Headlines News :
Home » » Negara dalam Darurat Gayus

Negara dalam Darurat Gayus

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, November 18, 2010 | 6:20 PM

Oleh JF Sinaga
alumnus Fisip Unpad

'Untuk apa pun di atas bumi ini, ada harganya'. Gayus Tambunan mengerti benar arti kalimat itu dan tahu benar bagaimana rasanya menikmati kemewahan. Karena tak terbiasa duduk dalam ruangan empat segi terlalu lama, Gayus cukup mengeluarkan uang ratusan juta rupiah setiap bulan untuk bisa keluar dari tahanannya. Kalau perlu sekali seminggu. Apa yang ditunjukkan Gayus kepada kita di Bali bukan hanya mengagetkan, melainkan sudah sampai pada tahap memuakkan, karena makin lama makin parah. Semakin lama dia diadili semakin telanjang bagi kita bagaimana kelakuannya menginjak-injak seluruh wibawa lembaga hukum di negara ini. Negara ini diserang bencana. Bencana yang mematikan kepercayaan rakyat kepada negaranya.

Gayus, yang mantan pegawai negeri, tahu benar titik lemah birokrasi Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua, uang. Dia tahu benar untuk urusan duit, pegawai dan birokrat model apa pun pasti bisa dicari kelemahannya. Dia tahu benar untuk barang yang satu itu semua mata dan telinga bisa dibuat diam, semua borgol bisa dibeli, semua surat bisa dibayar, semua pengadilan manusia bisa diatur. Penjara mana pun bisa dibeli. Itu bukan cerita baru, dan Gayus membuatnya makin parah. Gayus memang tak ada matinya. Kejadian ini menunjukkan kepada kita bahwa pertama, seluruh proses hukum di Indonesia bisa diatur. Oleh karena itu, negara sedang dalam keadaan darurat. Kedua, Gayus bukan kejadian pertama dan terakhir. Ketiga, penjara tidak membuat orang kapok. Keempat, reformasi birokrasi adalah kebutuhan darurat dan sangat mendesak. Kelakuan Gayus bukan hanya bicara tentang konsep betapa korup dan rusaknya moralitas aparat negara. Gayus adalah 'wedhus gembel' dari kejatuhan wibawa negara di hadapan rakyat yang sebentar lagi disusul meletusnya, hancurnya semua konsep kewibawaan negara bagi rakyat. Ini sangat berbahaya.

Dalam keadaan satu demi satu media menelanjangi tingkah laku para tahanan dan narapidana di seluruh penjuru negeri, menunjukkan selama ini Gayus bukan yang pertama, dan bisa saja bukan yang terakhir. Bila masih dalam proses pengadilan saja—wajahnya tiap hari muncul di media—Gayus bisa sebebas ini, bayangkan apa yang terjadi pada mereka yang sudah dipenjara sekian tahun. Presiden harus secepatnya memerintahkan penghentian izin keluar bagi semua tahanan dan narapidana di seluruh negeri. Pemerintah perlu mendata semua tahanan dan narapidana yang ada di seluruh penjara, inspeksi harus segara dilakukan. Penjara yang 'paling bebas' harus diinventarisasi. Anggota masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat lokal harus diberi akses memberikan informasi dan bukti pelanggaran kepada pemerintah dan komitmen untuk melanjutkan penyelidikan serius untuk semua pelanggaran tersebut.

Mengembalikan martabat

Teriakan untuk reformasi birokrasi sudah hampir sama dengan teriakan agar perbankan mendukung proyek sektor riil untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. Kita teriak sejuta kali sampai hafal luar kepala, ada dalam semua pidato mulai dari orang istana sampai kecamatan, tapi hanya berhenti sampai di sana. Seketika tepuk tangan pidato berhenti, seketika itu juga semua langsung lupa. Besok diulangi lagi, terus-menerus begitu, hanya Tuhan yang tahu kapan bisa terlaksana.

Reformasi birokrasi bukan hanya penting bagi efektivitas pembangunan dan pemerintahan sipil, tetapi juga mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, kepada sistem tata negara yang bermuruah, yang bermartabat. Pejabat publik, terutama aparat hukum ada di podium paling tinggi memegang kewibawaan negara. Akan tetapi, justru paling rendah martabatnya belakangan ini. Oleh karena itu, perbaikan sistem hukum bukan hanya mendesak, tetapi paling efektif untuk cepat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap konsep pemerintah dan negara. Apakah masih bisa memercayai pemerintah dan negara ditunjukkan dengan hormatnya masyarakat terhadap aparat hukumnya.

