Dia meninggal dalam lelap tidur, Jumat pekan lalu, sekitar pukul lima pagi. Di rumahnya, di Jalan Taman Biduri Blok N I/7, Permata Hijau, Jakarta Selatan, para pelayat menyaksikan tubuhnya yang bongsor, alisnya yang lebat, hidungnya yang bangir, dahinya yang lebar-wajah yang tidak lagi dapat bercerita tentang perjalanan panjang sejarah bangsa ini. Dua hari dia dirawat di Rumah Sakit Cinere, Jakarta Selatan, karena sesak napas dan gangguan jantung, sebelum pergi dengan damai.
Dia Des Alwi Abubakar, 83 tahun. Semenjak pertemuannya dengan dua orang lelaki berparas pucat 75 tahun silam di pantai Laut Banda, dia tidak beranjak jauh dari aneka peristiwa besar yang menimpa bangsa ini. Kalau saja anak remaja sebelas tahun ini tidak terpesona dan kemudian bersahabat dengan keduanya-yang bertubuh lebih tinggi disebutnya Om Kacamata (Mohammad Hatta), yang lebih pendek dipanggilnya Om Rir (Sjahrir)-kemungkinan besar dia sudah mengikuti jejak ayahanda beserta kakeknya: menjadi saudagar mutiara di Banda Neira.
Ya, Banda Neira pada 1930-an bukan cuma cocok untuk berdagang. Di tanah kelahirannya itu, dia bisa berenang, mendengarkan musik, dan ngobrol panjang dengan Om Rir dan Om Kacamata. Dari proklamator dan Perdana Menteri Indonesia pertama itu Des Alwi belajar bahasa Prancis, Inggris, Belanda serta-tentu saja-politik. Di tempat yang sama, dia juga bersentuhan langsung dan membangun hubungan emosional dengan para tokoh elite pergerakan nasional seperti Tjipto Mangunkusumo dan Iwa Kusuma Sumantri.
Berpuluh tahun setelah periode pembentukan karakter yang istimewa ini lantas kita akhirnya menyaksikan kemampuan Des Alwi sebagai komunikator dan pelobi yang dahsyat. Dia membukakan pintu diplomasi pada 1965 ketika hubungan Indonesia-Malaysia tercabik lantaran politik konfrontasi Bung Karno. Mendengar sejumlah perwira militer kita berhasrat memperbaiki hubungan dengan Malaysia, Des Alwi menghubungi kawan lamanya: Perdana Menteri Tunku Aburahman, Wakil Perdana Menteri Tun Abdul Razak, dan kepala intelijen Tan Sri Gazali.
Kontak rahasia di antara elite dua tetangga sebelum peristiwa G-30-S dan awalnya tanpa setahu Presiden Sukarno ini merupakan langkah yang efektif. "Waktu itu saya menetap di Malaysia, setelah dituduh mendukung gerakan Permesta di Sulawesi Utara," tuturnya. Dia dianggap mendukung pemberontakan itu karena mempertemukan sahabatnya, wartawan The Manila Times, Benigno Aquino, dengan tokoh Permesta, Ventje Sumual. Jakarta marah besar, tapi inisiatifnya ini ternyata bermanfaat di kemudian hari, dan ini terjadi karena Jakarta salah perhitungan.
Pada 1985 hubungan Jakarta-Manila sempat terganggu. Dalam wawancara dengan Tempo, Des Alwi bercerita tentang kekhawatiran Jakarta atas gerakan people power di Manila yang kian meraksasa. Dengan alasan demi menumpas gerakan komunis di sana, Jakarta lantas mengirim pesawat buat menolong Ferdinand Marcos yang hampir putus asa. Rezim Marcos ternyata tidak sanggup bertahan, dan menyadari kekeliruannya. Jakarta mengirim Des Alwi. Kepada Cory Aquino, Des Alwi tak langsung menggarisbawahi betapa pentingnya hubungan bilateral ini. Dia menceritakan persahabatannya dengan suaminya, Benigno "Ninoy" Aquino, yang bahkan membuat Jakarta menuduhnya simpatisan Permesta, dan berakhirlah ketegangan itu.
Des Alwi, yang diboyong ke Jakarta pada usia 18 tahun dan diangkat anak oleh Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta, kerap mendapati dirinya di antara tikungan tajam sejarah. Dia ikut berperang sekaligus menjadi saksi dalam Pertempuran Ambarawa atau Peristiwa 10 November di Surabaya. Dan dengan telaten dia merekam serta mengumpulkan rekaman kejadian itu dalam perpustakaannya yang tak ternilai tapi selalu kurang biaya itu.
Sumber: Tempo, 25 November 2010
Ket foto: almahrum Des Alwi
Ket foto: almahrum Des Alwi
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!