan geografis, disparitas Jawa-luar Jawa, menurunnya kinerja infrastruktur pada pemerintah daerah, seperti buruknya kondisi jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap over-loading (muatan lebih) kendaraan antarpulau yang menghancurkan prasarana jalan makin memberatkan mobilitas sosial di banyak tempat. Selain itu, turunnya penyediaan air baku dan fungsi jaringan irigasi, rendah cakupan pelayanan air minum dan limbah, terbatasnya penyediaan rumah layak huni bagi rakyat menambah deret keropos infrastruktur kita. Bidang transportasi, seperti transportasi laut, masih rendah kualitas dan tata kelola armada pelayaran nasional terhadap persaingan luar negeri. Pada 2008/ 2009 saja, armada nasional untuk angkutan bertrayek luar negeri hanya 6%, sedangkan armada asing yang beroperasi di Indonesia mendominasi, 94%. Sebaliknya, angkutan di wilayah nasional kita sendiri tahun itu hanya 64%, sedangkan armada asing 36%.

Keropos kualitas

Artinya, kualitas dan daya saing angkutan barang dan penumpang kita masih rendah alias keropos. Indikatornya, untuk angkutan laut seperti frekuensi bongkar/muat di empat pelabuhan utama (Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar). Pelabuhan Tanjung Priok periode Januari- Mei 2010 (BPS, Juni 2010) misalnya, jumlah muat 4.792.511 ton oleh angkutan dalam negeri/antar pulau, sedangkan oleh angkutan asing 1.977.662 ton. Sementara itu, bongkar periode yang sama oleh angkutan dalam negeri sebanyak 6.733.719 ton, dan bongkar dari angkutan asing sebesar 5.387.521 ton.

Angka itu menunjukkan armada asing yang beroperasi di wilayah Indonesia saja hampir menyamai bahkan melampaui armada nasional. Apalagi operasi di luar negeri, kita harus berjuang keras untuk tidak terus bertekuk lutut di bawah dominasi asing, sesuai dengan amanat UU No 17/ 2008 tentang Pelayaran. Infrastruktur lain, seperti jalan, menyimpan banyak persoalan. Di mana-mana rakyat mengeluh kerusakan jalan seperti trans-Sumatra, Kalimantan, trans-Sulawesi, trans-Flores, dan lain. Rusaknya jalan karena longsoran material, buruknya sistem drainase menghancurkan bahu jalan karena tidak dirawat, jembatan ambrol, dan paling menjengkelkan adalah kemacetan di kota-kota besar seperti Jakarta.

Persoalannya, apakah pembangunan fly-over dan underpass (4.551 m), preservasi (perawatan) jalan dan jembatan 35.961 km dan 212.360 km serta peningkatan kapasitas jalan 2.613 km, seperti pidato Pak SBY sudah menjawab persoalan riil itu? Dan berapa persen anggaran untuk meningkatkan akses rakyat miskin di desa terpencil/ isolasi, daerah perbatasan, dan bencana untuk mendapat pelayanan yang adil sebagai public service obligation (PSO) pemerintah, sesuai dengan amanat UU No 38/2004 tentang Jalan dan UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan? Jika pokok hambatan pada kinerja pemda provinsi dan kabupaten/kota, untuk preservasi jalan provinsi dan kabupaten, seharusnya pengawasan dan penegakan hukum harus konsisten dilakukan berdasarkan kedua undang-undang itu, juga UU 32/2004 dan PP No 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pusat dan Daerah.

Berani intervensi

Benarlah yang dikatakan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri bahwa pidato sang Presiden menyambut 65 tahun kemerdekaan belum menjawab persoalan riil rakyat (Media Indonesia, 18 Agustus 2010). Sebab, menurut Mega, prediksi yang tidak berpijak pada kondisi riil tidak bisa diukur pencapaiannya. Jika akumulasi kapital dan akses pelayanan publik banyak dinikmati hanya oleh 25% rakyat Indonesia, sedang 75% bergulat dengan harga sembako, biaya pendidikan, transportasi mahal, bahkan teror gas di dapur kita, itu menjadi bukti formula kebijakan yang tidak berawal dari keprihatinan rakyat, kecuali menjadi objek 'proyek kebaikan hati' alias pencitraan.

Akibatnya, mustahil infrastruktur memberi daya dukung pertumbuhan maksimal, sekalipun anggaran sektor pekerjaan umum Rp56,5 triliun. Selain itu, harus dikaji dari proporsi alokasi anggaran agar lebih tinggi untuk pembangunan baru agar merangsang pertumbuhan ekonomi, daripada preservasi dan carry-over tahun lalu. Belum lagi infrastruktur perkeretaapian, transportasi udara, sumber daya air, dan energi.

Oleh karena itu, pemerintah tidak sekadar mengejar pertumbuhan 6,3% di atas ketidakadilan distributif bagi rakyat di perdesaan, daerah terpencil, daerah bencana, dan perbatasan. Pemerintah tidak terus bersikap reaktif dengan membuka pasar murah dan saat yang sama membiarkan dominasi pasar merajalela, tetapi melakukan intervensi kualitatif dan terukur, bersamaan pengembangan infrastruktur perdesaan. Dengan itu, baik paguyuban ekonomi maupun daya saing produk ekonomi rakyat ditingkatkan, baru dirasakan bahwa 65 tahun kemerdekaan adalah 'milik' kaum marhaen itu.
Sumber: Media Indonesia, 2 September 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger