Pamong Rohani KMKI Berlin;
belajar filsafat di Humboldt-Universitaet zu Berlin, Jerman
belajar filsafat di Humboldt-Universitaet zu Berlin, Jerman
Drama 'Nathan der Weise' (Natan yang bijak) tahun 1779 karya sastrawan Jerman Gotthold Ephraim Lessing menghadirkan 'ibarat cincin' sebagai jawaban atas pertanyaan seputar agama yang benar dan terbaik. Ada tiga bersaudara mewariskan dari ayah mereka tiga cincin yang sama bentuknya, tetapi hanya satu cincin yang asli dan yang lainnya imitasi. Ketiga bersaudara terjebak dalam konflik untuk membuktikan bahwa cincin kepunyaannya asli dan bukan tiruan. Perkara ini dibawa kepada seorang hakim. Jalan keluar yang ditawarkan hakim: Masing-masingnya harus yakin bahwa cincinnya asli dan ketiganya harus berlomba untuk memperlihatkan sikap hidup yang baik dan praksis cinta kasih sebagai bukti keaslian cincinnya.
Ketiga cincin dalam konteks Lessing tak lain dari simbol untuk pluralisme agama. Kelak parabel cincin secara mondial diterima sebagai acuan toleransi antaragama. Namun kita tidak boleh lupa bahwa setiap ibarat memiliki daya sugestif dan menanggalkan aspek penting lainnya. Parabel cincin mengelak dari pergulatan tentang kebenaran atau agama yang benar dan mereduksi agama sebatas tataran moralitas. Semua agama dianggap sama saja (relativisme) dan yang ditekankan adalah kebajikan kasih. Gagasan ini cukup berbahaya karena ia justru mengarahkan orang kepada sikap indiferen dan membuka peluang adanya tirani mayoritas dan menghilangkan perlindungan terhadap korban dan kaum minoritas. Jika semua agama sama saja, maka dengan mudah muncul pemaksaan. Toleransi beragama mengandaikan suatu nilai tak terbatalkan yang harus dipatuhi bersama seperti kebebasan, harkat dan martabat manusia.
Konsekuensinya akan berbeda seandainya Lessing bukannya mengambil ibarat cincin tetapi tali buat pemanjat tebing. Ketiganya diminta untuk memilih satu dari ketiga tali, yang mana cuma satu tali yang kuat dan kompatibel. Tali yang lainnya tidak layak. Dalam skala ini pertanyaan tentang tali yang tepat sangat esensial karena berkaitan dengan keselamatan hidup si pemanjat tebing. Kisaran persoalan tentang kebenaran dan agama yang benar bukan lagi sebagai aspek sampingan. Orang harus memilih tali yang benar.
Konstelasi serupa berlaku untuk toleransi. Secara etimologis kata toleransi (Latin: tolerare) berarti menahan atau menanggung sesuatu, menerima atau mentolerir seseorang biarpun terdapat perbedaan. Toleransi bukan hanya termasuk dalam kategori perasaan tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan (nalar).
Pada lapisan perasaan toleransi sangat penting. Orang hendaknya menerima yang lain sebagai yang lain karena perbedaan pendapat, cara dan orientasi atau haluan hidup. Dalam agama Islam dikenal prinsip: Bagiku agamaku, bagimu, agamamu. Di sini perbedaan diterima dan diakui sebagai suatu kekayaan dan hidup berdampingan dalam perbedaan ditilik bagaikan pelangi yang elok. Keindahan sebuah pelangi bukan terletak pada pembauran pelbagai warna, tetapi justru pada jajaran keaslian aneka warna. Bangsa Indonesia patut berbangga karena fundator negara kita mewariskan semboyan bhinneka tunggal ika.
Secara nalar atau pengetahuan toleransi itu nonsense. Kita tentu tidak mentolerir jika seseorang mengatakan bahwa dua tambah tiga adalah enam atau ketika seseorang mengatakan: "Saya harus berangkat ke Ibu kota Inggris" dan ia membeli tiket ke Washington. Orang itu harus disadarkan dari kekeliruannya, karena ia akan terkejut pada saat mendarat bahwa ia tidak sampai pada kota tujuannya. Jika kekeliruannya ditolerir, maka kita tidak menerima orang itu secara serius. Dua tambah tiga adalah lima. Washington bukanlah Ibu kota Inggris. Berkaitan dengan dialog antaragama dalam artian ini, kita ditagih untuk berani meninggalkan model Kuscheldialog (dialog romantis, puja-puji, monggo dan manja) dan mempraktekkan Klartextdialog (dialog yang serius dan tegas, tetapi fair) demi kebenaran universal. Di hadapan kenaifan tidak berlaku toleransi, melainkan kritik dan koreksi.
Juga negara sebagai institusi tertinggi hidup bersama tidak bisa tolerir dalam segala hal. Negara harus melindungi warganya terhadap kekerasan dan kriminalitas, jika perlu dengan kekerasan. Jika negara membisu tatkala hak, kebebasan beragama dan beribadat sekelompok orang dibatalkan, ketika terjadinya tindakan kriminalitas penyerangan, pembakaran dan penghancuran, maka negara menegasi eksistensinya sebagai pengayom para warganya. Dalam kerangka ini kepercayaan terhadap negara berada pada titik nadir dan supremasi hukum terdistorsi sekadar bahan lelucon.
Terhadap pelanggaran harkat dan martabat manusia serta tindakan kriminalitas - juga dengan latar belakang yang kelihatannya sangat 'luhur dan saleh' sekalipun - tidak dikenal wacana toleransi atau jargon kompromi dan tawar-menawar, karena negara bukanlah partner dagang aktor kejahatan. Negara harus menampilkan diri sebagai personifikasi legitimasi dan supremasi hukum. Imbauan moral dan ajakan untuk jangan terprovokasi, dialog dan harmoni pasca kebiadaban tak lebih dari 'genjatan senjata' untuk kebiadaban berikutnya. Tablet mujarabnya hanyalah bahasa hukum.
Sumber: Pos Kupang, 8 Oktober 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!