Aneka protes di Pakistan, ancaman Al-Qaidah, dan turis-turis muslim yang khawatir. Inilah potret rencana Prancis mengakhiri cadar model burqa, yang ternyata bergema melampaui perbatasan negeri.
Sebuah rancangan undang-undang yang bakal melarang cadar, yang bertujuan untuk mempertahankan nilai-nilai republik Prancis, diperkirakan memenangi dukungan Senat bulan ini.
Jika lolos, para diplomat Prancis bakal menghadapi sebuah tugas berat guna memastikan pelarangan itu tidak mengasingkan pemerintah, mencegah datangnya pembeli dengan dompet penuh, atau memprovokasi teroris.
Memastikan kesetaraan gender, martabat perempuan, dan keamanan menjadi alasan resmi Prancis ingin memberangus cadar Islam, paling sering disebut sebagai "niqab", yang menyembunyikan seluruh wajah, kecuali mata. Pihak berwenang menegaskan, larangan global--termasuk orang asing yang bakal berkunjung--bukan bermaksud anti-Islam.
Tapi pesan itu gagal membujuk sejumlah pemerintah, yang merupakan sekutu tradisional Barat atau Prancis, atau para wisatawan Arab, yang selalu terkesiap atas segitiga emas Paris, sebuah distrik belanja paling mengkilap dan mahal yang berpusat di Champ-Elysees.
"Ketika Anda turis, Anda ingin akses ke tempat Anda merasa diterima," ujar Saif Dalal Oman, seorang tajir dari kesultanan dekat Arab Saudi, yang selama liburan tiga pekan mengunjungi Prancis, Ahad lalu. Saif, yang bekerja di industri minyak, seharian dengan keluarganya asyik memilih parfum dan kosmetik.
"Jika mereka merasa tak diterima, Prancis akan kehilangan pendapatan seperti ini," kata Saif, yang menenteng satu tas penuh belanjaan, di sudut mentereng Paris itu. Pelarangan itu mencederai citra Prancis sebagai penjaga dan pelindung kebebasan.
Menurut Badan Turis dan Kongres Paris, jumlah tamu ke Paris dari sejumlah negara kaya minyak di Timur Tengah naik hampir 30 persen dalam semester pertama 2010 dibanding tahun lalu.
"Saya dapat melihat bahwa banyak keluarga bakal benar-benar mengubah tujuan (wisata) mereka karena (larangan) itu," tutur Saif, yang berjalan-jalan bersama putri dan adiknya yang berjilbab dan istrinya yang bercadar.
Banyak turis muslim berjilbab meninggalkan setelan itu kala liburan ke Eropa. Tapi itu tak menghapus rasa bahwa Prancis menyinggung para pemeluk Islam.
"Keluarga saya bertanya mengapa saya ingin ke sana? Mereka tidak suka kita," ucap Maryam Saeed, 40 tahun, yang bekerja di sebuah sekolah di Dubai.
"Sejauh ini, sejumlah pemerintah asing diam atas rancangan (undang-undang) pelarangan jilbab, terpecah atau menolak," kata Joseph Maila, yang mengepalai sebuah divisi di Kementerian Luar Negeri Prancis, yang mengurusi isu-isu agama.
Beberapa sekutu dekat Prancis, seperti Inggris dan Amerika Serikat, keduanya punya populasi muslim yang besar, adalah beberapa negara yang secara terbuka tidak setuju terhadap rencana Paris. "Soal jilbab, dunia tidak hitam dan putih," ujar Maila. "Itu abu-abu."
Memang para ulama muslim moderat di Prancis dan negara lain setuju bahwa Islam tidak mengharuskan perempuan menutupi wajah mereka, tapi banyak yang merasa tak nyaman atas adanya pelarangan jilbab.
Sumber: Tempo Interaktif, 7 September 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!