Headlines News :
Home » , » Resensi: Guru dan Pendidikan Kita

Resensi: Guru dan Pendidikan Kita

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, July 21, 2017 | 11:39 PM

ADA ungkapan klasik yang dapat dimodifikasi De magistro numquam satis. Artinya, perihal guru tidak pernah cukup. Orang selalu dapat memperbincangkan, mendiskusikan segala sesuatu tentang guru. Mengapa dan ada apa gerangan dengan guru? Apakah itu berhubungan profesi, filosofi, moralitas, kesejahteraan, relasi humanis, metodik-dadaktik, tuntutan administratif, sekolah, policy tentang guru?

Mematok Metode

Ada minimal tiga metode yang berkorelasi dengan proses pedagogi. Pertama, peran sentral guru dalam usaha menyampaikan ilmu kepada murid. Hal ini dideskripsikan begini: para murid duduk di sekitar guru. Interaksi mendalam dan luas antara guru-murid menjadi metode yang tak tergantikan. Gurusentris sudah sangat teruji jasanya, di samping menyimpan kelemahan pula.

Kedua, kelemahan metode gurusentris hendak diatasi dengan student-centred learning. Guru berperan membantu menemukan dan mengembangkan talenta serta kapasitas murid, sehingga mereka menjadi dirinya sendiri secara optimal. Sebagai sentrum dan pelaku utama, murid memeroleh asistensi dari guru. Segenap modalitas yang perlu untuk menjadi penuh difasilitasi dalam seluruh proses belajar-mengajar.

Ketiga, siswa yang menamatkan jenjang studi tertentu menampilkan profil. Ia menjadi penanda apakah kurikulum, tujuan, misi, visi pendidikan tergenapi. Maka, profil yang dicita-citakan itu “dikejar dengan segenap daya upaya”. Diibaratkan profil itu masih ada di luar diri guru dan murid, sehingga mereka ini bahu-membahu untuk meraihnya.

Mempersoalkan dan mengkaji metode dalam praksis fungsi, peran, dan kedudukan guru berarti juga menyangkut muatan politik fairness and goodness untuk membangun sivilitas. Sayangnya di Indonesia, hal yang menyangkut kepentingan publik dan kesejahteraan umum ini pun dijejali dengan muatan politik kepentingan. (Bdk. Studi J. De Ree cs, (2012):  Teacher certification had not improved learning outcomes in the 360 public primary and junior secondary schools).

Pengaturan tentang guru bersertifikasi yang wajib mengajar 24 jam berarti meletakkan kuk di leher guru. Selain itu, pengakuan akademis seperti Permenristekdikti No. 20, Tahun 2017 berdampak pada manajemen, yang hanya menggerogoti substansi pendidikan.

Segala sesuatu diarahkan para produk, pasar. Misalnya apa yang hendak dicapai oleh kegiatan pendidikan dan latihan? Jawabannya, pasar menyerap produk pendidikan, yang notabene kapitalistik-neoliberalistik. Semua diarahkan dan diserahkan pada pasar. Hal itu ditopang oleh praksis pendidikan dengan mata pelajaran yang terlalu padat, uniform, mematikan usaha berpikir kritis dan kreatif dengan UN (Ujian Nasional) yang menerapkan one size fits all (281).

Pencapaian standar dan kualitas yang diharapkan dipromosikan oleh guru pun terkesan asal berjalan. Suatu rujukan Prof. Tilaar adalah Education in Indonesia (Ed. Suryadarma-Jones cs). Fakta absensi guru di Papua mencapai minimal 33,5% (tahun 2011, hlm. 154). Tercermin di sini, problem fundamental pendidikan di Indonesia terletak dalam praksis, manajemen, kebijakan politik pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah.

Para pemangku kepentingan terlibat secara minimalistik. Fungsi monitoring dan evaluasi oleh Dinas dan Instansi terkait lemah, dan kalau pun ada hanya berkutat pada hal-hal formal, yuridis, dan terutama seremonial. Dapat dipertanyakan bagaimanakah apresiasi terhadap komitmen guru, lembaga pendidikan terutama swasta yang tidak bermodal kuat? (Bdk. Thiessen, Teaching for Commitment, 1993: 276).

Dapatlah dipahami kalau peringkat pendidikan Indonesia berada di bawah Ethiopia dan Filipina (www.thejakartapost.com/news/2017/03/25). Sebab basis filosofi pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara diabaikan oleh para pengambil kebijakan pendidikan publik, mengingat yang dikejar adalah  pendidikan “padat konten”, berorientasi pada pencapaian nilai, terutama segi kognitif, tetapi tak efektif dan abai pada tujuan proses belajar-mengajar.