Apa yang ditunjukkan Gayus dan para polisi yang disuapnya menunjukkan perspektif mereka tentang sistem hukum. Yang satu melihat hukum bisa dibeli, yang satu melihat jabatannya sebagai kesempatan, sebagai komoditas. Apa yang mereka kerjakan hanya transaksi, bukan hal yang tabu, apalagi memalukan. Konsep kunci 'penjara' dan borgol yang harusnya menjadi kontrol negara, oleh kedua pihak ini tidak jauh beda dengan remote control yang melekat pada Gayus. Kapan Gayus bosan, boleh 'pindah channel'. Suasana hati seorang penjahat menentukan bagaimana aparat hukum tunduk. Sekarang hukum yang tunduk dengan kejahatan.

Formalisasi komitmen

Selama ini kenaikan remunerasi kepada aparat kementerian keuangan dan beberapa instansi lainnya sudah baik, tetapi masih perlu dijaga dengan sebuah formalisasi komitmen. Aparat hukum juga perlu dipikirkan kenaikan remunerasi secara perlahan dan segera. Kepolisian, pegawai tahanan dan penjara, aparat pengadilan dan kejaksaan, dan lembaga pengawasan keuangan dan pembangunan, mereka berhak mendapatkan penaikan. Formalisasi komitmen ini diperlukan dalam logika 'dinaikkan haknya—diperketat kewajibannya'. Mereka yang digaji lebih tinggi oleh pajak negara dan bersentuhan dengan urusan sensitif—uang dan hukum—harus setuju untuk dipecat apabila sekali saja terbukti melakukan korupsi dan penyelewengan jabatan. Secara internal mereka akan menghormati pekerjaan dan kepercayaan rakyat. Di sisi lain, rakyat diyakinkan oleh sebuah sistem yang sustainable bisa akuntabel terhadap kinerjanya sehari-hari.

Negara sedang darurat

Yang hilang dalam cerita ini adalah siapa yang akan melakukannya? Untuk perubahan yang revolusioner, diperlukan mental yang radikal dan mengerti konsep kedaruratan, dan kalau melihat pemerintah yang berkuasa sekarang, tampaknya sedikit mustahil. Setiap hari kepada kita diperlihatkan kelakuan aparat negara yang sulit mengambil keputusan di saat darurat. Jalan-jalan dan gedung kantor baru jauh lebih darurat daripada makanan dan pakaian korban bencana. Meng-update status Twitter lebih penting daripada mengatur bantuan. Konsep darurat itu harus dipikirkan satu dua hari setelah kejadian, bukan seminggu setelahnya. Segera setelah 'wajah mirip Gayus' muncul di media, hampir tidak ada pejabat negara yang bergerak cepat. Malah bertanya, itu foto asli atau bukan?

Melihat bencana alam juga seperti itu, kita sibuk bertanya siapa yang harus mengurus, ini termasuk bencana nasional atau bukan? Siapa yang memimpin koordinasi saja masih dibahas beberapa hari setelah kejadian. Semua menunggu yang di atasnya. Yang di atas menunggu mood dan 'nasihat para pesokong'. Urgensi itu diperlukan untuk melihat apa yang perlu diselamatkan, dan apa yang perlu ditimbun, dikubur, atau disediakan.

Reformasi birokrasi hukum kita diperlukan sekarang juga, dimulai dari yang paling atas. Dipertegas dengan kejujuran dan hati yang tulus, dikerjakan oleh mereka yang bukan hanya berkomitmen untuk menangkap pelaku kejahatan, tetapi dengan memandangnya sebagai hal yang sangat darurat, menyelamatkan sebanyak mungkin yang masih bisa diselamatkan. Masyarakat Indonesia harus segera diselamatkan rasa percayanya terhadap hukum, terhadap negara. Kami sudah terlalu kecewa, api kepercayaan kami sudah hampir mati. Ini negara sedang darurat, negara sedang sekarat. Percayalah kami rakyat sedang berteriak, tapi hanya di hati, sebab suara kami sudah habis.
Sumber: Media Indonesia, 18 November 2010

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger