ADA ungkapan klasik yang dapat dimodifikasi De magistro numquam satis. Artinya,
perihal guru tidak pernah cukup. Orang selalu dapat memperbincangkan,
mendiskusikan segala sesuatu tentang guru. Mengapa dan ada apa gerangan dengan
guru? Apakah itu berhubungan profesi, filosofi, moralitas, kesejahteraan,
relasi humanis, metodik-dadaktik, tuntutan administratif, sekolah, policy tentang guru?
Mematok Metode
Ada minimal
tiga metode yang berkorelasi dengan proses pedagogi. Pertama, peran sentral
guru dalam usaha menyampaikan ilmu kepada murid. Hal ini dideskripsikan begini:
para murid duduk di sekitar guru. Interaksi mendalam dan luas antara guru-murid
menjadi metode yang tak tergantikan. Gurusentris sudah sangat teruji jasanya, di
samping menyimpan kelemahan pula.
Kedua,
kelemahan metode gurusentris hendak diatasi dengan student-centred learning. Guru berperan membantu menemukan dan
mengembangkan talenta serta kapasitas murid, sehingga mereka menjadi dirinya
sendiri secara optimal. Sebagai sentrum dan pelaku utama, murid memeroleh
asistensi dari guru. Segenap modalitas yang perlu untuk menjadi penuh
difasilitasi dalam seluruh proses belajar-mengajar.
Ketiga, siswa
yang menamatkan jenjang studi tertentu menampilkan profil. Ia menjadi penanda
apakah kurikulum, tujuan, misi, visi pendidikan tergenapi. Maka, profil yang
dicita-citakan itu “dikejar dengan segenap daya upaya”. Diibaratkan profil itu
masih ada di luar diri guru dan murid, sehingga mereka ini bahu-membahu untuk
meraihnya.
Mempersoalkan
dan mengkaji metode dalam praksis fungsi, peran, dan kedudukan guru berarti
juga menyangkut muatan politik fairness
and goodness untuk membangun sivilitas. Sayangnya di Indonesia, hal
yang menyangkut kepentingan publik dan kesejahteraan umum ini pun dijejali
dengan muatan politik kepentingan. (Bdk. Studi J. De Ree cs, (2012): Teacher
certification had not improved learning outcomes in the 360 public primary and
junior secondary schools).
Pengaturan
tentang guru bersertifikasi yang wajib mengajar 24 jam berarti meletakkan kuk
di leher guru. Selain itu, pengakuan akademis seperti Permenristekdikti No. 20,
Tahun 2017 berdampak pada manajemen, yang hanya menggerogoti substansi
pendidikan.
Segala sesuatu
diarahkan para produk, pasar. Misalnya apa yang hendak dicapai oleh kegiatan
pendidikan dan latihan? Jawabannya, pasar menyerap produk pendidikan, yang
notabene kapitalistik-neoliberalistik. Semua diarahkan dan diserahkan pada
pasar. Hal itu ditopang oleh praksis pendidikan dengan mata pelajaran yang
terlalu padat, uniform, mematikan usaha berpikir kritis dan kreatif dengan UN
(Ujian Nasional) yang menerapkan one size
fits all (281).
Pencapaian
standar dan kualitas yang diharapkan dipromosikan oleh guru pun terkesan asal
berjalan. Suatu rujukan Prof. Tilaar adalah Education
in Indonesia (Ed. Suryadarma-Jones cs). Fakta absensi guru di Papua
mencapai minimal 33,5% (tahun 2011, hlm. 154). Tercermin di sini, problem
fundamental pendidikan di Indonesia terletak dalam praksis, manajemen,
kebijakan politik pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah.
Para pemangku
kepentingan terlibat secara minimalistik. Fungsi monitoring dan evaluasi oleh
Dinas dan Instansi terkait lemah, dan kalau pun ada hanya berkutat pada hal-hal
formal, yuridis, dan terutama seremonial. Dapat dipertanyakan bagaimanakah
apresiasi terhadap komitmen guru, lembaga pendidikan terutama swasta yang tidak
bermodal kuat? (Bdk. Thiessen, Teaching
for Commitment, 1993: 276).
Dapatlah
dipahami kalau peringkat pendidikan Indonesia berada di bawah Ethiopia dan
Filipina (www.thejakartapost.com/news/2017/03/25).
Sebab basis filosofi pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara diabaikan oleh
para pengambil kebijakan pendidikan publik, mengingat yang dikejar adalah pendidikan “padat konten”, berorientasi pada
pencapaian nilai, terutama segi kognitif, tetapi tak efektif dan abai pada
tujuan proses belajar-mengajar.
Cari Apa,
Guru?
Manakala di
tanah air ini dipromosikan pendidikan nilai dan pendidikan karakter, lalu
proses ini menjadi sangat sulit dan kesannya berjalan di tempat. Sebab
orientasi pendidikan telah bergeser ke arah mencapai peringkat (nilai). Arah
ini tidak salah, tetapi menuntut taat asas dan mentalitas yang perlu. Banyak
pihak melatih diri untuk curang, tidak jujur, menipu diri sendiri dan sesama,
tidak tertib, demi mendapat peringkat bagus.
Masih
realistiskah mengharapkan dari proses pendidikan yang demikian itu akan muncul
pribadi-pribadi yang jujur, tidak korup, berpandangan luas dan mendalam tentang
kemanusiaan, menghargai keragaman, mendongkel fanatisme yang irasional? Tidak
terjadinya pembentukan sikap hidup luhur-mulia dalam pendidikan persekolahan
juga hendak menyatakan hal yang sama terjadi di dalam masyarakat luas.
Mengingat
dasarnya keropos, maka jika di Perguruan Tinggi ditekankan Indeks Prestasi,
lalu pendidikan sikap dan pengolahan emosi akan terbengkelai. Sebab, beban
pendidikan yang diutamakan adalah dimensi kognitif. Seorang siswa yang prestasi
belajarnya mengagumkan, tidak jarang kecerdasan emosional dan kepekaan
sosialnya tiarap. Itulah sebabnya Ralph Linton (266), Lev Vygotsky (270), Ki
Hadjar Dewantara (272) mengolah dan menghasilkan teori berasaskan praksis
kon(multi)tekstual.
Para pedagog
sudah melihat, bahwa pendidikan kita memberi kesan tercerabut dari akal budaya
sehingga berada jauh dari kehidupan masyarakat yang aktual. Ditengarai perlunya
reformasi pendidikan. Dalam arus ini, sesungguhnya revolusi mental sangat
urgen, tetapi hampir selalu kandas ketika para pengambil kebijakan politis
terjerat oleh materialisme dalam wujud korupsi dan nepotisme.
Keempat bab
yang diulas Prof. Tilaar memberi porsi pada profesi guru dalam kurun waktu
historis (1-53), menyusul kupasan tentang guru dari 1945 hingga Era Reformasi
(55-95), dan guru sebagai profesi masa depan (97-181). Tidak dilupakan bahasan
panjang lebar tentang peran guru sebagai pendidik generasi masa depan
berkarakter (185-299). Beliau berhasil memformulasikan apa yang dicari dari
guru, ikhwal pergumulan yang pelik dan tanggungjawab yang diembannya.
Karya Prof.
Tilaar ini memuat alur kronologis, tetapi tidak up dated, mengingat
banyak ketentuan resmi pendidikan yang terus-menerus diubah dan diperbarui.
Divisi Daftar Pustaka pun terpisah-pisah dengan akibat banyak karya yang sama
ditulis ulang. Selain itu, kualitas editing karya ini tidak teliti. Di atas
segalanya, benang merah dan kekayaan ide penulis tidak dikacaukan oleh
kekurangannya.
Benarlah,
edukasi karakter anak didik (dan mahasiswa), mutlak perlu mengarusutamakan
kejujuran, kedisiplinan, dan kebenaran akademis. Hal ini merujuk pada standar
kualitas pendidikan, yang menuntut politik pendidikan kita jauh dari politicking. Hal yang belum banyak
diulas dalam Guru Kita adalah fungsi dan peran guru
sebagai penjaga dan penjamin kualitas (quality
assurance) dan kedisiplinan dalam pelaksanaan komitmen pembelajaran (discipline of execution).
Akhirnya, bagi
para guru dan dosen tidak ada lagi kata kompromi dan tawar-menawar tentang
penegakan kualitas, yang memperhatikan manusia yang multi dimensi, yang relasional,
yang terikat pada masa lalu dan terarah ke masa depan. Guru membantu
pembentukan pribadi yang holistik, yang menawarkan kedalaman di tengah arus
kedangkalan dan formalisme yang dipuja-puji di negeri ini.
Judul : Guru
Kita: Artis Karakter dan Kecerdasan
Penulis : Prof.
Dr. H.A.R. Tilaar
Penerbit :
Lamalera, Yogyakarta
Tebal : xii+385
halaman
Tahun Terbit :
2016
Eddy
Kristiyanto OFM
Guru di
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Sumber:
Kompas, 8 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!