Cari Apa, Guru?

Manakala di tanah air ini dipromosikan pendidikan nilai dan pendidikan karakter, lalu proses ini menjadi sangat sulit dan kesannya berjalan di tempat. Sebab orientasi pendidikan telah bergeser ke arah mencapai peringkat (nilai). Arah ini tidak salah, tetapi menuntut taat asas dan mentalitas yang perlu. Banyak pihak melatih diri untuk curang, tidak jujur, menipu diri sendiri dan sesama, tidak tertib, demi mendapat peringkat bagus.

Masih realistiskah mengharapkan dari proses pendidikan yang demikian itu akan muncul pribadi-pribadi yang jujur, tidak korup, berpandangan luas dan mendalam tentang kemanusiaan, menghargai keragaman, mendongkel fanatisme yang irasional? Tidak terjadinya pembentukan sikap hidup luhur-mulia dalam pendidikan persekolahan juga hendak menyatakan hal yang sama terjadi di dalam masyarakat luas.

Mengingat dasarnya keropos, maka jika di Perguruan Tinggi ditekankan Indeks Prestasi, lalu pendidikan sikap dan pengolahan emosi akan terbengkelai. Sebab, beban pendidikan yang diutamakan adalah dimensi kognitif. Seorang siswa yang prestasi belajarnya mengagumkan, tidak jarang kecerdasan emosional dan kepekaan sosialnya tiarap. Itulah sebabnya Ralph Linton (266), Lev Vygotsky (270), Ki Hadjar Dewantara (272) mengolah dan menghasilkan teori berasaskan praksis kon(multi)tekstual.

Para pedagog sudah melihat, bahwa pendidikan kita memberi kesan tercerabut dari akal budaya sehingga berada jauh dari kehidupan masyarakat yang aktual. Ditengarai perlunya reformasi pendidikan. Dalam arus ini, sesungguhnya revolusi mental sangat urgen, tetapi hampir selalu kandas ketika para pengambil kebijakan politis terjerat oleh materialisme dalam wujud korupsi dan nepotisme.

Keempat bab yang diulas Prof. Tilaar memberi porsi pada profesi guru dalam kurun waktu historis (1-53), menyusul kupasan tentang guru dari 1945 hingga Era Reformasi (55-95), dan guru sebagai profesi masa depan (97-181). Tidak dilupakan bahasan panjang lebar tentang peran guru sebagai pendidik generasi masa depan berkarakter (185-299). Beliau berhasil memformulasikan apa yang dicari dari guru, ikhwal pergumulan yang pelik dan tanggungjawab yang diembannya.

Karya Prof. Tilaar ini memuat alur kronologis, tetapi tidak up dated, mengingat banyak ketentuan resmi pendidikan yang terus-menerus diubah dan diperbarui. Divisi Daftar Pustaka pun terpisah-pisah dengan akibat banyak karya yang sama ditulis ulang. Selain itu, kualitas editing karya ini tidak teliti. Di atas segalanya, benang merah dan kekayaan ide penulis tidak dikacaukan oleh kekurangannya.

Benarlah, edukasi karakter anak didik (dan mahasiswa), mutlak perlu mengarusutamakan kejujuran, kedisiplinan, dan kebenaran akademis. Hal ini merujuk pada standar kualitas pendidikan, yang menuntut politik pendidikan kita jauh dari politicking. Hal yang belum banyak diulas dalam Guru Kita adalah fungsi dan peran guru sebagai penjaga dan penjamin kualitas (quality assurance) dan kedisiplinan dalam pelaksanaan komitmen pembelajaran (discipline of execution).

Akhirnya, bagi para guru dan dosen tidak ada lagi kata kompromi dan tawar-menawar tentang penegakan kualitas, yang memperhatikan manusia yang multi dimensi, yang relasional, yang terikat pada masa lalu dan terarah ke masa depan. Guru membantu pembentukan pribadi yang holistik, yang menawarkan kedalaman di tengah arus kedangkalan dan formalisme yang dipuja-puji di negeri ini.

Judul                : Guru Kita: Artis Karakter dan Kecerdasan
Penulis             : Prof. Dr. H.A.R. Tilaar
Penerbit           : Lamalera, Yogyakarta
Tebal                : xii+385 halaman
Tahun Terbit  : 2016
Eddy Kristiyanto OFM
Guru di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Sumber: Kompas,  8 Juli 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger